Saat ini, bersepeda
sudah menjadi gaya hidup mudah, murah dan menyehatkan. Bagi masyarakat kota
Yogyakarta misalnya, kebijakan Sego Segawe yang diwariskan oleh Pak Herry
Zudianto telah membawa angin segar budaya bersepeda yang sehat. Maka, tidak
heran jika banyak komunitas pun terbentuk di kawasan ini. Jika kita melintas ke
kawasan Stadion Kridosono, maka akan kita saksikan kemacetan, bukan oleh
kendaraan bermotor tetapi oleh sepeda. Mulai pecinta sepeda gunung, sepeda tua,
komunitas berdasar pekerjaan, kesenangan hingga komunitas pengenang masa lalu
pun ada.
Anggotanya pun sangat
beragam, mulai dari anak-anak, pelajar, mahasiswa, pebisnis hingga orang-orang
tua pun bernostalgia dengan sepedanya. Suara deringan bel sepeda, akan membawa
kita pada zaman 70-an, saat sepeda masih berjaya dan menjadi primadona
transportasi jarak pendek dan menengah. Beberapa waktu yang lalu, beberapa
anggota dari komunitas sepeda Bike UNY mencoba mengambil jalur ekstrem. Kalau
biasanya bersepeda sekedar keliling kota Jogja, pada akhir bulan Agustus lalu tim menyisir jalur
Bantul barat yang terkenal ekstrem.
Bagaimana tidak, jalur
Bantul barat adalah jalur dataran tinggi Sewu yang jalurnya tidak mulus tetapi
berkelok dan naik-turun. Jika ada anggota belum menguasai daerah ini, tempat
transit paling disarankan adalah Masjid Agung Bantul yang terletak kurang lebih
15 km dari Kota Yogyakarta. Melewati jalur ini, destinasi pertama yang wajib
dikunjungi adalah Goa Selarong. Satu tempat bersejarah tempat Pangeran
Diponegoro berjuang melawan tirani penjajah demi mempertahankan prinsip hidup,
agama dan masyarakatnya. Corak Islam kental dalam situs ini jika kita lihat
jumlah goa yang ada yakni 2 buah. Satu untuk laki-laki dan satu untuk
perempuan, sebagai pembatasnya. Sebelumnya, kita harus naik tangga yang cukup
membuat badan berkeringat.
|
Goa Selarong, objek wisata sejarah yang mengingatkan kita pada perjuangan Pangeran Diponegoro dalam mempertahankan keislamannya |
Destinasi berikutnya
adalah desa wisata Krebet yang sudah terkenal dengan pusat kerajinan batik
kayunya. Beberapa tanjakan menantang harus dilewati untuk menemukan desa ini.
Perasaan lega, gembira dan rasa kemenangan menyerak begitu gowesan sepeda disambut oleh papan-papan selamat datang di desa
wisata. Di sini, tim yang dikomandoi Mas Agus Irawan beserta Agus Dwi dan saya
bertemu dengan pak Anton Wahono yang telah malang-melintang merintis desa
wisata ini.
Percakapan selama 3 jam
pun tak terasa dan terasa belum cukup untuk mendapatkan ilmu dari beliau.
Bagaimana meletakkan kejujuran sebagai pondasi membangun jaringan, memiliki
nilai penting dalam berbisnis. Pria lulusan SMA dan baru saja menyelesaikan
kuliahnya ini, telah berkeliling dunia mulai dari Asia, Eropa hingga Amerika
sudah biasa ia jelajahi. Satu prinsip yang terus terngiang adalah “ojo
nglungguhi kloso gumelar”, artinya jangan mengandalkan harta atau warisan dalam
hidup karena ia akan habis. Tetapi, belajar mandiri dengan memeras keringat dan
otak dengan mengasah kepekaan hati terhadap lingkungan.
Seharian mungkin waktu
y ang singkat untuk menjelajahi pesona bukit Sewu ini. Seluruh rasa capek
hilang, ketika sepeda disandarkan pada jalan setapak di ujung selatan bukit,
tepatnya di atas Makam Sewu. Pemandangan alam,sawah yang berpetak-petak,
sensasi perbukitan yang terhampar luas, menjadi penawar dahaga. Bagi para
bikers sejati, jalur barat ini sepertinya sangat sayang untuk dilewatkan begitu
saja.
|
Aneka kerajinan terpampang di dinding |
|
Topeng Betawi pun ada, pesanan dari konsumen |
|
Wayang kayu, bisa lebih murah harganya karena bahan dasarnya relatif lebih terjangkau dari wayang kulit. |
|
Patung kucing seni, cocok untuk interior rumah |
|
Berdiskusi dengan perintis kerajinan batik kayu Kerebet. |
|
Di ujung puncak Makam Sewu. |
|
Don't try at home |
No comments:
Post a Comment