Selama ini, keterampilan menulis belum menjadi
kebutuhan dalam dunia pendidikan kita. Terbukti dari jumlah judul buku yang
terbit dalam waktu setahun. Sebagai perbandingan, di kawasan negara-negara Asia
kita menempati posisi yang cukup rendah. Memang Indonesia tidak bisa
dibandingkan dengan Cina, yang berpenduduk 1,3 miliar jiwa mampu menerbitkan
140.000 judul buku baru setiap tahunnya. Vietnam dengan 80 juta jiwa
menerbitkan 15.000 judul buku baru per tahun, Malaysia berpenduduk 26 juta jiwa
menerbitkan 10.000 judul, sedangkan Indonesia dengan 220 juta jiwa hanya mampu
menerbitkan 10.000 judul pertahun (Enjang A.S,2011).
Kondisi demikian diperparah dengan kuantitas dan
kualitas jurnal yang terbit di Indonesia yang lagi-lagi masih kalah
dibandingkan dengan negara tetangga. Hal inilah yang kemudian mendorong Dikti
melalui Mendiknas menerbitkan dua surat edaran perihal publikasi karya ilmiah.
Pertama, surat edaran bertanggal 30 Desember 2011 (Nomor 250/E/T/2011) perihal kebijakan
unggah karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dosen. Edaran kedua bertanggal 27
Januari 2012 (Nomor 152/E/T/2012) perihal publikasi karya ilmiah untuk
mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 berlaku mulai kelulusan Agustus 2012.
Himbauan yang bersifat wajib ini, memberikan tantangan sekaligus
ancaman bagi perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Untuk perguruan tinggi
yang memiliki tradisi baca-tulis tinggi, himbauan ini bisa diartikan sebagai
kesempatan untuk meningkatkan kinerja dan peringkat universitas. Tetapi,
kebijakan ini menjadi pukulan berat bagi perguruan-perguruan tinggi yang belum
mampu, terutama perguruan tinggi swasta.
Salah satu alasan utama penyebab kesulitan menulis yang dialami
oleh para akademisi termasuk kita barangkali, tidak terlepas dari pola
pembelajaran sejak dini. Seperti yang kita ketahui, ada pandangan yang kurang
tepat dari guru dan orang tua yang sering menilai kesuksesan belajar anak
dilihat dari nilai rapor dan nilai kelulusan. Di samping mudah dilihat (bentuk
angka) juga memberikan kebanggaan tersendiri bagi mereka jika anaknya
mendapatkan nilai bagus tanpa memperhatikan variabel lain. Dalam artian,
kemampuan yang berkembang akan didominasi oleh kemampuan kognitif yang tinggi
terpusat pada kemampuan menjawab pertanyaan bukan menjelaskannya. Apakah anda
merasakannya?
Menulis itu Mudah
Dari setiap pertemuan awal saya memberi materi di
komunitas-komunitas kepenulisan, hampir setiap orang mengatakan bahwa menulis
itu sulit. Pertanyaan yang hampir selalu diajukan oleh para peserta ada dua
macam yaitu : 1.) Bagaimana to
menulis yang baik itu? Atau ini : 2.)
Bagaimana sich mencari ide itu?
Setelah pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada pertanyaan lanjutan yang saya kira
juga akan anda tanyakan : bagaimana sih agar saya bisa istiqomah dalam menulis?
Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu kita jawab, ada baiknya kita
pahami dulu sejarah tulisan dari masa ke masa. Tulisan pertama, dalam banyak
buku sejarah pada awalnya ditemukan di sebuah kota mati di sekitar lembah
Babilon yang bernama huruf Hieroglyf. Diduga, tulisan dibutuhkan oleh manusia
untuk mempermudah komunikasi sosial yang berkembang sangat pesat pada masa itu
yang menandai berakhirnya zaman batu.
Sehingga, bisa kita simpulkan bahwa fungsi tulisan dalam hal ini
adalah untuk mempermudah komunikasi. Dalam perkembangannya, tulisan tidak hanya
digunakan sebagai alat komunikasi saja, tetapi juga alat untuk mengingat
pengetahuan baru. Bayangkan saja, misalkan kita ingin menyimpan data-data
tentang macam tulang mamalia dari tulangnya. Perlu berapa luas ruang
penyimpanannya? Berapa biaya perawatannya? Dengan tulisan, semua data tersebut
bisa disimpan hanya dalam satu buah buku.
