“Semakin berisi, maka ia semakin merunduk. Begitulah
padi itu mengajarkan kehidupan pada kita...”
Dalam
perspektif umum, setiap orang ingin mengalami kesuksesan dan tidak ingin
merasakan kesulitan-kesulitan. Hal ini merupakan sebuah kewajaran yang setiap
orang pasti pernah memikirkannya. Bahkan, pengembangan teknologi yang saat ini
sudah semakin canggih pun tidak terlepas dari pemikiran dari kesulitan menjadi
sebuah kemudahan. Secara tidak langsung, tindakan ini akan mengarahkan kita
pada sebuah kerumitan-kerumitan berpikir.
Satu
hal yang tidak bisa dihindari dari seseorang yang menginginkan kesuksesan
adalah kegagalan-kegagalan. Sebagai sebuah perjalanan, ada kalanya seseorang
mengalaminya (kegagalan). Bahkan, memang kesuksesan itu berawal dari sebuah
kegagalan. Jika tidak pernah mengalami kegagalan, maka kita tidak akan pernah
tahu bagaimana rasanya kesuksesan. Hanya saja, seorang sukses adalah mereka
yang mampu untuk berjalan dan melewati kegagalan-kegagalan itu tanpa kehilangan
semangat.
Maka,
tidak perlu disesali ketika pada suatu usaha kita tidak mendapatkan kesuksesan.
Bukannya Alloh tidak mengabulkan do’a kita, tetapi Dia menguji apakah kita
sebenarnya sudah pantas menerima kesuksesan itu, ataukah belum. Karena
kesuksesan hanya akan terjadi sebentar saja, ketika seseorang belum siap
menjalani kehidupan pada level itu.
Sehingga,
kegagalan tidak perlu kita sesali sedemikian rupa. Banyak para ilmuwan yang
mengawali penemuan besarnya dari kegagalan-kegagalan. Bahkan, di antara mereka
harus merelakan hidupnya demi kesejahteraan umat manusia. Dalam perkembangan
teknologi modern, ada Marry Currie yang menerima radiasi nuklir hanya untuk
menemukan satu buah unsur saja. Atau Galileo yang harus dipancung ketika
pendapatnya berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Dan apa yang terjadi pada
malam hari kita ketika Thomas Alva Edison menyerah ketika percobaannya gagal
dalam membuat bola lampu?
Dalam
sejarah awal perjuangan Islam pun, para sahabat tidak kalah heroik. Bahkan,
mereka memang sengaja menjual jiwa mereka kepada jalan kebenaran yang
diyakininya. Dengan gagah berani, mereka hadapi sabetan pedang dari
musuh-musuhnya. Bayangkan, kalau para tokoh tersebut berhenti dan menyerah dua
detik menjelang kesuksesannya. Apa yang akan terjadi? Tentu, kita tidak akan menikmati
teknologi kedokteran modern, tidak mampu melihat luar angkasa dan tidak
merasakan kedamaian dalam keyakinan kita.
Kalau
kita masih saja mengeluh terhadap usaha kita yang terus mengalami kegagalan,
maka kita harus malu kepada Imam Hambali. Terkadang, kita mengeluh karena waktu
yang kita miliki begitu sempit. Atau kita tidak cukup memiliki dana untuk
memperjuangkan keyakinan kita. Atau mengeluh karena tidak ada yang membimbing.
Padahal, tahukah kalian Imam Hambali itu?
Ya,
beliau adalah seorang ilmuwan, sastrawan, filsuf dan seorang yang selalu haus
akan ilmu pengetahuan. Hanya untuk menemui Imam Syafi’i, jarak yang begitu jauh
tidak mampu menaklukkan keteguhan hatinya. Bahkan, tak segan berbagi dengan
orang lain meskipun sebenarnya dirinya sendiri sedang membutuhkan bantuan. Dan
bisa kita rasakan, bagaimana beliau harus berjalan begitu jauh hanya untuk
menyongsong ilmu?
Kita
seharusnya malu, karena segala fasilitas yang kita butuhkan sudah ada dan
tersedia. Kendaraan, komunikasi, media untuk menulis dan lainnya. Kita tinggal
memakainya saja, lalu, kenapa kita harus mengeluh hanya karena ini? Kutipan
yang paling berkesan dari Imam Hambali bagi saya adalah “belajar akan terasa
nikmat ketika dilakukan dalam kondisi yang serba kekurangan...”
Analogi
saya adalah, ketika seseorang dalam keadaan kekurangan (baca:terjepit) maka
akan muncul ambisi yang kuat. Nah, permasalahannya adalah karena sebagian besar
dari kita terlahir dalam kondisi yang serba berkecukupan. Cukup sulit untuk
mengubah kondisi ini dari kondisi “aman” menjadi kondisi “menantang”. Tetapi,
kita harus menghadirkan kondisi “kekurangan” ini sebagai pendorong yang kuat.
