Sunday 11 March 2012

Menghargai Profesi, Belajar Anti-Korupsi


Selama ini, sekolah masih dianggap sebagai tempat seorang anak belajar tentang kehidupan. Atau bisa jadi, malah dipersepsikan secara lebih sempit bahwa tujuan sekolah adalah untuk mencari nilai.Hal ini tidak terlepas dari terbukanya pikiran para orang tua tentang pentingnya sekolah bagi masa depan anaknya. Berbeda dengan sekitar dua puluh tahun yang lalu. Sekolah adalah tempat orang yang punya uang, untuk anak-anak miskin tempatnya adalah bekerja sebagai kuli, pembantu rumah tangga atau yang lebih beruntung sedikit bisa berwiraswasta.
Akan tetapi, dalam perkembangannya sekolah sudah tidak lagi murni ditujukan untuk mengembangkan bakat anak, memberikan soft skill untuk bekal hidup, membentuk kepribadian baik, mendewasakan diri dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sekolah mulai dicampuri oleh berbagai macam kepentingan mulai dari kepentingan politis hingga kepentingan orang tua yang ingin anaknya menjadi yang terbaik
Alasan utama yang sering dikemukakan berbagai ahli pendidikan dalam menyusun pondasi pendidikan adalah bahwa pendidikan harus linear dengan kebutuhan masyarakat. Pendidikan yang demikian, diartikan secara sempit sebagai salah satu cara untuk mempertahankan nilai-nilai yang sudah ada. Dalam artian, mempertahankan nilai tanpa melihat kesesuaian dan konsep benar-salahnya.
Merubah paradigma tradisional pada paradigma modern, bukan berarti ditujukan untuk merubah tatanan nilai-nilai tradisional. Bukan pula untuk mempelajari bahasa internasional seperti yang terjadi pada kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang dianggap sebagai kegagalan. Tetapi, bagaimana kemudian membentuk paradigma siswa yang berpandangan global tetapi tetap bertindak lokal (Think global, Action locally).
Selama ini, bentuk pendidikan berstandar internasional diartikan sebagai sebuah sistem persekolahan yang menggunakan bahasa asing (Inggris) sebagai pengantarnya. Padahal, pendidikan global itu dibatasi oleh sekat batas negara. Tidak ada standar pendidikan internasional ataupun kurikulum internasional. Karena memang demikianlah yang akan membuat perbedaan di setiap negara.
Jepang, sebagai negara maju pun tidak memiliki dasar ideologi, tetapi mereka memiliki nilai-nilai semangat nasionalisme. Dalam konteks ke-Indonesiaan, ideologi sebenarnya malah membatasi arahan tujuan pendidikan nasional kita. Sebagai contoh, Pancasila sebagai ideologi  tidak bisa memberikan jaminan bahwa Pancasila bisa membentuk karakter manusia Indonesia yang berkualitas tinggi. Bahkan, pelaksanaan P4 pada masa orde baru lalu malah menjadikan ideologi kita sebagai bahan teori, bukan praktik. Sehingga, tidak perlu heran jika banyak orang pandai dan berpendidikan tinggi di negara kita tetapi masih juga mau melakukan korupsi.
Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat oleh-oleh berharga dari teman yang baru saja melaksanakan Student Exchange ke negeri Sakura tersebut. Belajar dari Jepang, berarti belajar untuk memunculkan tokoh-tokoh yang diteladani betul oleh para siswa. Para pendidik lah yang memiliki peran dalam mengantarkan anak didiknya dalam menemukan jati diri. Bahkan, para guru tidak mengarahkan siswwanya untuk menjadi tentara, dokter, PNS dan lainnya. Tetapi, siswa diminta untuk menyebutkan pekerjaan yang ingin dilakukannya kelak kalau sudah besar.
Guru mengarahkan pandangan mereka pada “manfaat” profesi tersebut bagi orang banyak. Misalnya saja tukang sampah, yang di Indonesia dianggap sebaga pekerjaan rendahan. Di dalam persekolahan di Jepang, siswa memiliki keinginan menjadi tukang sampah dihargai setinggi langit. Karena dengan adanya tukang sampah, maka ada yang membersihkan jalanan atau tempat umum jika kotor (meskipun kenyataannya tidak). Hal inilah yang belum ada dalam karakter pendidikan kita.
Dengan pandangan yang demikian, maka tidak ada profesi di Jepang yang dianggap sebagai profesi rendahan. Secara tidak langsung, para pendidik telah mengajarkan bagaimana menghargai profesi dan pendapatan. Bahwa tingkat kesejahteraan diri bukan dilihat dari seberapa banyak uang yang kita miliki. Tetapi, seberapa tinggi seseorang menghargai profesinya sendiri. Jika konsep tersebut bisa diadobsi dalam pendidikan, bukan tidak mungkin kita bisa melihat tata kelola negara kita ini menjadi “bersih”.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber gambar : http://123mulai.wordpress.com/2010/03/27/proses-eksekusi-tikus/

No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...