Selama ini, sekolah
masih dianggap sebagai tempat seorang anak belajar tentang kehidupan. Atau bisa
jadi, malah dipersepsikan secara lebih sempit bahwa tujuan sekolah adalah untuk
mencari nilai.Hal ini tidak terlepas dari terbukanya pikiran para orang tua
tentang pentingnya sekolah bagi masa depan anaknya. Berbeda dengan sekitar dua
puluh tahun yang lalu. Sekolah adalah tempat orang yang punya uang, untuk
anak-anak miskin tempatnya adalah bekerja sebagai kuli, pembantu rumah tangga
atau yang lebih beruntung sedikit bisa berwiraswasta.
Akan tetapi, dalam
perkembangannya sekolah sudah tidak lagi murni ditujukan untuk mengembangkan
bakat anak, memberikan soft skill untuk bekal hidup, membentuk kepribadian
baik, mendewasakan diri dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sekolah mulai
dicampuri oleh berbagai macam kepentingan mulai dari kepentingan politis hingga
kepentingan orang tua yang ingin anaknya menjadi yang terbaik
Alasan utama yang sering
dikemukakan berbagai ahli pendidikan dalam menyusun pondasi pendidikan adalah
bahwa pendidikan harus linear dengan kebutuhan masyarakat. Pendidikan yang
demikian, diartikan secara sempit sebagai salah satu cara untuk mempertahankan
nilai-nilai yang sudah ada. Dalam artian, mempertahankan nilai tanpa melihat
kesesuaian dan konsep benar-salahnya.
Merubah paradigma
tradisional pada paradigma modern, bukan berarti ditujukan untuk merubah
tatanan nilai-nilai tradisional. Bukan pula untuk mempelajari bahasa
internasional seperti yang terjadi pada kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) yang dianggap sebagai kegagalan. Tetapi, bagaimana
kemudian membentuk paradigma siswa yang berpandangan global tetapi tetap
bertindak lokal (Think global, Action
locally).
Selama ini, bentuk pendidikan
berstandar internasional diartikan sebagai sebuah sistem persekolahan yang
menggunakan bahasa asing (Inggris) sebagai pengantarnya. Padahal, pendidikan
global itu dibatasi oleh sekat batas negara. Tidak ada standar pendidikan
internasional ataupun kurikulum internasional. Karena memang demikianlah yang
akan membuat perbedaan di setiap negara.
Jepang, sebagai negara
maju pun tidak memiliki dasar ideologi, tetapi mereka memiliki nilai-nilai
semangat nasionalisme. Dalam konteks ke-Indonesiaan, ideologi sebenarnya malah
membatasi arahan tujuan pendidikan nasional kita. Sebagai contoh, Pancasila
sebagai ideologi tidak bisa memberikan
jaminan bahwa Pancasila bisa membentuk karakter manusia Indonesia yang
berkualitas tinggi. Bahkan, pelaksanaan P4 pada masa orde baru lalu malah menjadikan
ideologi kita sebagai bahan teori, bukan praktik. Sehingga, tidak perlu heran
jika banyak orang pandai dan berpendidikan tinggi di negara kita tetapi masih
juga mau melakukan korupsi.
Beberapa waktu yang
lalu, saya mendapat oleh-oleh berharga dari teman yang baru saja melaksanakan Student Exchange ke negeri Sakura
tersebut. Belajar dari Jepang, berarti belajar untuk memunculkan tokoh-tokoh
yang diteladani betul oleh para siswa. Para pendidik lah yang memiliki peran
dalam mengantarkan anak didiknya dalam menemukan jati diri. Bahkan, para guru
tidak mengarahkan siswwanya untuk menjadi tentara, dokter, PNS dan lainnya.
Tetapi, siswa diminta untuk menyebutkan pekerjaan yang ingin dilakukannya kelak
kalau sudah besar.
Guru mengarahkan
pandangan mereka pada “manfaat” profesi tersebut bagi orang banyak. Misalnya
saja tukang sampah, yang di Indonesia dianggap sebaga pekerjaan rendahan. Di
dalam persekolahan di Jepang, siswa memiliki keinginan menjadi tukang sampah
dihargai setinggi langit. Karena dengan adanya tukang sampah, maka ada yang
membersihkan jalanan atau tempat umum jika kotor (meskipun kenyataannya tidak).
Hal inilah yang belum ada dalam karakter pendidikan kita.
Dengan pandangan yang
demikian, maka tidak ada profesi di Jepang yang dianggap sebagai profesi
rendahan. Secara tidak langsung, para pendidik telah mengajarkan bagaimana
menghargai profesi dan pendapatan. Bahwa tingkat kesejahteraan diri bukan
dilihat dari seberapa banyak uang yang kita miliki. Tetapi, seberapa tinggi
seseorang menghargai profesinya sendiri. Jika konsep tersebut bisa diadobsi
dalam pendidikan, bukan tidak mungkin kita bisa melihat tata kelola negara kita
ini menjadi “bersih”.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
No comments:
Post a Comment