Berdasarkan sedikit cerita sejarah tersebut, maka pada dasarnya
aktivitas menulis itu tidak terbatas pada aturan-aturan tertentu. Adanya
aturan, pengelompokan atau genre sebenarnya diadakan untuk mempermudah
identifikasi dan apresiasi tulisan. Jadi, tidak benar jika ada tulisan yang
“ini” benar dan yang “itu” salah. Karena pada dasarnya, tulisan itu ditulis
untuk menjelaskan pertanyaan, bukan menjawab pertanyaan. Sehingga, jawaban dari
pertanyaan pertama adalah tulisan yang baik itu adalah tulisan yang baik
menurut siapa atau menurut peraturan apa. Bahkan, seorang yang ahli menulis pun
tidak bisa menentukan baik buruknya tulisan, tetapi hanya bisa memberikan
apresiasi dan penilaian berdasarkan aspek-aspek tertentu saja.
Pertanyaan ini pun sebenarnya juga saya tanyakan ketika awal
belajar menulis dulu. Saat itu saya bertemu dengan ustad Salim A. Fillah yang
tentu saja teman-teman juga mengenalnya. Jawaban yang sampai saat ini saya
pegang dan saya sampaikan adalah seperti ini : “Kita tidak perlu mengikuti EYD
(Ejaan Yang Disempurnakan) ketika menulis, tetapi menulislah dan biarkan EYD
yang mengikuti tulisanmu.”
Sebagai latihan menulis karya tulis yang jumlah halamannya
berlembar-lembar, maka ada baiknya kita mulai dengan menulis artikel.
Tulisan-tulisan ringan dan pendek, akan mempermudah kita dalam mengkritisi
tulisan-tulisan kita saat editing akhir. Karena pada dasarnya, tulisan terbaik
kita bukanlah tulisan pertama kita, tetapi tulisan yang sudah kita
“objektifkan”. Kata objektif yang dimaksud adalah memperkirakan bahwa tulisan
kita enak dibaca dan penting bagi orang lain. Catatan yang perlu diingat, tidak
ada tulisan yang objektif karena setiap tulisan sifatnya adalah subjektif
menurut siapa penulisnya. Jadi, masih mau bilang kalau menulis itu susah?
Eksplorasi
Ide
Menjawab pertanyaan kedua, sekiranya perlu saya berikan bagian
khusus. Karena ide itu adalah sesuatu yang mudah, tetapi seringkali dibuat
menjadi sulit oleh kebanyakan orang. Ide itu ada di setiap detik dalam
kehidupan kita dan ada di dalam setiap tempat yang kita lalui atau benda yang
kita indera. Kawan-kawan saya yang gemar menulis, ada yang sering mendapatkan
ide bahkan ketika berada di kamar mandi. Kenapa? Karena pada dasarnya, ide
menurut saya adalah gabungan dari ketenangan dan kepekaan yang dipadukan dalam
kepentingan yang lebih besar.
Bukan berarti, saya menyarankan anda harus mencari ide di kamar
mandi. Banyak orang mengatakan “saya mau mencari ide dulu” sebelum mulai
menulis. Padahal, ide itu bukan untuk dicari karena ada di sekitar kita. Akan
tetapi, ide itu harus dimunculkan dengan mengasah kepekaan kita. Gesekan
kepekaan, jika diparodikan dengan hukum fisika bisa kita rumuskan bahwa
besarnya koefisien gesekan yang terjadi pada benda, berbanding lurus dengan
frekuensi gesekan tersebut. Dalam diri seseorang, yang perlu digesek bukan
tangan atau kakinya, tetapi perasaannya.
