Mulai tahun ajaran baru
2012/2013, pemerintah melalui Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) mencoba seleksi
masuk perguruan tinggi dengan menggunakan nilai Ujian Nasional. Pro dan kontra
pun kemudian terjadi mengingat banyaknya kritik terhadap kualitas Ujian
Nasional kita yang masih dipertanyakan. UN sebagai salah satu syarat kelulusan,
selama ini dipercaya masyarakat belum mampu menjadi representasi hasil belajar
siswa di sekolah selama tiga tahun. Pasalnya, kecurangan masih saja terjadi
tiap tahun dalam pelaksanaannya.
Kekhawatiran masyarakat
ini cukup beralasan, ketika kita melihat fakta bahwa anak-anak kita kemudian
digiring pada pembelajaran yang praktis. Adanya les yang dimulai sejak kelas
awal merupakan salah satu contohnya. Dengan adanya les yang bersifat sebagai
sarana latihan teratur, secara tidak langsung anak diarahkan pada bagaimana
cara mendapat nilai tinggi. Pembelajaran yang bersifat konstruktif dalam
pembelajaran klasikal, secara tidak sadar telah dihancurkan dengan keberadaan
les-les ini. Sehingga, bisa saja banyak anak yang memiliki nilai tinggi, tetapi
aplikasi nol. Karena mereka hanya tahu, tetapi tidak paham.
Nah, ketika UN
diaplikasikan dengan porsi yang lebih besar bisa dikatakan perguruan-perguruan
tinggi tersebut sedang berjudi. Resiko seleksi masuk dengan nilai UN sebagai
koefisien terbesar, membuat potensi murni anak sebagai akibat proses
pembelajaran akan hilang. Pada akhirnya, mahasiswa-mahasiswa yang dicetak pun
kebanyakan akan memiliki mental yang lemah dalam berkompetisi dalam dunianya.
Permasalahan lain yang
menghadang adalah adanya koefisien pemeringkatan sekolah. Dengan adanya seleksi
langsung menggunakan UN, maka tingkatan ranking sekolah berdasar pemeringkatan
universitas akan memiliki pengaruh yang besar. Biasanya diwujudkan dengan
memberikan nilai koefisien tersebut sebagai faktor pengali nilai akumulatif
siswa. Sehingga, akan mengurangi atau bahkan mengeliminasi sekolah-sekolah yang
dipandang memiliki nilai koefisien yang rendah.
Jika kondisi demikian
tidak dipikirkan sebagai konsekuensi logisnya, maka kita perlu cemas terhadap
perkembangan pendidikan kita. Sekolah sebagai tempat anak mengasah pengetahuan
dan pemahamannya, akan tereduksi sebagai tempat mencari nilai-nilai yang
praktis. Gairah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, secara pelan akan
tereduksi untuk orientasi-orientasi yang sempit.
Maka, jikalau sistem
tersebut nantinya dianggap berhasil harus pula disertai dengan keberlanjutan
praktik yang jelas. Karena bagaimanapun, pengawasan hasil UN dengan pengawasan
tes masuk di perguruan tinggi adalah berbeda. Dalam UN, para siswa mengerjakan
soal-soal dengan mental yang relatif stabil. Sehingga, memunculkan potensi
kecurangan yang sangat besar. Sedangkan seleksi masuk dengan berbagai tes yang
sesuai, akan membuat jurusan bisa leluasa memilih pemuda-pemuda terbaik di
bidangnya.
Kemudahan dalam
pelayanan tes masuk dengan 90% jalur undangan, jangan hanya dijadikan lahan
bisnis yang empuk. Mengingat bahwa ketika para calon mahasiswa baru melakukan
tes, panitia memiliki tugas mempersiapkan, melaksanakan, mengawasi dan
mengkoreksi. Sedangkan jika tanpa tes, beban kerja tersebut bisa berkurang
sangat banyak. Artinya, pihak universitas bisa menangguk untung yang lebih
besar karena mampu mereduksi pembiayaan lain-lain.
Calon mahasiswa
terbaik, tentu tidak didapatkan dengan mudah. Seleksi apapun pasti memiliki
kelebihan dan kekurangan. Satu hal yang pasti dan harus diperhatikan oleh para
penyelenggara seleksi ini adalah bahwa seleksi yang digunakan harus mampu
menjaga kredibilitas kualitas perguruan tinggi dan nilai-nilai kejujuran.
Isdiyono,
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas
Negeri Yogyakarta
Termuat di harian jogja pada Selasa, 02 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment