Wednesday 1 February 2012

Kajian Relevansi Aliran Filsafat Esensialisme dalam Pendidikan saat ini.


A. JUDUL
Kajian Relevansi Aliran Filsafat Esensialisme dalam Pendidikan saat ini.
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada awalnya, manusia menyadari pentingya pendidikan karena membutuhkan jawaban-jawaban atas pertanyaan. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang muncul merupakan akibat dari sebuah kondisi riil yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Dalam tahapan berikutnya, manusia mulai memusatkan kajian tentang jawaban permasalahan tersebut di dalam sebuah konsep komunitas.
Dari komunitas ini, maka terjadi komunikasi dalam rangka saling memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketika kebutuhan komunikasi tersebut terpenuhi, muncullah ide-ide baru dalam memenuhi kebutuhan hidup mulai yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling mewah. Proses ini membutuhkan waktu yang sangat lama dalam mencapai tujuannya.
Dalam perjalanannya, proses perubahan dalam pemenuhan kebutuhan ini tidak selalu bisa diterima begitu saja oleh masyarakat. Ada pertentangan-pertentangan yang muncul akibat ketidaksesuaian sebuah ide baru terhadap kepentingan-kepentingan yang ada. Untuk mempertahankan diri agar bisa diterima, proses perubahan ini membutuhkan waktu yang lama dan penyesuaian-penyesuaian. Sehingga, konsep tersebut bisa dilaksanakan meskipun terkadang tidak selalu sesuai dengan kondisi ideal.
Pemikiran-pemikiran dalam komunitas ini, pada akhirnya membentuk sebuah sistem yang terbentuk secara alami. Dari pemikiran, berkembang menjadi sebuah produk, tatanan dan aturan yang disepakati secara bersama-sama. Hal ini sesuai dengan teori bahwa kehidupan itu akan selalu dinamis.
Untuk tetap menjaga ritme perkembangan, maka tatanan yang disepakati secara bersama-sama itu menjadi sebuah kewajiban. Konsep inilah yang kemudian bisa kita sebut sebagai budaya. Di samping berwujud pemikiran dan produk, budaya ini juga membutuhkan penilaian terhadap keindahan yang tercipta. Ketiga konsep dasar inilah yang membentuk ciri khas budaya tersebut.
Seiring dengan perkembangan zaman, maka peradaban manusia pun mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini bisa dengan mudah ditemukan pada peralatan yang digunakan oleh manusia. Pada zaman prasejarah, manusia membuat senjata menggunakan bahan dasar batu. Seiring dengan perkembangan zaman, maka berubah menggunakan tembaga. Karena keberadaan tembaga sendiri lebih sedikit dibandingkan dengan besi, maka kemudian sampai saat ini besi masih digunakan sebagai bahan dasar pembuatan senjata.
Budaya yang sudah mapan ini, cenderung memiliki keinginan untuk mempertahankan bentuknya. Hasil olah cipta, rasa dan karsa yang telah terbentuk, membuat batasan-batasan budaya yang primitif dengan budaya global yang terus berubah.Kecenderungan perubahan yang semakin cepat, pada saat ini telah mengancam keberadaan budaya yang khas tersebut. Sebagai contoh, orang saat ini lebih suka menggunakan peralatan-peralatan yang mudah dan canggih. Misalnya saja ketika mau bepergian jauh, orang tinggal memilih mau pakai motor, bus, kereta api atau pesawat terbang. Dahulu, orang bepergian jauh menggunakan kuda.
Salah satu bidang yang diyakini masih mampu untuk melestarikan nilai-nilai budaya tersebut adalah pendidikan. Sebagai bidang kehidupan yang menangani tentang proses transfer pengetahuan, nilai-nilai dan pengembangan manusia muda, pendidikan memiliki nilai dalam mempertahankan budaya khas sebuah daerah. Tentu saja, tetap menggunakan konsep bahwa budaya adalah sebuah proses yang dinamis. Bukan untuk mempertahankan seutuhnya, tetapi untuk mempertahankan nilai-nilai dan hasil karya yang relevan. Termasuk di dalamnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Konsep penggunaan kebudayaan yang telah ada dalam pendidikan inilah yang bisa kita sebut sebagai filsafat esensialisme. Pendidikan didasarkan pada kebutuhan sebuah budaya sepenuhnya. Pada masa lampau, filsafat ini diyakini kebenarannya bahwa pendidikan memang bersumber dari kebudayaan dan dilaksanakan untuk kebudayaan itu sendiri. Hal ini penting dilaksanakan dalam rangka melestarikan nnilai-nilai budaya lokal yang masih relevan. (Isdiyono dkk 2011)

C. TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengkaji keterkaitan filsafat Esensialisme terhadap pendidikan saat ini.
2.      Untuk mengetahui relevansi aliran filsafat Esensialisme dalam pendidikan saat ini.

D. SEJARAH ALIRAN ESENSIALISME
Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing. Idealisme merupakan sebuah gambaran dari pemikiran-pemikiran tentang hal yang seharusnya terjadi. Realisme adalah paham yang memiliki keterkaitan erat dengan pelaksanaan idealisme-idealisme. Bahwa tidak setiap idealisme itu bisa diwujudkan dalam realitas.
Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta yang memenuhi tuntutan.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Nilai-nilai inilah yang kemudian kita sebut sebagai kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada dan melatarbelakangi terjadinya sebuah kebudayaan.(Isdiyono dkk 2011)

E. TOKOH-TOKOH ALIRAN ESENSIALISME
1.      Johan Amos Cornenius (1592-1670)
Johan Amos mengemukakan bahwa pendidikan secara esensial diajarkan melalui indra, karena indra adalah pintu gerbangnya jiwa.
2.      Johan Frieddrich Herbart (1776-1841)
Johan Frieddrich mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebijaksanaan Tuhan artinya adanya penyesuaian dengan hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart disebut pengajaran.
3.      William T. Harris (1835-1909)
Harris mengemukakan pendapatnya bahwa tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan ke kesatuan spiritual sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang turun menurut, dan menjadi penuntun penyesuaian orang pada masyarakat.
4.       Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Georg Wilhelm Friedrich HegelHegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis.
Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.
 5.       George Santayana
George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri memilih,melaksanakan.(Isdiyono dkk 2011)

F.PANDANGAN ALIRAN ESENSIALISME TERHADAP PENDIDIKAN
Aliran esensialisme meletakkan budaya dan adat yang telah berlaku sebagai komponen penting dalam menentukan dinamika pandangannya. Artinya, budaya yang ada merupakan sumber utama dalam perumusan sudut pandang. Dalam hal ini, aliran esensialisme melihat pendidikan dari paradigma pewarisan budaya dari generasi ke generasi.
Sebagai proses yang dilakukan secara sadar dalam membentuk generasi muda yang bermoral, cerdas, berprinsip dan memiliki keterampilan hidup, pendidikan memiliki peran yang vital dalam pelestarian budaya. Bahwa pendidikan harus sesuai dengan konsep pengembangan arah kemajuan bangsa, kepentingan politis dan mencakup pada kebutuhan pengembangan bisnis. Kepentingan-kepentingan tersebut harus menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisahkan. Ketika terdapat kesenjangan antar kepentingan tersebut, maka akan terjadi otorisasi kebijakan.
Dalam pendidikan, paham esensial memandang bahwa pendidikan merupakan bidang potensial yang bisa digunakan dalam melestarikan kebudayaan. Hal ini sesuai dengan aktivitas pendidikan sebagai sebuah proses pengenalan pengetahuan, keterampilan dan keyakinan. Sebagai sebuah proses, pendidikan memungkinkan terjadinya regenerasi sebuah pengetahuan. Sehingga, seorang siswa di sekolah bisa mengenal budaya kemudian memahaminya untuk diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian pandangan-pandangan realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas:
1. Determiuisme mutlak,
Menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat tercipta suasana hidup yang harmonis.
2.  Determinisme terbatas,
Memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawas yang diperlukan.
     Adapun beberapa imbas pelaksanaan aliran esensialisme adalah sebagai berikut.
1. Tujuan Pendidikan
Dalam pandangan ini, tujuan pendidikan yang ingin disampaikan  adalah berupa pewarisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, dasar bertahan sepanjang waktu untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang tepat untuk membentuk unsur-unsur yang inti (esensiliasme), sebuah pendidikan sehingga pendidikan bertujuan mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelek atau kecerdasan.
2. Metode pendidikan
Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered). Umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan, dan mereka harus dipaksa belajar.
Metode utama adalah latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian tugas, penguasaan pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi dan membaca.
3. Pandangan tentang Guru
a.       Peranan guru kuat dalam mempengaruhi dan menguasai kegiatan–kegiatan di kelas.
b.      Guru berperan sebagai sebuah contoh dalam pengawasan nilai-nilai dan penguasaan pengetahuan atau gagasan.
c.       Kelas berada di bawah pengaruh dan penguasaan guru.
4. Pelajar
Siswa adalah mahluk rasional dalam kekuasaan fakta & keterampilan-keterampilan pokok yang siap melakukan latihan-latihan intelektif atau berfikir.
Pengajar
Peranan guru kuat dalam mempengaruhi & menguasai kegiatan –kegiatan di kelas.  Guru berperan sebagai sebuah contoh dalam pengawasan nilai-nilai dan penguasaan pengetahuan atau gagasan.
5. Pandangan Essensialisme Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang  bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Horne dalam bukunya mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan. 
Bogoslousky mengutarakan di samping menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:
 1. Universum:  
Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata surya dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
2. Sivilisasi: 
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan tcrhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera .
3. Kebudayaan: 
Kebudayaan mempakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.(Isdiyono dkk 2011)

