Tuesday 2 October 2012

Dilema Masuk Perguruan Tinggi


Mulai tahun ajaran baru 2012/2013, pemerintah melalui Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) mencoba seleksi masuk perguruan tinggi dengan menggunakan nilai Ujian Nasional. Pro dan kontra pun kemudian terjadi mengingat banyaknya kritik terhadap kualitas Ujian Nasional kita yang masih dipertanyakan. UN sebagai salah satu syarat kelulusan, selama ini dipercaya masyarakat belum mampu menjadi representasi hasil belajar siswa di sekolah selama tiga tahun. Pasalnya, kecurangan masih saja terjadi tiap tahun dalam pelaksanaannya.
Kekhawatiran masyarakat ini cukup beralasan, ketika kita melihat fakta bahwa anak-anak kita kemudian digiring pada pembelajaran yang praktis. Adanya les yang dimulai sejak kelas awal merupakan salah satu contohnya. Dengan adanya les yang bersifat sebagai sarana latihan teratur, secara tidak langsung anak diarahkan pada bagaimana cara mendapat nilai tinggi. Pembelajaran yang bersifat konstruktif dalam pembelajaran klasikal, secara tidak sadar telah dihancurkan dengan keberadaan les-les ini. Sehingga, bisa saja banyak anak yang memiliki nilai tinggi, tetapi aplikasi nol. Karena mereka hanya tahu, tetapi tidak paham.
Nah, ketika UN diaplikasikan dengan porsi yang lebih besar bisa dikatakan perguruan-perguruan tinggi tersebut sedang berjudi. Resiko seleksi masuk dengan nilai UN sebagai koefisien terbesar, membuat potensi murni anak sebagai akibat proses pembelajaran akan hilang. Pada akhirnya, mahasiswa-mahasiswa yang dicetak pun kebanyakan akan memiliki mental yang lemah dalam berkompetisi dalam dunianya.
Permasalahan lain yang menghadang adalah adanya koefisien pemeringkatan sekolah. Dengan adanya seleksi langsung menggunakan UN, maka tingkatan ranking sekolah berdasar pemeringkatan universitas akan memiliki pengaruh yang besar. Biasanya diwujudkan dengan memberikan nilai koefisien tersebut sebagai faktor pengali nilai akumulatif siswa. Sehingga, akan mengurangi atau bahkan mengeliminasi sekolah-sekolah yang dipandang memiliki nilai koefisien yang rendah.

Jika kondisi demikian tidak dipikirkan sebagai konsekuensi logisnya, maka kita perlu cemas terhadap perkembangan pendidikan kita. Sekolah sebagai tempat anak mengasah pengetahuan dan pemahamannya, akan tereduksi sebagai tempat mencari nilai-nilai yang praktis. Gairah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, secara pelan akan tereduksi untuk orientasi-orientasi yang sempit.
Maka, jikalau sistem tersebut nantinya dianggap berhasil harus pula disertai dengan keberlanjutan praktik yang jelas. Karena bagaimanapun, pengawasan hasil UN dengan pengawasan tes masuk di perguruan tinggi adalah berbeda. Dalam UN, para siswa mengerjakan soal-soal dengan mental yang relatif stabil. Sehingga, memunculkan potensi kecurangan yang sangat besar. Sedangkan seleksi masuk dengan berbagai tes yang sesuai, akan membuat jurusan bisa leluasa memilih pemuda-pemuda terbaik di bidangnya.
Kemudahan dalam pelayanan tes masuk dengan 90% jalur undangan, jangan hanya dijadikan lahan bisnis yang empuk. Mengingat bahwa ketika para calon mahasiswa baru melakukan tes, panitia memiliki tugas mempersiapkan, melaksanakan, mengawasi dan mengkoreksi. Sedangkan jika tanpa tes, beban kerja tersebut bisa berkurang sangat banyak. Artinya, pihak universitas bisa menangguk untung yang lebih besar karena mampu mereduksi pembiayaan lain-lain.
Calon mahasiswa terbaik, tentu tidak didapatkan dengan mudah. Seleksi apapun pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Satu hal yang pasti dan harus diperhatikan oleh para penyelenggara seleksi ini adalah bahwa seleksi yang digunakan harus mampu menjaga kredibilitas kualitas perguruan tinggi dan nilai-nilai kejujuran.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Termuat di harian jogja pada Selasa, 02 Oktober 2012

No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...