Saturday 10 March 2012

Mengatasi Kegalauan Massal


Masih jelas dalam ingatan kita, beberapa waktu yang lalu presiden kita menciptakan lagu dan menulis beberapa buku memoar. Bahkan, beberapa buku tersebut beredar di dunia pendidikan sebagai buku penunjang. Bagi saya, masuknya buku tersebut di sekolah tidak masalah sebagai referensi asalkan yang bersangkutan sudah tidak lagi menjabat. Jadi, tidak etis jika yang bersangkutan masih aktif sudah beredar. Hal ini jelas akan mengingatkan kita kembali pada bayang-bayang otoriterisme yang melanda republik ini pada awal berdirinya.
 Jika pemimpinnya saja sudah mengalami “kegalauan”, maka bisa dipastikan hal ini akan menjalar kepada rakyatnya. Jadi, tidak perlu heran jika kemudian lembaga-lembaga di bawahnya pun mengalami kegalauan. KPK yang galau menangani bejibun kasus korupsi dari yang teri hingga kakap. Polisi yang galau karena merasa serba salah dalam menciptakan keamanan nasional. Buruh tembakau yang menggalau karena pekerjaannya mendapat tekanan dari UU terbaru. Lagu-lagu remaja yang bernada galau, ibu-ibu galau sinetron hingga anak-anak pun ikut-ikutan galau dengan menyanyikan lagu orang-orang dewasa.
Kegalauan-kegalauan inilah yang selama ini sebenarnya sedang dialami oleh bangsa Indonesia. Tantangan terbesar tidak dari luar negeri, tetapi dari dalam diri republik ini sendiri. Seperti kegelisahan yang dirasakan oleh Bung Karno di saat senja kepemimpinannya, “ Musuh bangsa ini setelah kemerdekaan bukanlah penjajahan, tetapi diri mereka sendiri.”
Secara tersirat, bahwa beliau sebenarnya memberikan kita pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pasca kemerdekaan. Bahwa perjuangan melawan penindasan itu tidak akan pernah berakhir. Kondisi yang tenang dan nyaman, bukan berarti masalah penindasan ini telah berakhir. Meskipun penindasan dewasa ini dikaitkan dengan ekspansi produk asing, tetapi sebenarnya penindasan terbesar sedang dilakukan oleh bangsa ini kepada bangsanya sendiri.
Kita berikan contoh, dalam berbagai proyek penambangan hasil bumi nusantara, konflik selalu pecah. Keuntungan hasil pengerukan kekayaan alam, sering kali tidak sebanding dengan laju pertumbuhan kesejahteraan penduduk sekitar. Bahkan, tidak jarang pula penduduk asli diusir dari tanah yang seharusnya adalah milik mereka. Terakhir, tragedi Mesuji tentu akan membuat kita semakin miris terhadap penindasan yang dilakukan oleh bangsa sendiri kepada saudaranya.
Masalah ekonomi sering kali dijadikan kambing hitam dalam setiap peristiwa yang menyangkut pro-kontra kebijakan pemerintah. Padahal, kalau kita lihat secara holistik (menyeluruh) permasalahan ini begitu kompleks penyebabnya. Muara dari segala penyebab kegalauan ini adalah masuknya politik dalam segala lini kehidupan tanpa adanya proses pendidikan politik yang cerdas. Tingkat pendidikan yang tinggi tidak semakin mencerdaskan para pelaku politik, tetapi meningkatkan pola dan cara dalam menimbulkan kegaduhan politik. Nyatanya, pendidikan calon yang tinggi tidak berkorelasi positif terhadap politik uang (money politic). Masyarakat masih saja ditipu dengan berbagai motif politik uang ini.
Politik yang didasarkan pada nilai-nilai material seperti ini, tidak akan mampu bertahan lama. Uang tidak akan mampu mengabadikan kepemilikan rakyat terhadap pemerintah. Bahwa keduanya merupakan dua pihak yang berbeda dan tidak memiliki ikatan emosional yang kuat. Maka, yang kemudian menjadi panutan rakyat dalam ikut serta membangun Indonesia hanya sikap pragmatis pemimpinnya saja. Hal ini tentu memberikan dampak kegalauan massal ketika pemimpinnya mengalami kegalauan.
Untuk memutus “generasi galau” ini, maka diperlukan ketegasan pemimpin dalam mengarahkan aparaturnya. Jangan sampai, pemimpin mengingkari pesan undang-undang dasar kita. Bahwa kesejahteraan rakyat dari hasil kekayaan alam Indonesia harus digali dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...