Anak-anak yang riang gembira |
Seiring
dengan kebijakan anggaran 20% khusus untuk pendidikan, semakin meningkat pula
pemenuhan kebutuhan operasional institusi pendidikan di berbagai daerah dan
tingkat pendidikan. Hal ini secara langsung memudahkan sekolah dalam
meningkatkan performa mereka dalam menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dan
berkualitas. Di samping munculnya berbagai kebijakan yang menguntungkan seperti
kenaikan gaji guru, fasilitas sekolah yang bagus hingga pengadaan beasiswa bidik
misi dari tingkat dasar, juga ada beberapa kebijakan yang membingungkan.
Salah
satu kebijakan yang membingungkan ini adalah terkait ketentuan jam mengajar
guru yang memenuhi 24 jam tiap minggu. Di tingkat sekolah dasar, pemenuhan jam
profesional tidak masalah bagi guru kelas. Akan tetapi, sangat memberatkan bagi
guru-guru mata pelajaran yang harus mengajar di beberapa sekolah sekaligus.
Secara kuantitas, memang kewajiban guru dalam memenuhi jamnya semakin merata.
Keuntungan
ini akan terasa sedikit tidak sesuai, ketika kita membicarakan tentang
pengembangan emosional-sosial guru terhadap lingkungan sekolah dan kelas. Dengan
tuntutan jam pelajaran yang ketat, guru akan kehilangan interaksi kepada siswa
yang secara tidak langsung akan berkurang. Padahal, sebagai seorang pendidik
guru tidak hanya memiliki kewajiban mengajar saja. Tetapi juga membimbing,
membina mendampingi dan menjadi teman belajarnya.
Jika
dikaitkan dengan 4 dasar ciri guru profesional sesuai UU Sisdiknas no 14 tahun
2002 pun kurang cocok. Dalam undang-undang, dijelaskan bahwa ciri guru
profesional adalah memiliki kompetensi pedagogi, kompetensi sosial, kompetensi
emosional dan kompetensi ... Maka, sudah saatnya pengampu kebijakan pendidikan
harus lebih realistis. Karena kualitas seorang guru tidak hanya dihitung dari
berapa lama ia mengajar dalam seminggu saja. Tetapi juga bagaimana dia
mengajar, menguasai ilmunya, mengatur emosi diri dan dengan orang lain serta
bagaimana berinteraksi dengan siswa, guru dan lingkungan. Jika ukuran profesional
sudah adil, saya kira banyak guru yang tidak lolos Ujian Kompetensi Guru (UKG)
beberapa waktu lalu yang sangat layak menjadi seorang guru profesional.
Isdiyono,
Mahasiswa PGSD FIP
Universitas
Negeri Yogyakarta
No comments:
Post a Comment