Masih jelas dalam
ingatan kita, beberapa waktu yang lalu presiden kita menciptakan lagu dan
menulis beberapa buku memoar. Bahkan, beberapa buku tersebut beredar di dunia
pendidikan sebagai buku penunjang. Bagi saya, masuknya buku tersebut di sekolah
tidak masalah sebagai referensi asalkan yang bersangkutan sudah tidak lagi
menjabat. Jadi, tidak etis jika yang bersangkutan masih aktif sudah beredar.
Hal ini jelas akan mengingatkan kita kembali pada bayang-bayang otoriterisme
yang melanda republik ini pada awal berdirinya.
Jika pemimpinnya saja sudah mengalami
“kegalauan”, maka bisa dipastikan hal ini akan menjalar kepada rakyatnya. Jadi,
tidak perlu heran jika kemudian lembaga-lembaga di bawahnya pun mengalami kegalauan.
KPK yang galau menangani bejibun kasus korupsi dari yang teri hingga kakap.
Polisi yang galau karena merasa serba salah dalam menciptakan keamanan
nasional. Buruh tembakau yang menggalau karena pekerjaannya mendapat tekanan
dari UU terbaru. Lagu-lagu remaja yang bernada galau, ibu-ibu galau sinetron
hingga anak-anak pun ikut-ikutan galau dengan menyanyikan lagu orang-orang
dewasa.
Kegalauan-kegalauan
inilah yang selama ini sebenarnya sedang dialami oleh bangsa Indonesia.
Tantangan terbesar tidak dari luar negeri, tetapi dari dalam diri republik ini
sendiri. Seperti kegelisahan yang dirasakan oleh Bung Karno di saat senja
kepemimpinannya, “ Musuh bangsa ini setelah kemerdekaan bukanlah penjajahan,
tetapi diri mereka sendiri.”
Secara tersirat, bahwa
beliau sebenarnya memberikan kita pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pasca
kemerdekaan. Bahwa perjuangan melawan penindasan itu tidak akan pernah
berakhir. Kondisi yang tenang dan nyaman, bukan berarti masalah penindasan ini
telah berakhir. Meskipun penindasan dewasa ini dikaitkan dengan ekspansi produk
asing, tetapi sebenarnya penindasan terbesar sedang dilakukan oleh bangsa ini
kepada bangsanya sendiri.
Kita berikan contoh,
dalam berbagai proyek penambangan hasil bumi nusantara, konflik selalu pecah. Keuntungan
hasil pengerukan kekayaan alam, sering kali tidak sebanding dengan laju
pertumbuhan kesejahteraan penduduk sekitar. Bahkan, tidak jarang pula penduduk
asli diusir dari tanah yang seharusnya adalah milik mereka. Terakhir, tragedi
Mesuji tentu akan membuat kita semakin miris terhadap penindasan yang dilakukan
oleh bangsa sendiri kepada saudaranya.
Masalah ekonomi sering
kali dijadikan kambing hitam dalam setiap peristiwa yang menyangkut pro-kontra
kebijakan pemerintah. Padahal, kalau kita lihat secara holistik (menyeluruh)
permasalahan ini begitu kompleks penyebabnya. Muara dari segala penyebab
kegalauan ini adalah masuknya politik dalam segala lini kehidupan tanpa adanya
proses pendidikan politik yang cerdas. Tingkat pendidikan yang tinggi tidak semakin
mencerdaskan para pelaku politik, tetapi meningkatkan pola dan cara dalam
menimbulkan kegaduhan politik. Nyatanya, pendidikan calon yang tinggi tidak
berkorelasi positif terhadap politik uang (money
politic). Masyarakat masih saja ditipu dengan berbagai motif politik uang
ini.
Politik yang didasarkan
pada nilai-nilai material seperti ini, tidak akan mampu bertahan lama. Uang
tidak akan mampu mengabadikan kepemilikan rakyat terhadap pemerintah. Bahwa
keduanya merupakan dua pihak yang berbeda dan tidak memiliki ikatan emosional
yang kuat. Maka, yang kemudian menjadi panutan rakyat dalam ikut serta
membangun Indonesia hanya sikap pragmatis pemimpinnya saja. Hal ini tentu
memberikan dampak kegalauan massal ketika pemimpinnya mengalami kegalauan.
Untuk memutus “generasi
galau” ini, maka diperlukan ketegasan pemimpin dalam mengarahkan aparaturnya.
Jangan sampai, pemimpin mengingkari pesan undang-undang dasar kita. Bahwa
kesejahteraan rakyat dari hasil kekayaan alam Indonesia harus digali dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
No comments:
Post a Comment