Boleh jadi, Amerika
Serikat dan Eropa menjadi tolok ukur raksasa kapitalis dunia. Karena di sanalah
pusatnya modernisasi, kemajuan teknologi dan taraf hidup yang tinggi. Tentu
saja, kita tidak bisa mengabaikan China sebagai pusat revolusi ekonomi yang
diprediksi akan memimpin perekonomian dalam masa-masa mendatang. Jepang dengan
kemajuan teknologinya, masih tetap tidak bisa diabaikan dalam perekonomian di
tingkat Asia. Sehingga, kita mungkin pernah berpikir bahwa merekalah
negara-negara kaya di dunia.
Ternyata, pandangan
tersebut harus kita revisi ketika melihat negeri kita sendiri. Ya, kita tidak
pelru jauh-jauh menunjuk negara maju sebagai tolok ukur kekayaan bangsa. Coba
kita lihat, Jepang yang memiliki pulau terbesar yang tidak lebih besar daripada
Pulau Jawa. Atau kita tengok negara-negara Eropa yang hanya bertani sekitar 9
bulan saja selama satu tahun karena selebihnya tertutup salju. Apalagi, mereka
juga tidak memiliki cadangan minyak bumi yang cukup besar. Berbeda dengan di
negara kita, tambang tinggal menggali, pertanian tinggal tanam saja bahkan
kekayaan lautnya pun sangat melimpah.
Akan tetapi, kondisi
yang demikian berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat perekonomiannya. Di
mana, sebanyak 30 juta masyarakat Indonesia masih berada di bawah garis
kemiskinan menurut data BPS tahun 2011. Padahal, cukup banyak juga orang kaya
yang beberapa bahkan masuk nominasi orang-orang terkaya versi Forbes. Data ini
terus saja meningkat dengan ditandai semakin berkembangnya bisnis properti.
Dengan kata lain, volume orang kaya semakin meningkat di tengah masyarakat
menengah ke bawah yang selalu terengah-engah menyesuaikan diri dengan kebutuhan
hidupnya.
Dengan potensi sumber
daya yang melimpah dan didukung dengan sumber daya manusia yang banyak,
seharusnya Indonesia bisa maju melebihi negara-negara lain. Tetapi, pada
faktanya tidak demikian mengingat laju pertumbuhan penduduk tidak diiringi
dengan peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Kondisi demikian, bisa kita
lihat dari grafik jumlah jenjang sekolah yang ditawarkan. Di Indonesia, ada
sekitar 40.000 sekolah dasar dibangun, sedangkan jumlah SMP hanya sekitar
25.000 atau setengahnya. Naik ke tingkat SMA pun semakin sedikit, apalagi yang mampu
melanjutkan ke perguruan tinggi bisa kita lihat bersama.
Jika kondisi demikian
terus terjadi, maka persaingan ekonomi dalam intern orang-orang Indonesia
sendiri akan terdesak. Bisa jadi, kita hanya akan menjadi penonton di negeri
sendiri. Kondisi demikian bisa kita lihat dalam kemajuan kota Jakarta sebagai
kota metropolitan. Orang-orang yang berada di gedung-gedung megah sebagian
besar tidak berasal dari Jakarta sendiri. Bahkan, banyakyang berasal dari
berbagai bangsa lain di dunia. Bisa jadi orang-orang asli Jakarta adalah mereka
yang tergusur di daerah-daerah pinggiran karena tidak mampu bersaing dengan
para pendatang tersebut. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan hidup, membuat
mereka tidak mampu membaca dan mengikuti perkembangan jaman. Hingga pada
akhirnya, akan menjadi budak di negeri sendiri.
Gambaran ini tidak jauh
berbeda jika kita memprediksi perekonomian di Indonesia pada masa mendatang.
Keengganan untuk terus berimprovisasi dan mengembangkan keterampilan, akan
membuat kita harus bersiap kalah dalam perekonomian dunia. Apalagi,
pemberlakuan pasar global telah membuka akses seluas-luasnya kepada setiap
negara untuk menawarkan produk atau investasinya. Sehingga, tidak ada
sekat-sekat bagi setiap individu atau perusahaan dalam mengembangkan produknya
di manapun berada.