G.REFLEKSI KRITIS-INSPIRATIF PANDANGAN ESENSIALISME
Dari uraian di atas, ada beberapa telaah yang perlu disampaikan dalam menanggapi relevansi aliran esensialisme terhadap pendidikan saat ini. Sebagai sebuah paham yang mendasarkan pemahamannya atas pewarisan budaya, maka ada beberapa keuntungan dalam pelaksanaan aliran ini yaitu :
1. Konservasi budaya
Sebagai aliran yang mendasarkan idenya pada budaya asal yang telah lama diakui dan bertahan, konsep pemikiran ini akan mempermudah dalam konservasi budaya. Jadi, sebagai laboratorium oengembangan nilai-nilai kebudayaan masyarakat setempat.
2. Pengenalan anak pada nilai-nilai tradisional masyarakat sejak dini
Adanya konsep pengenalan budaya di sekolah, maka ada pengenalan nilai budaya sejak dini. Hal ini sangat penting dalam mendukung konservasi budaya. Pengenalan yang sejak dini, akan membentuk pengetahuan tentang budayanya sebagai sebuah karakter (bagian diri sendiri).
3. Mengembangkan kebudayaan sendiri
Adanya pemikiran tentang budaya sendiri, membuat pendidikan leluasa dalam mengembangkan nilai-nilai budaya yang ada. Hal ini dikarenakan bahwa tidak semua budaya yang ada di dalam masyarakat itu cocok dan relevan terhadap tantangan zaman. Apalagi, beberapa hal yang tidak sesuai dengan keyakinan bisa ditiadakan. Hal ini penting karena budaya merupakan bagian dari bentuk luaran idealisme seseorang.
4. Kontekstual
Kebudayaan, tidak bisa dipungkiri memiliki wilayah kaji yang dekat dengan siswa. Hal ini memungkinkan bahwa apa yang dipelajari di dalam sekolah, telah mereka laksanakan di lingkungan. Sehingga, ada relevansi terkait apa yang dipelajari siswa di sekolah dengan apa yang dialami mereka di rumah. Pendidikan yang baik dan berhasil adalah pendidikan yang dalam pelaksanaannya memuat unsur kontekstual ini.
Di samping keunggulan, pandangan inipun tidak terlepas dari kekurangan. Beberapa kekurangan yang  dapat kita sarikan dari uraian di atas adalah sebagai berikut.
1. Teacher centered.
Konsep pewarisan budaya, tidak memungkinkan adanya sifat fleksibilitas dalam pelaksanaan aliran ini. Hal ini dikarenakan bahwa pewarisan yang diberikan oleh seorang guru kelas, tidak selalu bisa diterjemahkan oleh guru-guru yang lain. Hal ini sangat bisa terjadi ketika seorang guru tidak memiliki pandangan lain dalam berkreasi dan berinovasi.
 2. Anti dinamika
Prinsip tradisional yang diusung dalam aliran ini, secara tidak langsung menunjukkan adanya sikap anti dinamika. Pendidikan yang dibangun dengan asumsi kebudayaan, cenderung sulit untuk menerima perubahan di dalamnya. Padahal, pendidikan memiliki salah satu syarat dasar yaitu selalu berubah mengikuti perkembangan dan kebutuhan zaman.
3. Keterbatasan model
Sangat tergantungnya peran model dalam mewariskan sebuah konsep budaya dalam pendidikan, telah memberikan keterbatasan model. Ketika konsep ini menghendaki anti pergantian penyampai pesan, maka penyampai pesan itu hanya guru seorang. Sehingga, siswa secara tidak sadar digiring ke arah pemikiran guru tersebut. Kondisi yang demikian tentu kurang baik dalam memberikan siswa pengenalan paradigma perbedaan berpikir tanpa kehilangan konsep benar dan salah secara relatif.