Bukan berarti kita memposisikan diri kita sebagai orang yang kekurangan dan
merasa tergantung pada orang lain. Tetapi, mengkondisikan diri untuk selalu
lapar dalam menyerap ilmu pengetahuan.
Tetap Merunduk
Yang
menjadi pedoman penting ketika kita sudah berada dalam kesuksesan adalah :
bagaimana menghadirkan ambisi dengan tetap menjaga kerendahan hati? Pertanyaan
ini begitu sederhana, tetapi sulit untuk dilaksanakan. Karena kebanyakan dari
kita pasti pernah berpikir kalau yang kita cari adalah kesuksesan. Sehingga,
terkadang kita lupa siapa kita, dari mana asal kita, untuk apa kita mencari
kesuksesan dan akan diberikan ke mana kesuksesan kita ini?
Dalam
perjalanan kesuksesan kita, ada orang-orang yang entah sebentar atau lama
berperan dalam jalan itu. Coba kita pikirkan kembali, bahwa mereka membantu
kita tanpa berusaha untuk menerima balasannya kembali. Meskipun misalnya hanya
meminjami kita pulpen misalnya. Itu akan menentukan kesuksesan kita ketika kita
hanya memiliki waktu satu menit, padahal kita lupa tidak membawanya. Atau
ketika kita lupa membawa mantel hujan dan kita sedang membawa kerta dokumen,
padahal dokumen-dokumen tersebut harus segera dikumpulkan. Kita tidak bisa
meremehkan bahwa itu hanyalah sebuah hal kecil.
Atau
ketika kita sedang dalam proses, sering kita minta arahan, ilmu, teknik,
strategi atau pemecahan masalah. Bukankah kita akan melakukan segala cara yang
memungkinkan kita untuk mendapatkannya? Dan apakah orang lain menolak kita
dengan mentah-mentah? Tidak bukan?
Maka,
sudah seharusnya kita tetap menjaga asal-usul kita dan bagaimana kebersamaan
hadir dalam perjalanan kesuksesan. Karena kita tidak bisa sukses tanpa orang
lain, karena kita membutuhkan mereka. Berbagi, meskipun sedikit akan lebih
bermakna daripada tidak kita bagi sama sekali. Ilmu yang kita punyai, tidak
akan pernah berkurang ketika kita menyampaikannya pada orang lain. Karena
dengan kita mengajarkannya, kita menjadi tahu kekurangan kita.
Melupakan
kawan yang telah berjuang bersama dari sejak pertama kita mengawali perjuangan,
adalah sebuah kesalahan terbesar. Karena kesuksesan bersama, akan mengawali
kesuksesan besar dalam kehidupan berbangsa kita. Sayangnya, jaman kita sekarang
ini memang mendukung bagi kesuksesan individu. Coba kita berkunjung ke toko
buku, tidak akan sulit menemukan buku yang menceritakan kesuksesan seseorang
sebagai enterpreneur. Tetapi, kata seorang guru, sulit sekali menemukan buku
yang menceritakan tentang kesuksesan seorang guru. Paling terkenal mungkin
tetralogi Laskar Pelangi. Dan itupun bukan ditulis oleh guru.
Padahal,
untuk membangun bangsa yang kuat maka dibutuhkan kesuksesan bersama. Kita bisa
belajar dari bangsa Jepang yang mampu maju secara kolektif. Dari cerita seorang
teman yang berkunjung ke sana, buku-buku yang dipamerkan di pameran buku
kebanyakan ditulis oleh para guru. Hal ini berbanding terbalik dengan di
Indonesia yang buku pelajaran pun ditulis bukan oleh guru. Bahkan, terkadang
oleh orang yang bukan ahlinya. Pengalaman, di SMA guru matematika malah tidak
bisa menuliskan buku tentang pelajaran matematika. Yang menyusun malah seorang
guru bahasa Inggris. Alangkah lucunya negeri kita ini ya?
Maka,
menjadi sukses adalah sebuah pilihan dan mengamalkan ilmu padi adalah
kesuksesan bagi seorang yang sukses. Berbagi tidak akan mengurangi kedalaman
ilmu kita. Peduli tidak akan mengurangi wibawa kita dan tidak akan mengeraskan
hati kita. Berbagi, memberikan kelapangan hati. Mengingat perjalanan merupakan
bagian tak terpisahkan dari perjalanan kesuksesan kita. Karena tanpa
orang-orang di sekitar kita, baik yang hanya sekedipan mata atau yang bisa
dipandang mata selama mungkin, kita tidak akan pernah sukses. Bukankah begitu?
06 Maret 2012
No comments:
Post a Comment