Jika pemerintah gagal
mempersatukan tujuan pengembangan perekonomian untuk kemaslahatan bersama, maka
tunggu saja kehancuran perekonomian kita. Karena kemakmuran bangsa tidak diukur
dari kesejahteraan individu, tetapi kesejahteraan kolektif. Bahwa Indonesia itu
bukan aku, kamu atau dia tetapi kita. Sesuai dengan amanat undang-undang 1945
pasal 33 yang intinya mengatakan bahwa semua sumber daya yang ada harus
digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
Jika perkembangan perekonomian tidak didasarkan pada persatuan dan
kesejahteraan bersama,maka secara perlahan bangunan perekonomian nasional
tingggal menunggu waktu keruntuhannya.
Nah, untuk mengatasi
permasalahan tersebut sebenarnya kita memiliki satu sistem perekonomian tingkat
mikro yang mampu menjawab tantangan pasar bebas yakni perekonomian pasar. Dalam
konsep pasar tradisional, tidak ada monopoli oleh satu pihak saja. Semua
pedagang adalah pelaku ekonomi yang memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang
sama. Tingkat pemasukan satu pelaku dengan pelaku perekonomian tidak diukur
dari pangkatnya. Tetapi, seberapa piawai mereka memutar modal untuk mendapatkan
keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Akibatnya, ada perasaan
ketergantungan dalam aktivitas transaksi pasar. Karena setiap pedagang tidak
bisa mendominasi, tetapi saling melengkapi. Misalnya saja ada pembeli yang
ingin membeli bahan-bahan pembuat mi. Mereka harus pergi ke toko telur, toko
tepung dan toko rempah untuk memenuhi kebutuhan bahan. Dalam prosesnya,
terjadilah interaksi kekerabatan yang ditimbulkan dari perasaan ketergantungan
dan transaksi tawar-menawar.
Di sini,hampir semua
orang bisa menggelar lapak dengan harga sewa yang cukup terjangkau. Karena
pengelolaan pasar tidak dipegang oleh satu orang saja, tetapi pengurus yang
ditunjuk oleh pemerintah atau diusulkan oleh masyarakat. Secara tidak langsung,
konsep ini juga memiliki muatan kedaulatan rakyat yang menjadi pembeda
demokrasi Indonesia dengan demokrasi
yang berasal dari bangsa-bangsa lain. Bahkan, pembeli pun merasa bahwa pasar
tersebut adalah miliknya juga.
Di sinilah sebenarnya
letak ketahanan perekonomian di Indonesia. Krisis yang melanda dunia, tidak
memiliki dampak signifikan terhadap aktivitas perdagangan. Efek terbesar hanyalah
adanya kenaikan harga barang dagangan jika terjadi penurunan rupiah. Adanya
hubungan kekerabatan yang masih erat, membuat orang tidak harus membayar dengan
harga yang diminta oleh penjual. Mereka bisa menawar harga sesuai dengan
kewajaran dan kualitas barang. Bahkan, orang bisa membayar pada transaksi
berikutnya jika kebetulan uangnya kurang. Dalam berbagai kesempatan, barter
masih diberlakukan dalam memenuhi kebutuhan masing-masing pelaku. Jadi,
meskipun barang yang ditawarkan tidak laku bisa mereka siasati dengan menukar
barang lain sesuai dengan kualitas atau kesepakatan bersama. Dengan cara inilah
semua orang mulai dari level atas hingga ke bawah bisa melakukan transaksi
tanpa harus takut tidak bisa membayar.