4. Munculnya sikap otoriter guru
Pewarisan yang dilaksanakan begitu saja, akan memunculkan otorisasi guru. Mereka bebas untuk mengajarkan tentang kebudayaan mereka melalui pendidikan tanpa intervensi dan koreksi pihak lain. Belum adanya sistem yang secara resmi mengatur aliran, memungkinkan hal tersebut terjadi. Ketika pewarisan budaya dalam pendidikan hanya ditentukan oleh guru saja, maka ke depannya pendidikan kita tidak akan mengalami banyak perkembangan.(Isdiyono dkk 2011)
Pada saat ini, konsep ini masih relevan diterapkan dalam pendidikan Indonesia. Wacana perluasan pentingnya pendidikan karakter, memperteguh posisi aliran filsafat esensialisme dalam menggali kembali nilai-nilai kearifan lokal yang telah lama tersisihkan. Bahwa selama ini, pendidikan kita mengarah pada ketidakjelasan konsep dikarenakan terlalu berorientasi pada nilai.
Budaya sebagai hasil aktivitas kolektif masyarakat, merupakan cerminan dari keteguhan berpikir sebuah bangsa. Jika diterjemahkan ke dalam pendidikan, maka akan menjadi sebuah proses penting dalam mengembalikan pendidikan sebagai salah satu mempertahankan jati diri bangsa. Bahwa pendidikan memang sebenarnya digunakan sebagai salah satu bagian dari area transformasi masyarakat.
Transformasi merupakan sebuah perubahan yang biasa terjadi, hanya saja aliran esensialisme memiliki pandangan yang kuat terhadap pengembangan konsep budaya tanpa meninggalkan esensinya. Sehingga, akan menjadi sebuah kebanggaan yang besar ketika budaya yang ada dalam masyarakat kita terus dilestarikan.
Dinamika budaya yang demikian, pernah dilakukan Jepang pasca pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki pada perang dunia II. Bahwa pada saat itu, pendidikan merupakan satu-satunya harapan bagi bangsa Jepang untuk segera bangkit dari keterpurukan. Mereka terus melakukan inovasi dan mengekspansi pemikiran mereka ke seluruh penjuru dunia. Sekarang, makanan-makanan Jepang, produk fashion dan kebudayaannya pun menjadi kajian yang menarik.
Nah, begitu juga dengan pendidikan yang ada di Indonesia. Sudah saatnya pendidikan kita dibangkitkan sebagai salah satu bentuk pengembangan nilai tradisional menjadi salah satu aset nasional. Bahwa pendidikan yang tidak kehilangan alasan sejarah berdirinya bangsa dan negaranya, akan menjadi sebuah bangsa yang besar. Hal ini dimulai dari paradigma pendidikan yang diberlakukan di dalamnya.(Isdiyono dkk 2011)
 
H. PENUTUP
1. Kesimpulan
a.    Aliran esensialisme meletakkan budaya dan adat yang telah berlaku sebagai komponen penting dalam menentukan dinamika pandangannya.
b.    Pelaksanaan aliran ini secara mutlak, hanya akan menimbulkan otorisasi pendidikan.
c.    Pada saat ini, aliran ini masih relevan dalam mengkaji kembali nilai-nilai budaya ke dalam pendidikan.
 2. Saran
a.       Pelaksanaan aliran esensialisme harus diterapkan secara prioritas, agar tidak terjadi teacher centered. Perlu variasi dalam pembelajarannya.
b.      Pelaksanaan konsep esensial perlu dilakukan tanpa menghilangkan esensi dasar yang ada.(Isdiyono dkk 2011)

I. DAFTAR PUSTAKA

No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...