Thursday 13 September 2012

Bike UNY, Gowes Jalur Selarong-Krebet


Saat ini, bersepeda sudah menjadi gaya hidup mudah, murah dan menyehatkan. Bagi masyarakat kota Yogyakarta misalnya, kebijakan Sego Segawe yang diwariskan oleh Pak Herry Zudianto telah membawa angin segar budaya bersepeda yang sehat. Maka, tidak heran jika banyak komunitas pun terbentuk di kawasan ini. Jika kita melintas ke kawasan Stadion Kridosono, maka akan kita saksikan kemacetan, bukan oleh kendaraan bermotor tetapi oleh sepeda. Mulai pecinta sepeda gunung, sepeda tua, komunitas berdasar pekerjaan, kesenangan hingga komunitas pengenang masa lalu pun ada.
Anggotanya pun sangat beragam, mulai dari anak-anak, pelajar, mahasiswa, pebisnis hingga orang-orang tua pun bernostalgia dengan sepedanya. Suara deringan bel sepeda, akan membawa kita pada zaman 70-an, saat sepeda masih berjaya dan menjadi primadona transportasi jarak pendek dan menengah. Beberapa waktu yang lalu, beberapa anggota dari komunitas sepeda Bike UNY mencoba mengambil jalur ekstrem. Kalau biasanya bersepeda sekedar keliling kota Jogja, pada  akhir bulan Agustus lalu tim menyisir jalur Bantul barat yang terkenal ekstrem.
Bagaimana tidak, jalur Bantul barat adalah jalur dataran tinggi Sewu yang jalurnya tidak mulus tetapi berkelok dan naik-turun. Jika ada anggota belum menguasai daerah ini, tempat transit paling disarankan adalah Masjid Agung Bantul yang terletak kurang lebih 15 km dari Kota Yogyakarta. Melewati jalur ini, destinasi pertama yang wajib dikunjungi adalah Goa Selarong. Satu tempat bersejarah tempat Pangeran Diponegoro berjuang melawan tirani penjajah demi mempertahankan prinsip hidup, agama dan masyarakatnya. Corak Islam kental dalam situs ini jika kita lihat jumlah goa yang ada yakni 2 buah. Satu untuk laki-laki dan satu untuk perempuan, sebagai pembatasnya. Sebelumnya, kita harus naik tangga yang cukup membuat badan berkeringat. 
Goa Selarong, objek wisata sejarah yang mengingatkan kita pada perjuangan Pangeran Diponegoro dalam mempertahankan keislamannya
Destinasi berikutnya adalah desa wisata Krebet yang sudah terkenal dengan pusat kerajinan batik kayunya. Beberapa tanjakan menantang harus dilewati untuk menemukan desa ini. Perasaan lega, gembira dan rasa kemenangan menyerak begitu gowesan sepeda disambut oleh papan-papan selamat datang di desa wisata. Di sini, tim yang dikomandoi Mas Agus Irawan beserta Agus Dwi dan saya bertemu dengan pak Anton Wahono yang telah malang-melintang merintis desa wisata ini.
Percakapan selama 3 jam pun tak terasa dan terasa belum cukup untuk mendapatkan ilmu dari beliau. Bagaimana meletakkan kejujuran sebagai pondasi membangun jaringan, memiliki nilai penting dalam berbisnis. Pria lulusan SMA dan baru saja menyelesaikan kuliahnya ini, telah berkeliling dunia mulai dari Asia, Eropa hingga Amerika sudah biasa ia jelajahi. Satu prinsip yang terus terngiang adalah “ojo nglungguhi kloso gumelar”, artinya jangan mengandalkan harta atau warisan dalam hidup karena ia akan habis. Tetapi, belajar mandiri dengan memeras keringat dan otak dengan mengasah kepekaan hati terhadap lingkungan.
Seharian mungkin waktu y ang singkat untuk menjelajahi pesona bukit Sewu ini. Seluruh rasa capek hilang, ketika sepeda disandarkan pada jalan setapak di ujung selatan bukit, tepatnya di atas Makam Sewu. Pemandangan alam,sawah yang berpetak-petak, sensasi perbukitan yang terhampar luas, menjadi penawar dahaga. Bagi para bikers sejati, jalur barat ini sepertinya sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Aneka kerajinan terpampang di dinding

Topeng Betawi pun ada, pesanan dari konsumen

Wayang kayu, bisa lebih murah harganya karena bahan dasarnya relatif lebih terjangkau dari wayang kulit.

Patung kucing seni, cocok untuk interior rumah

Berdiskusi dengan perintis kerajinan batik kayu Kerebet.

Di ujung puncak Makam Sewu.

Don't try at home
 

No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...