Tantangan pasar
tradisional pada saat ini adalah dengan berdirinya mall, supermarket atau
minimarket yang mulai menjamur. Bahkan, minimarket sudah mampu menjangkau
daerah-daerah yang jauh dari perkotaan. Dengan harga yang relatif miring,
pelayanan ramah dan tempat yang bersih membuat masyarakat mulai beralih dari
pasar tradisional ke minimarket. Di kota-kota besar, berbelanja di mall bahkan
sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup. Apalagi, barang-barang
yang dijual pun beragam dan cenderung bersifat tahan lama.
Aspek terbesar dan mencolok
yang mempengaruhi berpindahnya pembeli di pasar ke minimarket-minimarket adalah
tentang tata letak dan kebersihan tempat. Sudah menjadi rahasia umum, jika
kondisi pasar tradisional yang ada di sekitar kita kurang memperhatikan
kebersihan lingkungan. Biaya sewa yang murah, meskipun sedikit turut
mempengaruhi kesadaran para pedagang untuk menghargai lingkungannya. Bukan
karena tidak kurang pengelola pasar memberikan himbauan-himbauan, tetapi lebih
karena pada dasarnya disebabkan oleh tingkat pendidikannya yang relatif rendah.
Tidak heran jika musim penghujan tiba pasar menjadi sedemikian baunya dengan
beberapa drainase yang tersumbat.
Menyadari permasalahan
ini, beberapa pemerintah daerah mulai merevolusi pasar-pasar tradisional yang
ada dengan tampilan yang lebih dinamis. Bahkan di daerah Bantul, pemerintah
daerah mengesahkan kebijakan melerang pendirian mall. Padahal, jika pemerintah
mau menyetujui pembangunan mall bisa saja Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
diterima semakin besar. Potensi uang yang beredar pun bisa saja berkembang
pesat mengingat jumlah penduduknya yang cukup besar.
Dengan semangat
membangun bangsa yang mandiri, pasar-pasar tradisional perlu disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Fasilitas yang bersih dan terawat, akses yang mudah dengan
bentuk transaksi yang sama dengan pasar tradisional akan memberikan pesona deja vu. Mereka serasa kembali dalam
aktivitas perekonomian yang sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Tambahan
perawatan fasilitas-fasilitas, tentu saja akan menarik minat konsumen untuk
kembali lebih memilih pasar tradisional daripada toko-toko modern.
Sehingga, aktivitas
perekonomian mikro bisa kembali menggeliat. Karena pada dasarnya, kemajuan
perekonomian kita tidak dapat diukur hanya menurut perkembangan sektor-sektor makro.
Para pelaku di sektor mikro, justru lebih banyak daripada sektor makro. Karena
di sinilah letak perekonomian Indonesia yang sebenarnya. Akan sangat bermanfaat
ketika sektor-sektor mikro ini terus didorong untuk berkembang. Karena sektor
mikro cenderung menyerap tenaga-tenaga kerja yang terampil dan bisa
mengembangkan diri.
Berbeda dengan para
pekerja di perusahaan-perusahaan besar yang hanya bisa melakukan pekerjaannya
secara dikotomi. Mereka hanya tahu proses produksi di satu bagian, tanpa
mengetahui proses produksi bagian lainnya. Kestabilan pembayaran gaji, membuat
suatu gap atau jarak yang memisahkan antara pemilik dengan karyawan. Pada
akhirnya, karyawan tidak dapat mengembangkan keterampilannya secara mandiri.
Sehingga, pada masanya pensiun, banyak karyawan mengalami gejala stres yang
akut.
Maka, modernisasi
pasar-pasar tradisional sangat diperlukan untuk merangsang terciptanya
perekonomian nasional yang kuat. Karena pasar tradisional merupakan tempat
perekonomian mikro tumbuh dan berkembang. Ketika perekonomian mikro kokoh, maka
krisis global yang sekarang sedang terjadi tidak akan mampu meruntuhkan
perekonomian nasional. Karena setiap orang memiliki kesempatan untuk menentukan
nasibnya sendiri. Berbeda dengan ketika perekonomian dimonopoli oleh sebagian
orang. Maka setiap orang tidak akan mampu bertahan ketika sektor tersebut
runtuh.
No comments:
Post a Comment