Entah merupakan berkah
ataukah pertaruhan, mengawali tahun ajaran baru kementrian pendidikan akan
mengujicobakan hasil UN sebagai syarat masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Bisa dikatakan berkah, ketika siswa-siswa tingkat SMA tidak perlu melaksanakan
ujian kemampuan dasar, cukup dengan tes potensi akademik saja. Dan dikatakan
sebagai sebuah pertaruhan, ketika integritas pelaksanaan ujian nasional (UN) di
Indonesia saat ini masih sarat tindakan-tindakan curang.
UN sebagai refleksi
hasil belajar siswa selama tiga tahun di tingkat SMA, selama ini tidak
menunjukkan kemampuan siswa yang sesungguhnya. Siswa yang pandai bisa saja
mendapatkan nilai di bawah standar ketika dia tidak siap atau mengalami
kesalahan teknis dalam mengerjakan soal. Nilai UN tidak mempengaruhi nilai
proses yang dilakukan siswa selama mengikuti pelajaran selama tiga tahun, hanya
mempengaruhi nilai kelulusan saja. Sehingga, UN terkadang bisa menjadi momok
yang menakutkan dan tidak adil dalam “menilai” siswa.
Sedangkan siswa yang
tidak pandai, malas-malasan dan buku untuk mencatat saja tidak punya bisa lulus
dengan nilai sempurna. Berbekal keberanian dan keahlian mencontek, bisa saja
hal demikian terjadi. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum jika para guru sebenarnya
berada di “belakang” kelulusan siswa. Modusnya biasanya adalah berupa
menjadikan anak yang terpandai sebagai sentral menjawab. Sebelum UN, guru
membentuk kepanitiaan kecil untuk “mempersiapkan” UN. Jika konsep ini gagal,
ada tim lain yang bersiap menerima jawaban dari guru yang diam-diam mengerjakan
soal di ruang lain. Lalu, di mana konsep “kejujuran”, “keadilan”, “perjuangan”,
“keihklasan” dan “kerja keras” yang setiap hari diajarkan oleh para guru?
Jikalau ada pengawas
yang betul-betul menjalankan “tugas” mengawas dengan baik, bukan pujian yang
diterima. Seperti perlakuan yang diterima oleh seorang guru saya saat SMA. Niat
baik beliau untuk menegakkan kejujuran, tetapi pada hari berikutnya beliau
tidak diperkenankan untuk mengawasi ujian anak-anak. Secara tersirat, kepala
sekolah bersangkutan menyampaikan bahwa cara mengawas yang demikian akan
“merugikan” siswa. Ini hanya kasus satu sekolah saja, pertanyaannya adalah :
ada berapa sekolah yang diawasi oleh pengawas yang amanah terhadap tugasnya?
Selama ini, pemerintah
belum menggarap konsep penanaman nilai dan karakter kepada segenap siswa. Hal
ini tercermin dari konsep pendidikan karakter baru sebatas gembar-gembor
semata, pada praktiknya masih jauh dari kata “memuaskan.” Parahnya,
pendidikanlah sektor pemerintah yang pada beberapa tahun, atau puluh tahun
kemudian membentuk seorang pemimpin bangsa. Jika kecurangan itu diwariskan,
salahkah siswa jika mereka melakukan kecurangan yang lebih besar dalam
pekerjaannya?
Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita harus melihat seluruh stakholder
pendidikan dan pengawas pelaksanaan UN untuk konsisten. Prinsip inilah yang
menurut penulis sangat diperlukan dalam meningkatkan kredibilitas dan kualitas
UN. Bahwa sebagai syarat penting dalam masuk PTN, kualitas UN pun harus ditingkatkan.
Jika tidak, maka PTN-PTN terkemuka harus bersiap-siap untuk menyambut
banyak mahasiswa dengan nilai tinggi
tetapi tidak mampu menyesuaikan dengan standar kualitas PTN tersebut.
Alasan rasional untuk
memberikan peringatan ini adalah agar PTN-PTN harus bersiap-siap dengan
resikonya. Nilai tinggi yang didapat hanya dari UN, tidak bisa mencerminkan
kepribadian, kemampuan dan kecerdasan mereka. Di zaman yang modern dan serba
pragmatis ini, uang masih dan terus menjadi elemen kunci dalam
kecurangan-kecurangan. Orang yang memiliki banyak uang, akan dengan mudah
memasukkan anaknya ke PTN yang dituju. Sebaliknya, anak-anak dari keluarga
kurang mampu akan semakin tersisih. Hal ini mengingatkan prediksi Anis Baswedan
bahwa, “ pendidikan yang tinggi dan tidak terjangkau oleh masyarakat kecil,
akan semakin memperluas kemiskinan. Bisa jadi, di masa-masa mendatang kita
tidak akan melihat seorang Dokter yang harus mengayuh becak ketika kuliah, atau
seorang ilmuwan yang harus membagi kesibukannya dengan menjadi loper koran.”
Yang perlu diperhatikan
dalam menjadikan hasil UN sebagai salah satu syarat Ujian Masuk PTN (UMPTN)
harus diperhatikan dampaknya dalam jangka waktu yang panjang. Jangan sampai
pelaksanaan UN sebagai salah satu syarat masuk PTN, hanya menjadi seperti kata
pepatah : “membeli kucing dalam karung” atau menerima tanpa mengetahui
kemampuan yang dibutuhkan sesuai disiplin ilmu yang dituju. Jangan sampai ada
misalnya ada mahasiswa matematika yang tidak bisa memecahkan teorema integral,
atau mahasiswa bahasa yang tidak bisa melafalkan bahasa daerah asalnya sendiri.
Karena pendidikan merupakan investasi peradaban, hasilnya tidak bisa langsung
diunduh saat itu juga.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
No comments:
Post a Comment