Thursday 6 August 2020

Membentuk Petani Milenial


    Saya, anda, kita semua sadar bahwa dari tahun ke tahun, sawah-sawah yang ada di sekitar kita tidak lagi ditanami dengan padi dan palawija.  Saat ini orang lebih suka menanami sawahnya dengan properti yang lebih cepat mendapat uang tunai daripada merawat tanaman pangan yang memiliki peluang gagal panen. Properti hanya panen satu kali dengan jumlah besar, sedangkan hasil tani panen tidak terlalu besar tetapi dalam setahun rata-rata 3 kali. Hanya saja, ya memang hasil menjual tanah lebih terlihat mata daripada harus bersusah payah mengolahnya.

    Permasalahan ini mendorong munculnya permasalahan yang lebih serius yakni degenerasi, atau terancam kehilangan penerus. Masalah ini erat kaitannya dengan pola pikir bahwa menjadi petani tidak lepas dari stigma miskin dan terjebak rentenir. Mereka tidak ingin anak-anaknya mengalami hal yang sama ketika melanjutkan pekerjaan warisan sebagai petani. Cukuplah mereka yang menjadi petani, anak-anak jika memungkinkan tidak perlu turun ke sawah.

Dampaknya sangat luar biasa, bisa kita lihat siapa yang setiap pagi dan sore nongkrong di tepi jalan areal persawahan. Pasti dalam benak kita langsung terbayang kakek-kakek bertopikan caping, dengan cangkul di pundak dan meracik sebatang rokok tembakau asli. Karena bahkan untuk membeli rokok pun dirasa sangat berat. Sangat jarang anak-anak muda berusia 15-30 tahun nongkrong di sawah membicarakan hal-hal indah tentang bercocok tanam. Di musim kemarau ini, mungkin sawah ramai tetapi oleh anak muda yang bermain layang-layang. Di beberapa tempat, sawah bahkan sudah mulai digunakan sebagai area untuk kawasan favorit menerbangkan pesawat mainan.

    Permasalahan kedua, dunia pertanian tidak populer di kalangan anak muda. Keuntungan dari bertani konvensional secara umum tidak cocok untuk generasi muda yang ingin hasil instan. Mengolah tanah, menanam, memupuk, memanen dan merapikan kembali sawah adalah pekerjaan yang berat dan membosankan. Sehingga, banyak generasi milenial lebih suka menghadiri seminar-seminar properti dengan iming-iming langsung “panen” daripada seminar tentang pertanian. Kalaupun ada seminar pertanian, biasanya pesertanya kalau tidak mahasiswa pertanian, anak-anak praktik kerja lapangan (PKL) sekolah pertanian ya petani bayaran yang dipaksa ikut seminar supaya terlihat ramai. Sedikit saja masyarakat umum yang tertarik mendalaminya.

    Hasil bertani jika serius memang bisa menghasilkan keuntungan yang besar. Tetapi harus didukung dengan lahan yang cukup, modal yang kuat, pengetahuan yang mendalam dan kecerdikan dalam mencari pangsa pasar yang prospektif. Bertani organik adalah salah satu contoh cara bercocok tanam yang mulai digemari. Tetapi, masih membutuhkan pengetahuan yang mendalam dan modal yang kuat. Terutama untuk mensterilkan lahan pertanian ketika akan dikonversikan menjadi pertanian organik.

    Permasalahan ketiga lebih rumit lagi, yaitu terbatasnya lahan-lahan pertanian yang dimiliki oleh para petani. Bisa dihitung dengan jari petani-petani yang memiliki sawah pribadi minimal satu hektar. Sebagian besar adalah petani kecil yang hasilnya tidak cukup untuk dijadikan penopang harian dan petani yang menyewa di tanah-tanah pelungguh pamong desa. Terlalu sulit bagi mereka untuk memikirkan bagaimana mewariskan sawah mereka kepada anak-anak. Jika dibagi sebanyak anak yang dimiliki akan semakin kecil sehingga hasilnya sedikit, sedangkan jika ingin membeli sawah lagi pendapatan mereka tidak pernah cukup. Melihat permasalahan-permasalahan “kecil” di lapangan ini, lalu bagaimanakah kita bisa memprediksi dunia pertanian kita ke depan? 