Kepekaan akan semakin tinggi, apabila sering kita pakai nalar
perasaan kita untuk berpikir. Penggesekan perasaan ini, bisa kita lakukan
dengan lebih sering mengaktifkan seluruh panca indera dalam menghadapi
permasalahan. Tidak hanya menggunakan mata dan peraba saja, dalam pepatah mata
bisa menipu. Jika hanya mata yang kita gunakan dalam menghadapi sebuah masalah,
maka bisa jadi yang keluar adalah pukulan atau tendangan. Beda jika kita
gunakan perasaan, tangan bisa digunakan untuk mengidentifikasi masalah dan kaki
untuk mempercepat langkah dalam menyelesaikan masalah.
Jalan-jalan ke tempat yang baru, mencari teman dengan keahlian
berbeda, jurusan berbeda atau melihat fenomena dalam masyarakat, adalah
beberapa hal yang bisa kita gunakan untuk menggesek perasaan kita supaya lebih
peka. Tidak perlu jauh-jauh, karena pada dasarnya masalah itu selalu mengiringi
perjalanan hidup setiap orang. Prinsip yang harus kita pegang adalah bahwa
setiap orang memiliki keseharian yang berbeda. Tidak perlu berpikir tentang hal
yang sama, karena perbedaan itulah yang akan membedakan ide kita dengan ide-ide
orang lain. Nilai tawar ini, akan lebih memiliki nilai jual yang tinggi dalam
pengkaryaan daripada ide-ide yang sejenis. So, masihkah anda bingung mencari
ide?
Kontinuitas
Tentang keberlanjutan dari energi untuk mengeksplorasi diri,
merupakan dasar dari sebuah kesenangan. Sedangkan kesenangan itu akan muncul
ketika kita sudah menemukan tentang pentingnya hal tersebut bagi kita dan
lingkungan sekitar. Bahwa peran seorang mahasiswa di dalam masyarakat, tidak
hanya ditentukan oleh seberapa besar materi yang sudah diberikan kepada
masyarakat. Tetapi, seberapa banyak pemikiran-pemikiran kecil yang sudah kita
eksplor kepada masyarakat.
Misalnya saja, ketika di daerahnya terjadi kekeringan maka kita
bisa memikirkan cara bagaimana bisa mengantisipasi hal tersebut. Atau bagaimana
memisahkan padi dari kotoran yang mengikutinya, pemanfaatan limbah kebutuhan
sehari-hari, bagaimana mengkombinasikan perikanan untuk menambah income para petani. Karena
ujung-ujungnya, karya tulis yang kita hasilkan secara global harus memberikan
kemanfaatan baik teori maupun praktik dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Semakin berguna inovasi yang kita ajukan, maka peluang untuk meraih
prestasi dalam berbagai kompetisi maupun penghargaan pasti akan mengiringinya.
Jadi, kita tidak perlu
berpikir bahwa karya kita akan memenangkan sebuah kompetisi. Tetapi, bagaimana
apa yang kita tuliskan ini bisa bermanfaat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Plagiasi bukan solusi untuk mencapai prestasi yang instan. Karena plagiasi
menunjukkan kepicikan pemikiran kita. Untuk mencegah plagiasi, maka kita perlu
mempublikasikan tulisan-tulisan kita pada masyarakat luas. Media massa,
elektronik maupun web atau blog merupakan solusi media publikasi yang
terjangkau. Jika setiap orang yang membacanya merasakan manfaat, maka secara
otomatis akan disebarkan. Secara tidak langsung, kita telah menebarkan kebaikan
bagi umat. Bahkan, ketika kita sudah meninggal pun orang lain masih bisa
menikmati pemikiran-pemikiran kita. Wallahu a’lam.
Referensi :
Enjang A.S. 2011. Menguak Belantara Bacaan. Diambil dari
http://ikapijabar.com/menguak-belantara-bacaan/ pada hari Rabu, 22/02/2012
pukul 12.04.
Joko
Santoso. 2011. Perihal : Kenaikan Pangkat
Dosen. Diambil dari Surat Edaran Dirjen Dikti tertanggal 30 Desember 2011.
Joko
Santoso. 2012. Perihal : Publikasi Karya
Ilmiah. Diambil dari Surat Edaran Dirjen Dikti tertanggal 27 Januari 2012.
No comments:
Post a Comment