“Hari gini
sekolah, apa kata dunia ? “
Akhir-akhir ini makin marak penggunaan plesetan slogan yang dikeluarkan
promosi dinas perpajakan. Pertama adalah dengan mengurangi kata “nggak”
menjadi , “hari gini bayar pajak, apa kata dunia ?” Plesetan ini tidak
lepas dari kelakuan golongan aristokrat yang menyelewengkan kekuasaan.
Kenyataan ini memang sangat lucu, orang-orang ini tidak bodoh, tidak pula
sedang lalai. Sebagai kaum yang memiliki ilmu lebih, hal ini sangat memalukan.
Kemudian, ketika kita melihat fenomena ini pastilah menyalahkan
pendidikan dahulu terkait dengan penokohan dan keteladanan. Bahwa dongeng
kancil menjadi sumber semua bencana ini. Kecerdikan kancil dalam mengelabuhi
musuh-musuhnya telah diterapkan dengan sungguh-sungguh. Bukan untuk diambil
hikmahnya, tetapi untuk diambil kelicikannya.
Ya, pendidikan kita masih dalam taraf mengaplikasikan budaya lisan. Begitu
kentalnya, hingga semua tayangan yang berbau gosip selalu laris di dalam
program televisi maupun di surat-surat kabar. Di saat koran-koran pendidikan kolaps,
koran-koran gosip tumbuh subur menjadi santapan sehari-hari. Hampir semua orang
begitu percaya pada hal-hal yang belum tentu kebenarannya. Nah, kebudayaan
lisan ini jika tidak segera diimbangi dengan budaya tulis akan menjadi sangat
berbahaya.
Pendidikan hanya akan menghasilkan penceramah, pendongeng, penggosip atau
penipu saja tanpa mengedepankan aksi nyata. Seperti yang kita lihat sekarang, negeri
kita ini baru bisa menghasilkan banyak peramal atau orang pintar daripada
ilmuwan. Padahal, kemajuan sebuah bangsa adalah ketika memiliki banyak
kader-kader yang siap untuk berpikir secara ilmiah dalam bidang kehidupan.
Harapannya adalah agar mereka bisa mengembangkan keahliannya tersebut.
Namun, pada kenyataannya harapan itu tinggallah harapan kosong saja.
Bahkan, perumusan konsep pendidikan yang pasti sesuai dengan kepribadian bangsa
belum bisa dioptimalkan. Pendidikan karakter yang menjadi topik utama selalu
dibahas di dalam forum-forum seminar. Namun, apa hasilnya ?
Pendidikan karakter yang diduga bisa mengatasi permasalahan bangsa masih
sebatas wacana. Belum bisa terumuskan dengan baik apa yang disebut dengan
karakter pendidikan. Kalaupun jika yang dimaksud adalah kepribadian yang matang
dan berpandangan luas, hal ini tidak bisa dicapai dengan instan. Pendidikan
adalah sebuah proses, bukan sekedar hasil instan.
Kalaupun pendidikan karakter berhasil digunakan untuk mengubah
kepribadian seorang siswa di sekolah, maka ketahanannya tak akan berlangsung
lama. Penddikan yang dirumuskan dan dipaksakan hanya akan menjadi angin lalu
saja.Begitu bingungnya, sampai-sampai pendidikan karakter dijadikan sebagai
muara pendidikan.
Permasalahan lain yang timbul adalah pertanyaan, jika pendidikan karakter
menjadi solusi bagaimana pelaksanaannya di sekolah? Apalagi kalau di seluruh
tanah air. Tentu saja hal ini akan semakin membebani tugas guru di sekolah.
Guru harus memikirkan pembelajaran yang sesuai dengan karakter tanpa harus
menghilangkan kenikmatan mereka dalam belajar.
Permasalahan semakin tambah rumit ketika sekolah bertaraf internasional (SBI)
diterapkan. Pendidikan dilaksansakan dengan memperkenalkan budaya asing dengan
memberikan sedikit porsi pada nilai-nilai lokal. Bukannya sekolah harus
membentengi diri dari pengaruh budaya luar. Karena memang sudah bukan zamannya
lagi sekolah sesuai dengan kebijakan para penguasa. Tetapi bagaimana menyelipkan
nilai budaya lokal dalam memberikan kebanggaan diri untuk meningkatkan semangat
nasionalisme dalam meningkatkan kapasitas pendidikan yang setara dengan
pendidikan di negara lain.
Pendidikan adalah persiapan seorang anak untuk membangun peradaban dalam
masyarakatnya. Dari pemikiran inilah sesungguhnya pendidikan karakter itu
dibentuk. Tidak usah diperdebatkan tetapi diperdalam kajiannya sehingga dapat
dirumuskan solusinya. Bagaimana memaksimalkan interaksi anak dalam kehidupan di
luar sekolah dibawa ke dalam.
Di sinilah sebenarnya pentingnya seorang guru dalam membangun karakter
bangsa. Bersemangat mendidik generasi penerus dengan program yang tidak
menggurui atau membebani anak, tetapi menyelipkan pesan-pesan dalam
pembelajaran. Sekaligus memberikan keterampilan kepemimpinan. Pemimpin bukan
terbentuk instan tetapi bertahap dalam proses pendewasaan
Sekolah yang baik kelasnya tidak akan terlihat polos. Penuh dngan
tempelan luapan ekspresi mereka. Inilah kunci agar sekolah selalu hidup dalam
dunia anak-anak. Jadi, di sini anak tidak perlu untuk diberi tahu konsep
penyelenggaraan sekolah, dalam pendidikan di sekolah dasar. Yang penting anak
tahu dan mau untuk memahami sedikit demi sedikit.
Pentingnya pemberian porsi pembelajaran di setiap jenjang sekolah adalah
agar anak menerima pengetahuan yang sesuai. Bagaimana sekolah dibentuk dengan
cinta dan kebersamaan. Sudah bukan zamannya lagi sekolah dibangun dengan ambisi
orang tua. Sekolah bukan lahan bisnis yang menguntungkan di kemudian hari.
Sekolah adalah salah satu tempa yang berguna dalam penanaman nilai-nilai
humanisme. Memanusiakan manusia.
Dalam artian, nilai humanisme itu telah mencakup semua aspek proses
pendidikan. Pendidikan yang menyenangkan dan membuat nyaman siswa dalam
pembelajaran di sekolah. Karena sekolah bukanlah kamp militer yang selalu
diidentikkan dengan kewajiban. Hukuman fisik sebagai hadiah sudah tidak sesuai
dengan zamannya, kecuali guru olahraga tentunya.
Anak bukanlah objek pendidikan, tetapi subjek pendidikan. Seorang pelaku
pendidikan yang berhak mendapatkan pendampingan dalam membangun pengetahuannya
sendiri. Dengan sedikit sentuhan dari seorang guru tentunya. Kita tidak ingin
sekolah kita ditertawakan karena lucu kan ?
Isdiyono, Pengamat Pendidikan
No comments:
Post a Comment