Seiring dengan
berkembangnya jumlah penduduk Indonesia, maka bertambah pula permasalahan yang
muncul. Mulai dari permasalahan dalam kehidupan sehari-hari sampai permasalahan
yang melibatkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Permasalahan yang sampai
sekarang membuat kita berasa digiring pada opini anti-pemerintah termasuk
gurita korupsi yang terjadi di mana-mana. Belum selesai satu kasus, sudah ada
kasus lain yang sudah menunggu. Sehingga, publik seolah dibuat bebal oleh
penangananya yang berlarut. Berbeda dengan maling ayam yang ketahuan, langsung
divonis selama tiga bulan meski sebenarnya hukuman tersebut tak sebanding.
Dari permasalahan hukum
kita yang cenderung tumpul ke atas dan tajam ke bawah inilah sebenarnya
permasalahan bangsa muncul. Dengan kekuasaan dan kekuatan uang, mudah saja bagi
mereka untuk terhindar dari proses dan keputusan hukum. Penjara hanya identik
sebagai ruang transit yang tak ubahnya dengan hotel berbintang, mengingat
fasilitas khusus yang seringkali dibedakan dengan tahanan lain. Kalau
masyarakat kelas bawah, tak ada proses hukum kemudian langsung dihukum sudah
biasa. Kita tentu masih ingat kasus salah tangkap kepemilikan narkoba beberapa
waktu yang lalu. Pihak berwenang sudah lebih dahulu memukuli terduga meskipun
pada akhirnya tidak terbukti bersalah. Luka fisik ada obatnya, tetapi luka hati
siapa yang tahu penawarnya?
Kalau kita lihat dan
perhatikan, permasalahan ini tidak hanya melanda ranah praktis saja. Tetapi,
sudah memasuki ranah kebijakan yang tentu saja sulit untuk diubah kecuali kita
memiliki kekuasaan dan uang. Kita tentu masih ingat pasal tembakau dan
kesehatan yang hilang beberapa waktu yang lalu. Hal tersebut tidak akan terjadi
jika tidak ada ‘pihak’ yang bermain dalam pembentukan kebijakan yang koruptif.
Kebijakan ini sebenarnya lebih berbahaya darupada praktik korupsi itu sendiri.
Maka, tidak heran jika dalam beberapa survey kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah semakin menurun dari waktu ke waktu.
Jika kebijakan-kebijakan
yang disusun itu tidak mencakup kepentingan orang banyak, jangan kaget jika
para abdi negara tidak kompak satu sama lain. Bahkan, tidak jarang mereka
berseteru di ruang publik melalui media massa dan media elektronik. Tidak
jarang pula, fitnah yang profesional dan rapi dilakukan. Sehingga, seringkali
kita jumpai yang baik terlihat bohong, sedangkan yang bohong terlihat jujur. Ujung-ujungnya,
kerusuhan pun tidak bisa dihindari akibat rasa frustrasi masyarakat terhadap
kepentingan mereka yang tidak diakomodasi oleh pemerintah. Kerusuhan-kerusuhan
yang terjadi, seebnarnya merupakan sinyal dari kebijakan yang tidak bisa
dirasakan oleh semua kalangan. Fenomena ini muncul karena kondisi politik yang
mendominasi. Adanya bencana gizi buruk, pasien yang tak sanggup berobat dan
gelandangan yang menjamur, merupakan indikator nyata bahwa negara kita belum
mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Munculnya fenomena
tawuran yang akhir-akhir ini marak terjadi seharusnya menjadi catatan. Tawuran
begitu mudah terjadi karena hal-hal kecil yang sebenarnya tidak penting. Kerugian
sebenarnya tidak hanya dialami para pelaku itu sendiri, banyak masyarakat yang
tidak sengaja berpapasan dengan mereka pun menjadi korban tawuran. Jika kita
refleksikan bersama, tentu tidak akan ada asap jika tak ada api. Artinya, pasti
ada sebab jika ada akibatnya. Ironisnya, tawuran yang kita lihat terjadi di
kalangan para pelajar tingkat menengah, baik tingkat menengah pertama maupun
atas.
