Sunday 23 September 2012

Fenomena Tawuran dan Carut-Marut Bangsa



Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk Indonesia, maka bertambah pula permasalahan yang muncul. Mulai dari permasalahan dalam kehidupan sehari-hari sampai permasalahan yang melibatkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Permasalahan yang sampai sekarang membuat kita berasa digiring pada opini anti-pemerintah termasuk gurita korupsi yang terjadi di mana-mana. Belum selesai satu kasus, sudah ada kasus lain yang sudah menunggu. Sehingga, publik seolah dibuat bebal oleh penangananya yang berlarut. Berbeda dengan maling ayam yang ketahuan, langsung divonis selama tiga bulan meski sebenarnya hukuman tersebut tak sebanding.
Dari permasalahan hukum kita yang cenderung tumpul ke atas dan tajam ke bawah inilah sebenarnya permasalahan bangsa muncul. Dengan kekuasaan dan kekuatan uang, mudah saja bagi mereka untuk terhindar dari proses dan keputusan hukum. Penjara hanya identik sebagai ruang transit yang tak ubahnya dengan hotel berbintang, mengingat fasilitas khusus yang seringkali dibedakan dengan tahanan lain. Kalau masyarakat kelas bawah, tak ada proses hukum kemudian langsung dihukum sudah biasa. Kita tentu masih ingat kasus salah tangkap kepemilikan narkoba beberapa waktu yang lalu. Pihak berwenang sudah lebih dahulu memukuli terduga meskipun pada akhirnya tidak terbukti bersalah. Luka fisik ada obatnya, tetapi luka hati siapa yang tahu penawarnya?
Kalau kita lihat dan perhatikan, permasalahan ini tidak hanya melanda ranah praktis saja. Tetapi, sudah memasuki ranah kebijakan yang tentu saja sulit untuk diubah kecuali kita memiliki kekuasaan dan uang. Kita tentu masih ingat pasal tembakau dan kesehatan yang hilang beberapa waktu yang lalu. Hal tersebut tidak akan terjadi jika tidak ada ‘pihak’ yang bermain dalam pembentukan kebijakan yang koruptif. Kebijakan ini sebenarnya lebih berbahaya darupada praktik korupsi itu sendiri. Maka, tidak heran jika dalam beberapa survey kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin menurun dari waktu ke waktu.
Jika kebijakan-kebijakan yang disusun itu tidak mencakup kepentingan orang banyak, jangan kaget jika para abdi negara tidak kompak satu sama lain. Bahkan, tidak jarang mereka berseteru di ruang publik melalui media massa dan media elektronik. Tidak jarang pula, fitnah yang profesional dan rapi dilakukan. Sehingga, seringkali kita jumpai yang baik terlihat bohong, sedangkan yang bohong terlihat jujur. Ujung-ujungnya, kerusuhan pun tidak bisa dihindari akibat rasa frustrasi masyarakat terhadap kepentingan mereka yang tidak diakomodasi oleh pemerintah. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi, seebnarnya merupakan sinyal dari kebijakan yang tidak bisa dirasakan oleh semua kalangan. Fenomena ini muncul karena kondisi politik yang mendominasi. Adanya bencana gizi buruk, pasien yang tak sanggup berobat dan gelandangan yang menjamur, merupakan indikator nyata bahwa negara kita belum mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Munculnya fenomena tawuran yang akhir-akhir ini marak terjadi seharusnya menjadi catatan. Tawuran begitu mudah terjadi karena hal-hal kecil yang sebenarnya tidak penting. Kerugian sebenarnya tidak hanya dialami para pelaku itu sendiri, banyak masyarakat yang tidak sengaja berpapasan dengan mereka pun menjadi korban tawuran. Jika kita refleksikan bersama, tentu tidak akan ada asap jika tak ada api. Artinya, pasti ada sebab jika ada akibatnya. Ironisnya, tawuran yang kita lihat terjadi di kalangan para pelajar tingkat menengah, baik tingkat menengah pertama maupun atas.
Padahal, salah satu cara untuk memperbaiki masa depan bangsa adalah dengan perbaikan moral para pemuda saat ini. Jika para pemuda yang sedang mengenyam pendidikan sudah akrab dengan tawuran dan perselisihan, apa yang akan terjadi dengan bangsa ini di masa mendatang? Inilah tugas kita bersama untuk dapat memikirkan keberlangsungan pendidikan moral di sekolah. Karena dari sekolah, para tokoh atau penjahat itu dibentuk.
Tawuran, haruskah selalu terjadi? (sumber : kompas,19/07/2012)

 Kata kunci dalam mereduksi potensi tawuran yang bisa meledak kapan saja ini adalah keteladanan dan praktik. Keteladanan tentu saja harus ditunjukkan oleh para pemimpin bangsa mulai dari level terkecil dalam keluarga, hingga level atas tingkat nasional. Barangkali, alasan para pelajar tawuran itu salah satunya dikarenakan sulitnya mereka menemukan figur yang baik dan visioner. Di rumah, di masyarakat bahkan di televisi, saat ini yang ada hanyalah contoh para pemilik kepentingan yang saling bertengkar dan beradu ego masing-masing. Fenomena ini merupakan tanggung jawab kita sebagai pribadi dan pemimpin di masing-masing bidang kehidupan.
Tidak hanya cukup dengan teori, ceramah dan nasihat saja, keteladanan ini harus dipraktikkan secara bersama-sama. Tidak bisa keteladanan hanya dilakukan oleh para pemilik kekuasaan atau pemilik kepentingan yang setiap hari muncul di televisi saja. Kita sebagai orang yang paham dan peduli akan masa depan bangsa ini, adalah orang-orang yang berpotensi memberikan keteladanan yang baik. Kerukunan dalam masyarakat, keterbukaan, pengembangan kemampuan diri dan moral merupakan rangkaian kepribadian yang selama ini melekat pada bangsa Indonesia.
Persatuan merupakan kunci dalam memajukan bangsa yang secara geografis terpisahkan oleh lautan ini. Sudah semestinya laut tidak menjadi batas-batas dari kita untuk memetakkan kemajuan bangsa. Karena kemerdekaan bangsa ini pun tercapai karena adanya persatuan dalam menumpas penjajahan. Jadi, jangan sampai kesadaran sebagai bangsa yang satu ini musnah begitu saja hanya karena keegoisan, kedengkian dan sifat-sifat disintegrasi yang mulai menggerogoti tubuh republik ini.
Mengutip tulisan Moh Hatta yang diterbitkan oleh surat kabar De Socialist (1/12/1928), “bagi kami, Indonesia menyatakan satu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.” Bahwa persatuan yang telah diikrarkan oleh bangsa ini, merupakan cita-cita bersama. Tidak ada sekat dan perbedaan dalam menyatukan 17.504 pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini. Keberagaman bukanlah efek dari persatuan, tetapi sebuah keniscayaan yang patut kita jaga sesuai dengan perkembangan zaman.
Keberagaman yang terjalin sejak lama, merupakan sebuah kekayaan yang tak ternilai harganya. Karena Indonesia itu indah dengan berbagai macam perbedaan yang mampu menyusun mozaik-mozaik bangsa menjadi satu. Carut-marut bangsa yang akhir-akhir ini muncul, sudah seharusnya kita perhatikan dan kita cari solusinya. Tawuran yang tidak menunjukkan jati diri bangsa, sudah seharusnya dihilangkan dalam pendidikan dan keteladanan sekolah kita. Karena dengan pendidikan yang tersusun dalam rasa saling mengerti, maka carut-marut bangsa ini bisa dicegah pada masa mendatang. Amiin...



No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...