Sunday 30 September 2012

The Spirit of Writing

 " ...Jika kau menulis kebaikan, mengapa kau sibuk mencari inspirasi?" F. Adzim

Menulis, satu hal yang dilupakan dalam dunia pendidikan kita selama ini. Dari TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi kita diajarkan bermacam teori tentang menulis. Tetapi, yang sering dilupakan adalah, kenapa tidak semua lulusan sekolah di Indonesia memunculkan tulisannya?

Kalau secara kultural, memang masyarakat kita masih masyarakat verbal, berkomunikasi dari mulut ke mulut. Semua pengetahuan pun disalurkan melalui kata-kata. Sehingga, akan sulit memberikan pembelaan terhadap sebuah hasil pemikiran. Yang lebih menyesakkan adalah kenyataan bhwa kita belum menjadi bangsa yang menjadikan aktivitas menulis sebagai sarana untuk meruntutkan pola pikir.

Sehingga, kita terbiasa mempelajari tanpa bisa mengaplikasikannya. Seperti kasus dalam olimpiade dunia. Bukankah Indonesia selalu menyabet medali emas ? Tetapi kenapa rata-rata ilmuwan kita kalah dengan bangsa-bangsa lain? Karena kita masih berkutat dalam hal membuktikan dan mempelajari teori, belum sampai pada proses membuat dan mengaplikasikannya. Nah, kapan bangsa kita akan maju? Ketika kita mau berpikir dan bertindak. Kapan?

Nah, memang kita semua tidak akan menemukan arti pentingnya menulis manakala kita tidak tahu manfaatnya.Nah, untuk menulis maka seharusnya kita memiliki tujuan. Apakah itu tujuan pragmatis, ataukah tujuan teoritis. Semua tergantung dari masing-masing individu. Yang jadi pertanyaan adalah, maukah kau menulis?

Ketika sedang berjalan di kampus, seringkali ada teman yang menyapa, terus bertanya bagaimana caranya menulis. Hmm, dengan sedikit tersenyum kujawab seadanya. Bukankah dari kecil kita diajarkan untuk menulis? Berhakkah saya memberitahu orang yang lebih tahu dari saya? Bukankah nilai Bahasa Indonesia saya lebih rendah dari mereka saat UN?

Kalau saya perhatikan, keinginan menulis sebagian besar-maksudnya tidak semua- hanyalah emosi sesaat. Padahal, seharusnya keinginan yang sesaat ini dapat kita jadikan momentum untuk memulai. Bukankah menulis tidak membutuhkan waktu yang lama? Cukup satu jam saja kita bisa menulis minimal dua lembar naskah utuh. Apapun bentuknya, itu adalah sebuah tulisan.

Kalau kata Pak Hendra, " Kita tidak membutuhkan teori untuk menulis, tetapi praktik..." Memang, terlalu membosankan ketika kita ingin menulis tetapi di kelas hanya diceramahi tentang bagaimana tulisan yang baik. Seorang dosen (Hidden Name), yang master bahasa selalu menekankan mahasiswanya untuk mempelajari tulisan yang baik dan tidak menyesatkan. Tetapi, beliau sendiri tidak menghargai tulisan mahasiswa. Padahal, tujuan utama belajar bukankah untuk menumbuhkan potensi baik?

Hidup bukan hanya untuk berteori, tetapi mengembangkan teori untuk tujuan yang baik. Untuk menjunjung tinggi aspek intelektual ummat, media dakwah, pesan moral, hiburan atau tujuan-tujuan yang lain. Bahkan, banyak temen-temen penulis senior yang sudah melanglang buana di dalam dunia tulis menulis seperti Kang Anton atau Pak Beni bisa menghidupi diri sendiri dengan menulis.

Adalah sebuah dosa yang besar ketika mahasiswa tidak mau mengembangkan derajat keilmuannya. Lalu, di mana harus diletakkan status itu jika tidak disebarkan untuk masyarakat luas? Bukankah setiap masuk kuliah untuk pertama kali, para aktivis selalu meneriakkan yel,"Mahasiswa adalah agen of change?"Kalau menurut saya, sungguh berdosa ketika seorang aktivis mengatakan apa yang tidak diucapkannya. Jadi, apa yang ingin kau lakukan untuk pendidikan? Untuk masyarakat? Untuk Bangsa? Untuk negara? Untuk agama? Untuk perbaikan diri?
Wallahu a'lam

Ayo goreskan pena!!!

Isdiyono, 10 Juli 2010
With full of hope to writting an uses article...

No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...