Friday 14 September 2012

Anak-Anak tak Punya Lagu, Salah Siapa?

Menyanyi, mengasah bakat anak sejak dini

             Saat ini, industri musik sudah menjadi bisnis yang paling dilirik oleh banyak orang, banyak pihak dan banyak investor. Terbukti, banyak band bermunculan, meskipun tidak mampu bertahan lama. Penyanyi solo hingga yang sedang tenar sekarang adalah grup band berformat boyband atau girlband yang mengandalkan olah vokal personilnya. Format bermain musik yang meniru artis-artis Korean Pop atau biasa disebut K-Pop ini, membuktikan bahwa industri permusikan di tanah air sedang dijajah.
Orang sudah jarang sekali menyukai lagu-lagu nasional Indonesia, ataupun lagu-lagu Melayu dan dangdut. Sehingga, di tengah-tengah serangan budaya dari luar negeri ini lagu dangdut misalnya, bertahan dengan lirik-lirik “nakal”. Pun begitupuladengan lagu-lagu Melayu yang menjadi urat nadi budaya bangsa Indonesia, sekarang sudah berubah menyesuaikan dengan zaman. Tema yang diangkat sekarang ini kurang berwariasi dan cenderung roman-sentris. Artinya, syair-syair lagu yang digunakan sebagai diksi pun tidak jauh beranjak dari tema cinta, baik kesedihan cinta, kebahagiaan cinta hingga harapan-harapan kosong cinta semu terhadap sesama manusia.
Kondisi demikian, berpengaruh terhadap variasi bentuk dan syair yang digunakan para pemusik dalam melantunkan syairnya. Lagu-lagu bertema lain yang lebih sopan dan memiliki tema yang bervariasi, tergeser oleh kepentingan komersial. Sehingga, sangat jarang kita mendengar lagu-lagu rohani, lagu-lagu perjuangan dan lagu tentang ke-Indonesiaan itu sendiri diciptakan.
Dampak terparah adalah ketika lagu untuk anak-anak pun tergeser oleh lagu-lagu beraliran roman picisan ini. Lagu anak-anak mulai ditinggalkan oleh orang-orang karena dianggap kurang memiliki nilai jual tinggi. Sehingga, lagu anak-anak saat ini tidak mengalami perkembangan dan cenderung terlupakan. Berbeda dengan awal tahun dua ribuan, di mana anak-anak masih memiliki idola seperti Joshua, Cikit Meidi, Maissy, Bondan hingga Sherina. Generasi yang pernah merasakan menjadi anak-anak pada masa itu pun juga masih ingat bagaimana Saskia dan Geovani mengingatkan anak-anak tentang pentingnya menabung melalui lagunya.
Dulu, anak-anak gemar menyanyikan lagu-lagu tersebut karena memang banyak artis cilik yang menyanyikan lagu yang menceritakan kondisi yang tak berbeda jauh dengan lingkungannya. Mereka merasakan betul bagaimana lagu bisa menjadikan mereka “anak-anak yang sesungguhnya”. Berbeda dengan tahun-tahun tersebut, saat ini anak-anak tak memiliki lagu mereka sendiri.
Dengan tersedianya lagu-lagu cinta yang dinyanyikan oleh orang-orang dewasa, seolah mereka dipaksa berimajinasi sesuai orang dewasa. Dampak dari kondisi yang demikian adalah ketika anak-anak menjadi lebih cepat dewasa. Mereka lebih tahu kebutuhan dan hal-hal yang dilakukan orang dewasa yang sebetulnya tidak sesuai dengan tingkatan umurnya. Pacaran, patah hati, stres, hingga merokok yang menggiring mereka pada obat-obatan terlarang adalah dampak yang sering kali mengiringi dan tak bisa ditolak.
Ketika mereka mencari definisi tentang cinta yang selalu mereka nyanyikan misalnya, mereka akan mencari bentuk konkritnya. Karena orang dewasa terkadang pun tak tahu dan tidak mau memberitahu arti dan makna cinta, mereka berasumsi memiliki pacar adalah wujud dari mencintai seseorang. Ketika video-video klip menyajikan kemesraan dalam pasaran, mereka juga akan berpikir bahwa hal tersebut pun harus mereka lakukan juga. Hal yang paling ditakutkan adalah ketika mereka secara tidak sengaja atau dihasut kemudian melakukan tindakan perkosaan dan pencabulan. Sudah tidak bisa ditolerir.
Saat anak tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan dalam  berpacaran, maka mereka akan mudah mengalami stres. Diawali dengan perasaan patah hati, akan sangat mudah bagi orang-orang yang memiliki niat jahat untuk masuk. Kebiasaan merokok dengan dalih dewasa, keren, gaul dan bisa melepaskan beban akhirnya pun mereka lakukan. Lebih jauh, sangat terbuka bagi mereka untuk mencoba minuman-minuman keras bahkan hingga narkoba.
Kondisi mental yang masih belajar dan mencari jati diri, akan sangat mudah menjerumuskan mereka pada hal-hal negatif. Ketika perasaan mereka lebih berkembang daripada pemikiran kognitif, maka akan terjadi pematangan diri yang cepat dengan tingkat pemikiran yang rendah. Hanya sedikit saja yang mampu berkembang optimal sesuai dengan tingkatan umurnya. Bahkan, secara mental mereka tidak menikmati masa-masa bermain mereka.
Kita tidak bisa menyalahkan anak-anak yang terpaksa harus menyanyikan lagu-lagu orang dewasa dan menghayatinya. Hanya saja, kita harus peduli terhadap tantangan yang berasal dari lagu-lagu masa kini. Jangan sampai, anak-anak tidak lagi memiliki lagu yang cocok dengan mereka. Lagu yang merepresentasikan dunia anak yang penuh dengan kegembiraan, keceriaan dan permainan. Bukan lagu karbitan yang memaksa anak-anak berkembang dewasa sebelum waktunya. Inilah pekerjaan rumah kita bersama.

No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...