Mahasiswa
adalah golongan eksklusif dari masyarakat Indonesia. Kalau tidak percaya,
silahkan dihitung dari jumlah teman-teman kita di sekolah dasar yang mampu
mengenyam bangku perkuliahan. Saya kira,
kita semua sepakat bahwa yang mampu mencapai level pendidikan tinggi tidak
lebih dari 50% pada setiap angkatan.
Secara
logis, maka hanya orang-orang yang memiliki taraf hidup yang tinggilah yang
mampu mencapai level pendidikan ini. Hal ini berkaitan dengan biaya nyata
pendidikan di jenjang perguruan tinggi sangatlah mahal. Jika tidak ada berbagai
macam bentuk bantuan, maka mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu, jumlahnya bisa
dihitung dengan jari.
Sehingga,
jika pemerintah sudah tidak mampu lagi menyelenggarakan pendidikan yang
terjangkau, akan sulit kita mendapati para ahli di bidangnya yang berasal dari
keluarga kurang mampu. Padahal, saat ini paham komersialisasi telah menjadi
kata kunci dalam pergaulan dunia. Ketika pendidikan hanya dikuasai kaum-kaum
elit saja, maka ke depannya kebijakan-kebijakan yang direalisasikan pun pada
akhirnya tak menyentuh kebutuhan rakyat kecil.
Jika
hal ini tidak segera ditanggulangi, maka ke depannya kemiskinan di negeri ini
tidak akan pernah dapat terpecahkan. Kemiskinan mungkin saja bisa hilang,
tetapi bukan karena mereka menjadi semakin terpelajar. Tetapi, karena terjerat
berbagai macam permasalahan hukum hanya mungkin dikarenakan mencuri sandal,
mencuri bibit atau mengambil ranting-ranting kering di kebun.
Jika
demikian, maka kondisi ini bertolak belakang dengan harapan masyarakat bahwa
mahasiswa adalah pembawa perubahan dalam masyarakat. Dari pemikiran-pemikiran
merekalah, lahir praktik ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mahasiswa bukanlah seorang kaum
lemah yang hanya bisa berteori, makan enak, jalan-jalan dan tidur sepuasnya.
Saat
ini, kondisi seputar dunia kampus cenderung aman-aman saja. Kalaupun ada
konflik, lebih disebabkan pada permasalahan internal saja. Selebihnya,
berlomba-lomba untuk menjadi mahasiswa teoritik. Jika kondisi “damai” yang
demikian hanya dipakai untuk studi
oriented, maka ada kejahatan sistematis yang sedang dilakukan oleh para
mahasiswa. Bahwa menjadi mahasiswa bukanlah pilihan mendapatkan nilai sempurna
di tiap mata pelajaran, tetapi enggan untuk sekedar mengabdi pada lingkungan
sekitar. Nilai sempurna, tetapi memiliki nilai kepekaan sosial D dalam praktik.
Lebih baik, tidak usah menyatakan diri sebagai mahasiswa.
Sudah
saatnya mahasiswa kembali bergerak memenuhi kewajiban akademis, prestatif,
literasi, kemauan baca tinggi dan kepekaan sosial yang berkorelasi dalam
praktik. Jika mahasiswa tidak mempersiapkan diri mengembangkan nilai praktik
sosial, kapan lagi kita akan belajar? Bahwa menumpas korupsi tidak hanya
dilakukan dengan mendapatkan nilai A di setiap mata kuliah etika. Untuk
menegakkan keadilan, tidak perlu membuat bagan-bagan bersilang yang
membingungkan. Dan untuk membentuk persatuan, kita tidak bisa memiliki nilai A
dalam mata kuliah kewarganegaraan, tetapi tidak akur dengan teman berbeda
daerah. Untuk merefleksikan kritik ini tentu teman-teman mahasiswa, memiliki
jawabannya di dalam hati masing-masing.
Isdiyono, Mahasiswa PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
No comments:
Post a Comment