Wednesday 14 March 2012

Alangkah Lucunya Sekolahku

“Hari gini sekolah, apa kata dunia ? “

Akhir-akhir ini makin marak penggunaan plesetan slogan yang dikeluarkan promosi dinas perpajakan. Pertama adalah dengan mengurangi kata “nggak” menjadi , “hari gini bayar pajak, apa kata dunia ?” Plesetan ini tidak lepas dari kelakuan golongan aristokrat yang menyelewengkan kekuasaan. Kenyataan ini memang sangat lucu, orang-orang ini tidak bodoh, tidak pula sedang lalai. Sebagai kaum yang memiliki ilmu lebih, hal ini sangat memalukan.
Kemudian, ketika kita melihat fenomena ini pastilah menyalahkan pendidikan dahulu terkait dengan penokohan dan keteladanan. Bahwa dongeng kancil menjadi sumber semua bencana ini. Kecerdikan kancil dalam mengelabuhi musuh-musuhnya telah diterapkan dengan sungguh-sungguh. Bukan untuk diambil hikmahnya, tetapi untuk diambil kelicikannya.
Ya, pendidikan kita masih dalam taraf mengaplikasikan budaya lisan. Begitu kentalnya, hingga semua tayangan yang berbau gosip selalu laris di dalam program televisi maupun di surat-surat kabar.  Di saat koran-koran pendidikan kolaps, koran-koran gosip tumbuh subur menjadi santapan sehari-hari. Hampir semua orang begitu percaya pada hal-hal yang belum tentu kebenarannya. Nah, kebudayaan lisan ini jika tidak segera diimbangi dengan budaya tulis akan menjadi sangat berbahaya.
Pendidikan hanya akan menghasilkan penceramah, pendongeng, penggosip atau penipu saja tanpa mengedepankan aksi nyata. Seperti yang kita lihat sekarang, negeri kita ini baru bisa menghasilkan banyak peramal atau orang pintar daripada ilmuwan. Padahal, kemajuan sebuah bangsa adalah ketika memiliki banyak kader-kader yang siap untuk berpikir secara ilmiah dalam bidang kehidupan. Harapannya adalah agar mereka bisa mengembangkan keahliannya tersebut.
Namun, pada kenyataannya harapan itu tinggallah harapan kosong saja. Bahkan, perumusan konsep pendidikan yang pasti sesuai dengan kepribadian bangsa belum bisa dioptimalkan. Pendidikan karakter yang menjadi topik utama selalu dibahas di dalam forum-forum seminar. Namun, apa hasilnya ?
Pendidikan karakter yang diduga bisa mengatasi permasalahan bangsa masih sebatas wacana. Belum bisa terumuskan dengan baik apa yang disebut dengan karakter pendidikan. Kalaupun jika yang dimaksud adalah kepribadian yang matang dan berpandangan luas, hal ini tidak bisa dicapai dengan instan. Pendidikan adalah sebuah proses, bukan sekedar hasil instan.
Kalaupun pendidikan karakter berhasil digunakan untuk mengubah kepribadian seorang siswa di sekolah, maka ketahanannya tak akan berlangsung lama. Penddikan yang dirumuskan dan dipaksakan hanya akan menjadi angin lalu saja.Begitu bingungnya, sampai-sampai pendidikan karakter dijadikan sebagai muara pendidikan.
Permasalahan lain yang timbul adalah pertanyaan, jika pendidikan karakter menjadi solusi bagaimana pelaksanaannya di sekolah? Apalagi kalau di seluruh tanah air. Tentu saja hal ini akan semakin membebani tugas guru di sekolah. Guru harus memikirkan pembelajaran yang sesuai dengan karakter tanpa harus menghilangkan kenikmatan mereka dalam belajar.
Permasalahan semakin tambah rumit ketika sekolah bertaraf internasional (SBI) diterapkan. Pendidikan dilaksansakan dengan memperkenalkan budaya asing dengan memberikan sedikit porsi pada nilai-nilai lokal. Bukannya sekolah harus membentengi diri dari pengaruh budaya luar. Karena memang sudah bukan zamannya lagi sekolah sesuai dengan kebijakan para penguasa. Tetapi bagaimana menyelipkan nilai budaya lokal dalam memberikan kebanggaan diri untuk meningkatkan semangat nasionalisme dalam meningkatkan kapasitas pendidikan yang setara dengan pendidikan di negara lain.
Pendidikan adalah persiapan seorang anak untuk membangun peradaban dalam masyarakatnya. Dari pemikiran inilah sesungguhnya pendidikan karakter itu dibentuk. Tidak usah diperdebatkan tetapi diperdalam kajiannya sehingga dapat dirumuskan solusinya. Bagaimana memaksimalkan interaksi anak dalam kehidupan di luar sekolah dibawa ke dalam.
Di sinilah sebenarnya pentingnya seorang guru dalam membangun karakter bangsa. Bersemangat mendidik generasi penerus dengan program yang tidak menggurui atau membebani anak, tetapi menyelipkan pesan-pesan dalam pembelajaran. Sekaligus memberikan keterampilan kepemimpinan. Pemimpin bukan terbentuk instan tetapi bertahap dalam proses pendewasaan
Sekolah yang baik kelasnya tidak akan terlihat polos. Penuh dngan tempelan luapan ekspresi mereka. Inilah kunci agar sekolah selalu hidup dalam dunia anak-anak. Jadi, di sini anak tidak perlu untuk diberi tahu konsep penyelenggaraan sekolah, dalam pendidikan di sekolah dasar. Yang penting anak tahu dan mau untuk memahami sedikit demi sedikit.
Pentingnya pemberian porsi pembelajaran di setiap jenjang sekolah adalah agar anak menerima pengetahuan yang sesuai. Bagaimana sekolah dibentuk dengan cinta dan kebersamaan. Sudah bukan zamannya lagi sekolah dibangun dengan ambisi orang tua. Sekolah bukan lahan bisnis yang menguntungkan di kemudian hari. Sekolah adalah salah satu tempa yang berguna dalam penanaman nilai-nilai humanisme. Memanusiakan manusia.
Dalam artian, nilai humanisme itu telah mencakup semua aspek proses pendidikan. Pendidikan yang menyenangkan dan membuat nyaman siswa dalam pembelajaran di sekolah. Karena sekolah bukanlah kamp militer yang selalu diidentikkan dengan kewajiban. Hukuman fisik sebagai hadiah sudah tidak sesuai dengan zamannya, kecuali guru olahraga tentunya.
Anak bukanlah objek pendidikan, tetapi subjek pendidikan. Seorang pelaku pendidikan yang berhak mendapatkan pendampingan dalam membangun pengetahuannya sendiri. Dengan sedikit sentuhan dari seorang guru tentunya. Kita tidak ingin sekolah kita ditertawakan karena lucu kan ?
Isdiyono, Pengamat Pendidikan

No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...