Saturday 25 February 2012

Menakar UN untuk UMPTN


Entah merupakan berkah ataukah pertaruhan, mengawali tahun ajaran baru kementrian pendidikan akan mengujicobakan hasil UN sebagai syarat masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Bisa dikatakan berkah, ketika siswa-siswa tingkat SMA tidak perlu melaksanakan ujian kemampuan dasar, cukup dengan tes potensi akademik saja. Dan dikatakan sebagai sebuah pertaruhan, ketika integritas pelaksanaan ujian nasional (UN) di Indonesia saat ini masih sarat tindakan-tindakan curang.     
UN sebagai refleksi hasil belajar siswa selama tiga tahun di tingkat SMA, selama ini tidak menunjukkan kemampuan siswa yang sesungguhnya. Siswa yang pandai bisa saja mendapatkan nilai di bawah standar ketika dia tidak siap atau mengalami kesalahan teknis dalam mengerjakan soal. Nilai UN tidak mempengaruhi nilai proses yang dilakukan siswa selama mengikuti pelajaran selama tiga tahun, hanya mempengaruhi nilai kelulusan saja. Sehingga, UN terkadang bisa menjadi momok yang menakutkan dan tidak adil dalam “menilai” siswa.
Sedangkan siswa yang tidak pandai, malas-malasan dan buku untuk mencatat saja tidak punya bisa lulus dengan nilai sempurna. Berbekal keberanian dan keahlian mencontek, bisa saja hal demikian terjadi. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum jika para guru sebenarnya berada di “belakang” kelulusan siswa. Modusnya biasanya adalah berupa menjadikan anak yang terpandai sebagai sentral menjawab. Sebelum UN, guru membentuk kepanitiaan kecil untuk “mempersiapkan” UN. Jika konsep ini gagal, ada tim lain yang bersiap menerima jawaban dari guru yang diam-diam mengerjakan soal di ruang lain. Lalu, di mana konsep “kejujuran”, “keadilan”, “perjuangan”, “keihklasan” dan “kerja keras” yang setiap hari diajarkan oleh para guru?
Jikalau ada pengawas yang betul-betul menjalankan “tugas” mengawas dengan baik, bukan pujian yang diterima. Seperti perlakuan yang diterima oleh seorang guru saya saat SMA. Niat baik beliau untuk menegakkan kejujuran, tetapi pada hari berikutnya beliau tidak diperkenankan untuk mengawasi ujian anak-anak. Secara tersirat, kepala sekolah bersangkutan menyampaikan bahwa cara mengawas yang demikian akan “merugikan” siswa. Ini hanya kasus satu sekolah saja, pertanyaannya adalah : ada berapa sekolah yang diawasi oleh pengawas yang amanah terhadap tugasnya?
Selama ini, pemerintah belum menggarap konsep penanaman nilai dan karakter kepada segenap siswa. Hal ini tercermin dari konsep pendidikan karakter baru sebatas gembar-gembor semata, pada praktiknya masih jauh dari kata “memuaskan.” Parahnya, pendidikanlah sektor pemerintah yang pada beberapa tahun, atau puluh tahun kemudian membentuk seorang pemimpin bangsa. Jika kecurangan itu diwariskan, salahkah siswa jika mereka melakukan kecurangan yang lebih besar dalam pekerjaannya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita harus melihat seluruh stakholder pendidikan dan pengawas pelaksanaan UN untuk konsisten. Prinsip inilah yang menurut penulis sangat diperlukan dalam meningkatkan kredibilitas dan kualitas UN. Bahwa sebagai syarat penting dalam masuk PTN, kualitas UN pun harus ditingkatkan. Jika tidak, maka PTN-PTN terkemuka harus bersiap-siap untuk menyambut banyak  mahasiswa dengan nilai tinggi tetapi tidak mampu menyesuaikan dengan standar kualitas PTN tersebut.
Alasan rasional untuk memberikan peringatan ini adalah agar PTN-PTN harus bersiap-siap dengan resikonya. Nilai tinggi yang didapat hanya dari UN, tidak bisa mencerminkan kepribadian, kemampuan dan kecerdasan mereka. Di zaman yang modern dan serba pragmatis ini, uang masih dan terus menjadi elemen kunci dalam kecurangan-kecurangan. Orang yang memiliki banyak uang, akan dengan mudah memasukkan anaknya ke PTN yang dituju. Sebaliknya, anak-anak dari keluarga kurang mampu akan semakin tersisih. Hal ini mengingatkan prediksi Anis Baswedan bahwa, “ pendidikan yang tinggi dan tidak terjangkau oleh masyarakat kecil, akan semakin memperluas kemiskinan. Bisa jadi, di masa-masa mendatang kita tidak akan melihat seorang Dokter yang harus mengayuh becak ketika kuliah, atau seorang ilmuwan yang harus membagi kesibukannya dengan menjadi loper koran.
Yang perlu diperhatikan dalam menjadikan hasil UN sebagai salah satu syarat Ujian Masuk PTN (UMPTN) harus diperhatikan dampaknya dalam jangka waktu yang panjang. Jangan sampai pelaksanaan UN sebagai salah satu syarat masuk PTN, hanya menjadi seperti kata pepatah : “membeli kucing dalam karung” atau menerima tanpa mengetahui kemampuan yang dibutuhkan sesuai disiplin ilmu yang dituju. Jangan sampai ada misalnya ada mahasiswa matematika yang tidak bisa memecahkan teorema integral, atau mahasiswa bahasa yang tidak bisa melafalkan bahasa daerah asalnya sendiri. Karena pendidikan merupakan investasi peradaban, hasilnya tidak bisa langsung diunduh saat itu juga.

Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta





No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...