Padahal, salah satu
cara untuk memperbaiki masa depan bangsa adalah dengan perbaikan moral para
pemuda saat ini. Jika para pemuda yang sedang mengenyam pendidikan sudah akrab
dengan tawuran dan perselisihan, apa yang akan terjadi dengan bangsa ini di
masa mendatang? Inilah tugas kita bersama untuk dapat memikirkan
keberlangsungan pendidikan moral di sekolah. Karena dari sekolah, para tokoh
atau penjahat itu dibentuk.
Tawuran, haruskah selalu terjadi? (sumber : kompas,19/07/2012) |
Kata kunci dalam
mereduksi potensi tawuran yang bisa meledak kapan saja ini adalah keteladanan
dan praktik. Keteladanan tentu saja harus ditunjukkan oleh para pemimpin bangsa
mulai dari level terkecil dalam keluarga, hingga level atas tingkat nasional.
Barangkali, alasan para pelajar tawuran itu salah satunya dikarenakan sulitnya
mereka menemukan figur yang baik dan visioner. Di rumah, di masyarakat bahkan
di televisi, saat ini yang ada hanyalah contoh para pemilik kepentingan yang
saling bertengkar dan beradu ego masing-masing. Fenomena ini merupakan tanggung
jawab kita sebagai pribadi dan pemimpin di masing-masing bidang kehidupan.
Tidak hanya cukup
dengan teori, ceramah dan nasihat saja, keteladanan ini harus dipraktikkan
secara bersama-sama. Tidak bisa keteladanan hanya dilakukan oleh para pemilik
kekuasaan atau pemilik kepentingan yang setiap hari muncul di televisi saja.
Kita sebagai orang yang paham dan peduli akan masa depan bangsa ini, adalah
orang-orang yang berpotensi memberikan keteladanan yang baik. Kerukunan dalam
masyarakat, keterbukaan, pengembangan kemampuan diri dan moral merupakan
rangkaian kepribadian yang selama ini melekat pada bangsa Indonesia.
Persatuan merupakan
kunci dalam memajukan bangsa yang secara geografis terpisahkan oleh lautan ini.
Sudah semestinya laut tidak menjadi batas-batas dari kita untuk memetakkan
kemajuan bangsa. Karena kemerdekaan bangsa ini pun tercapai karena adanya
persatuan dalam menumpas penjajahan. Jadi, jangan sampai kesadaran sebagai
bangsa yang satu ini musnah begitu saja hanya karena keegoisan, kedengkian dan
sifat-sifat disintegrasi yang mulai menggerogoti tubuh republik ini.
Mengutip tulisan Moh
Hatta yang diterbitkan oleh surat kabar De Socialist (1/12/1928), “bagi kami,
Indonesia menyatakan satu tujuan politik, karena dia melambangkan dan
mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap
orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.” Bahwa
persatuan yang telah diikrarkan oleh bangsa ini, merupakan cita-cita bersama.
Tidak ada sekat dan perbedaan dalam menyatukan 17.504 pulau yang membentang
dari Sabang sampai Merauke ini. Keberagaman bukanlah efek dari persatuan,
tetapi sebuah keniscayaan yang patut kita jaga sesuai dengan perkembangan
zaman.
Keberagaman yang
terjalin sejak lama, merupakan sebuah kekayaan yang tak ternilai harganya.
Karena Indonesia itu indah dengan berbagai macam perbedaan yang mampu menyusun
mozaik-mozaik bangsa menjadi satu. Carut-marut bangsa yang akhir-akhir ini
muncul, sudah seharusnya kita perhatikan dan kita cari solusinya. Tawuran yang
tidak menunjukkan jati diri bangsa, sudah seharusnya dihilangkan dalam
pendidikan dan keteladanan sekolah kita. Karena dengan pendidikan yang tersusun
dalam rasa saling mengerti, maka carut-marut bangsa ini bisa dicegah pada masa
mendatang. Amiin...
No comments:
Post a Comment