    Milenial

    Kata kunci dalam mengatasi permasalahan tersebut adalah: digitalisasi. Terlebih pada masa pandemi covid19 yang belum jelas kapan berakhirnya ini, hampir semua hal beralih ke platform digital. Sebut saja youtube, sangat dirasakan terutama para pegiat seni di mana jadwal-jadwal pertunjukan mereka berubah dari yang semula padat merayap menjadi hampir nol. Youtube bisa dikatakan sebagai angin surga bagi mereka untuk tetap bertahan hidup. Tidak hanya pekerja seni dan selebgram, bahkan saat ini para guru pun terpaksa menjadi youtuber karena dipaksa oleh kondisi untuk menyajikan kegiatan pembelajarannya karena tidak ada pertemuan tatap muka. 

    Kondisi demikian sebenarnya bisa menjadi peluang untuk berlomba mempromosikan diri, tidak terkecuali dunia pertanian. Meskipun mulai bermunculan tayangan-tayangan berkaitan dengan pertanian, saat ini masih terbatas pada konten-konten santai tentang sawah, tayangan tv yang dipindah ke platform digital atau produk-produk komersial pertanian yang memang sudah besar sebelumnya. Edukasi yang membahas spesifik tentang pertanian seperti para gamers membahas permainannya dari hulu sampai hilir  dan prospeknya pada saat ini masih belum banyak. 

    Maka, jika dunia pertanian masuk ke ranah digital dengan konten yang sistematik bisa jadi menjadi jalan merangkul generasi milenial. Saat ini, dunia hobi ikan hias yang dekat dengan dunia pertanian sudah mulai menggeliat di dunia digital. Bahkan, beberapa pemain ikan hias sudah mampu untuk membayar artis untuk mempromosikan dagangannya. Sehingga, pada masa pandemi ini, rata-rata penjualan ikan hias tidak terpengaruh oleh sepinya pelanggan dan cenderung naik dengan kehadiran para penghobi baru.

Jadikan hobi

    Nah, menjadikan bertani menjadi hobi adalah titik temu pertanian konvensional dengan generasi milenial. Jika hobi sudah menjadi alasan seseorang tertarik pada suatu hal, maka hal yang dianggap sampah pun bisa disulap menjadi berlian. Hobi akan menjadi motif atau penggerak seseorang untuk melakukan suatu aktivitas tanpa memikirkan untung-rugi. Lebih dari itu, hobi akan menggerakkan hati untuk bertanya, mencari tahu, merawat memasarkan dan menjadikan aktivitas bertani menjadi kebiasaan.

    Para ahli, pegiat atau relawan dibutuhkan untuk menjadi influencer dunia persawahan. Karena pengetahuan dasar yang dikemas dengan tampilan yang menarik akan mudah menyerap penghobi-penghobi baru. Sentuhan teknologi akan meningkatkan nilai aktivitas pertanian dalam memperluas pengaruhnya. Bukan semata-mata mendatangkan peralatan canggih yang belum tentu bisa dibeli oleh para milenial, tetapi lebih pada sentuhan teknologi mikrobiologi seperti pengembangan dan penggunaan mikroba dalam eksperimen-eksperimen sederhana. Seperti yang dilakukan dunia perikanan dengan mikroba andalannya yakni daphnia sp dan daphnia magna sebagai pakan berkualitas yang memang bisa dikultur sendiri secara mudah.

    Hambatan eksperimen di bidang pertanian bagi para generasi milenial adalah regulasi yang rumit dihadapkan pada minat baca yang rendah. Misal tentang hak cipta pemuliaan tanaman atau penemuan metode dan bahan yang bisa digunakan dalam aktivitas pertanian. Pelajaran tentang dipenjaranya petani renta beberapa waktu yang lalu karena salah dalam mengomersialkan benih silangannya merupakan contohnya. Apalagi, masa muda adalah rentang waktu di mana semangat mencari tahu masih sangat tinggi.

    Sehingga, publikasi-publikasi ilmu pertanian dengan gaya penyampaian audio-visual yang santai sangat diperlukan. Sambil berharap generasi milenial tidak semakin menjauh dari aktivitas bertani yang selama ini telah menjadi andalah bagi ribuan atau bahkan jutaan keluarga di Indonesia. Tidak ada yang mustahil jika kemudian bertani bisa menjadi hobi. Ketika bertani menjadi hobi, maka tangan-tangan kreatif milenial pun tentu akan mengikuti. Sudah saatnya petani-petani senior pensiun.

   

Oleh    : Isdiyono, S.Pd.

Guru SD 1 Pandak

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...