Menyanyi, mengasah bakat anak sejak dini |
Saat ini, industri musik sudah menjadi bisnis yang paling dilirik oleh banyak orang, banyak pihak dan banyak investor. Terbukti, banyak band bermunculan, meskipun tidak mampu bertahan lama. Penyanyi solo hingga yang sedang tenar sekarang adalah grup band berformat boyband atau girlband yang mengandalkan olah vokal personilnya. Format bermain musik yang meniru artis-artis Korean Pop atau biasa disebut K-Pop ini, membuktikan bahwa industri permusikan di tanah air sedang dijajah.
Orang sudah jarang sekali menyukai
lagu-lagu nasional Indonesia, ataupun lagu-lagu Melayu dan dangdut. Sehingga,
di tengah-tengah serangan budaya dari luar negeri ini lagu dangdut misalnya,
bertahan dengan lirik-lirik “nakal”. Pun begitupuladengan lagu-lagu Melayu yang
menjadi urat nadi budaya bangsa Indonesia, sekarang sudah berubah menyesuaikan
dengan zaman. Tema yang diangkat sekarang ini kurang berwariasi dan cenderung
roman-sentris. Artinya, syair-syair lagu yang digunakan sebagai diksi pun tidak
jauh beranjak dari tema cinta, baik kesedihan cinta, kebahagiaan cinta hingga
harapan-harapan kosong cinta semu terhadap sesama manusia.
Kondisi demikian, berpengaruh terhadap
variasi bentuk dan syair yang digunakan para pemusik dalam melantunkan
syairnya. Lagu-lagu bertema lain yang lebih sopan dan memiliki tema yang
bervariasi, tergeser oleh kepentingan komersial. Sehingga, sangat jarang kita
mendengar lagu-lagu rohani, lagu-lagu perjuangan dan lagu tentang
ke-Indonesiaan itu sendiri diciptakan.
Dampak terparah adalah ketika lagu untuk
anak-anak pun tergeser oleh lagu-lagu beraliran roman picisan ini. Lagu
anak-anak mulai ditinggalkan oleh orang-orang karena dianggap kurang memiliki
nilai jual tinggi. Sehingga, lagu anak-anak saat ini tidak mengalami
perkembangan dan cenderung terlupakan. Berbeda dengan awal tahun dua ribuan, di
mana anak-anak masih memiliki idola seperti Joshua, Cikit Meidi, Maissy, Bondan
hingga Sherina. Generasi yang pernah merasakan menjadi anak-anak pada masa itu
pun juga masih ingat bagaimana Saskia dan Geovani mengingatkan anak-anak
tentang pentingnya menabung melalui lagunya.
Dulu, anak-anak gemar menyanyikan
lagu-lagu tersebut karena memang banyak artis cilik yang menyanyikan lagu yang
menceritakan kondisi yang tak berbeda jauh dengan lingkungannya. Mereka
merasakan betul bagaimana lagu bisa menjadikan mereka “anak-anak yang
sesungguhnya”. Berbeda dengan tahun-tahun tersebut, saat ini anak-anak tak
memiliki lagu mereka sendiri.
Dengan tersedianya lagu-lagu cinta yang
dinyanyikan oleh orang-orang dewasa, seolah mereka dipaksa berimajinasi sesuai
orang dewasa. Dampak dari kondisi yang demikian adalah ketika anak-anak menjadi
lebih cepat dewasa. Mereka lebih tahu kebutuhan dan hal-hal yang dilakukan
orang dewasa yang sebetulnya tidak sesuai dengan tingkatan umurnya. Pacaran,
patah hati, stres, hingga merokok yang menggiring mereka pada obat-obatan
terlarang adalah dampak yang sering kali mengiringi dan tak bisa ditolak.
Ketika mereka mencari definisi tentang
cinta yang selalu mereka nyanyikan misalnya, mereka akan mencari bentuk
konkritnya. Karena orang dewasa terkadang pun tak tahu dan tidak mau
memberitahu arti dan makna cinta, mereka berasumsi memiliki pacar adalah wujud
dari mencintai seseorang. Ketika video-video klip menyajikan kemesraan dalam
pasaran, mereka juga akan berpikir bahwa hal tersebut pun harus mereka lakukan
juga. Hal yang paling ditakutkan adalah ketika mereka secara tidak sengaja atau
dihasut kemudian melakukan tindakan perkosaan dan pencabulan. Sudah tidak bisa
ditolerir.
Saat anak tidak mendapatkan apa yang
mereka inginkan dalam berpacaran, maka
mereka akan mudah mengalami stres. Diawali dengan perasaan patah hati, akan
sangat mudah bagi orang-orang yang memiliki niat jahat untuk masuk. Kebiasaan
merokok dengan dalih dewasa, keren, gaul dan bisa melepaskan beban akhirnya pun
mereka lakukan. Lebih jauh, sangat terbuka bagi mereka untuk mencoba
minuman-minuman keras bahkan hingga narkoba.
Kondisi mental yang masih belajar dan
mencari jati diri, akan sangat mudah menjerumuskan mereka pada hal-hal negatif.
Ketika perasaan mereka lebih berkembang daripada pemikiran kognitif, maka akan
terjadi pematangan diri yang cepat dengan tingkat pemikiran yang rendah. Hanya
sedikit saja yang mampu berkembang optimal sesuai dengan tingkatan umurnya. Bahkan,
secara mental mereka tidak menikmati masa-masa bermain mereka.
Kita tidak bisa menyalahkan anak-anak
yang terpaksa harus menyanyikan lagu-lagu orang dewasa dan menghayatinya. Hanya
saja, kita harus peduli terhadap tantangan yang berasal dari lagu-lagu masa
kini. Jangan sampai, anak-anak tidak lagi memiliki lagu yang cocok dengan
mereka. Lagu yang merepresentasikan dunia anak yang penuh dengan kegembiraan,
keceriaan dan permainan. Bukan lagu karbitan yang memaksa anak-anak berkembang
dewasa sebelum waktunya. Inilah pekerjaan rumah kita bersama.
No comments:
Post a Comment