Thursday 1 March 2012

Menggugat Nurani Mahasiswa

Mahasiswa adalah golongan eksklusif dari masyarakat Indonesia. Kalau tidak percaya, silahkan dihitung dari jumlah teman-teman kita di sekolah dasar yang mampu mengenyam bangku perkuliahan.  Saya kira, kita semua sepakat bahwa yang mampu mencapai level pendidikan tinggi tidak lebih dari 50% pada setiap angkatan.
Secara logis, maka hanya orang-orang yang memiliki taraf hidup yang tinggilah yang mampu mencapai level pendidikan ini. Hal ini berkaitan dengan biaya nyata pendidikan di jenjang perguruan tinggi sangatlah mahal. Jika tidak ada berbagai macam bentuk bantuan, maka mahasiswa yang berasal dari  keluarga kurang mampu, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Sehingga, jika pemerintah sudah tidak mampu lagi menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau, akan sulit kita mendapati para ahli di bidangnya yang berasal dari keluarga kurang mampu. Padahal, saat ini paham komersialisasi telah menjadi kata kunci dalam pergaulan dunia. Ketika pendidikan hanya dikuasai kaum-kaum elit saja, maka ke depannya kebijakan-kebijakan yang direalisasikan pun pada akhirnya tak menyentuh kebutuhan rakyat kecil.
Jika hal ini tidak segera ditanggulangi, maka ke depannya kemiskinan di negeri ini tidak akan pernah dapat terpecahkan. Kemiskinan mungkin saja bisa hilang, tetapi bukan karena mereka menjadi semakin terpelajar. Tetapi, karena terjerat berbagai macam permasalahan hukum hanya mungkin dikarenakan mencuri sandal, mencuri bibit atau mengambil ranting-ranting kering di kebun.
Jika demikian, maka kondisi ini bertolak belakang dengan harapan masyarakat bahwa mahasiswa adalah pembawa perubahan dalam masyarakat. Dari pemikiran-pemikiran merekalah, lahir praktik ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mahasiswa bukanlah seorang kaum lemah yang hanya bisa berteori, makan enak, jalan-jalan dan tidur sepuasnya.
Saat ini, kondisi seputar dunia kampus cenderung aman-aman saja. Kalaupun ada konflik, lebih disebabkan pada permasalahan internal saja. Selebihnya, berlomba-lomba untuk menjadi mahasiswa teoritik. Jika kondisi “damai” yang demikian hanya dipakai untuk studi oriented, maka ada kejahatan sistematis yang sedang dilakukan oleh para mahasiswa. Bahwa menjadi mahasiswa bukanlah pilihan mendapatkan nilai sempurna di tiap mata pelajaran, tetapi enggan untuk sekedar mengabdi pada lingkungan sekitar. Nilai sempurna, tetapi memiliki nilai kepekaan sosial D dalam praktik. Lebih baik, tidak usah menyatakan diri sebagai mahasiswa.
Sudah saatnya mahasiswa kembali bergerak memenuhi kewajiban akademis, prestatif, literasi, kemauan baca tinggi dan kepekaan sosial yang berkorelasi dalam praktik. Jika mahasiswa tidak mempersiapkan diri mengembangkan nilai praktik sosial, kapan lagi kita akan belajar? Bahwa menumpas korupsi tidak hanya dilakukan dengan mendapatkan nilai A di setiap mata kuliah etika. Untuk menegakkan keadilan, tidak perlu membuat bagan-bagan bersilang yang membingungkan. Dan untuk membentuk persatuan, kita tidak bisa memiliki nilai A dalam mata kuliah kewarganegaraan, tetapi tidak akur dengan teman berbeda daerah. Untuk merefleksikan kritik ini tentu teman-teman mahasiswa, memiliki jawabannya di dalam hati masing-masing.
Isdiyono, Mahasiswa PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta




No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...