Monday 5 March 2012

Belajar dari Padi


“Semakin berisi, maka ia semakin merunduk. Begitulah padi itu mengajarkan kehidupan pada kita...”
 
Dalam perspektif umum, setiap orang ingin mengalami kesuksesan dan tidak ingin merasakan kesulitan-kesulitan. Hal ini merupakan sebuah kewajaran yang setiap orang pasti pernah memikirkannya. Bahkan, pengembangan teknologi yang saat ini sudah semakin canggih pun tidak terlepas dari pemikiran dari kesulitan menjadi sebuah kemudahan. Secara tidak langsung, tindakan ini akan mengarahkan kita pada sebuah kerumitan-kerumitan berpikir.
Satu hal yang tidak bisa dihindari dari seseorang yang menginginkan kesuksesan adalah kegagalan-kegagalan. Sebagai sebuah perjalanan, ada kalanya seseorang mengalaminya (kegagalan). Bahkan, memang kesuksesan itu berawal dari sebuah kegagalan. Jika tidak pernah mengalami kegagalan, maka kita tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya kesuksesan. Hanya saja, seorang sukses adalah mereka yang mampu untuk berjalan dan melewati kegagalan-kegagalan itu tanpa kehilangan semangat.
Maka, tidak perlu disesali ketika pada suatu usaha kita tidak mendapatkan kesuksesan. Bukannya Alloh tidak mengabulkan do’a kita, tetapi Dia menguji apakah kita sebenarnya sudah pantas menerima kesuksesan itu, ataukah belum. Karena kesuksesan hanya akan terjadi sebentar saja, ketika seseorang belum siap menjalani kehidupan pada level itu.
Sehingga, kegagalan tidak perlu kita sesali sedemikian rupa. Banyak para ilmuwan yang mengawali penemuan besarnya dari kegagalan-kegagalan. Bahkan, di antara mereka harus merelakan hidupnya demi kesejahteraan umat manusia. Dalam perkembangan teknologi modern, ada Marry Currie yang menerima radiasi nuklir hanya untuk menemukan satu buah unsur saja. Atau Galileo yang harus dipancung ketika pendapatnya berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Dan apa yang terjadi pada malam hari kita ketika Thomas Alva Edison menyerah ketika percobaannya gagal dalam membuat bola lampu?
Dalam sejarah awal perjuangan Islam pun, para sahabat tidak kalah heroik. Bahkan, mereka memang sengaja menjual jiwa mereka kepada jalan kebenaran yang diyakininya. Dengan gagah berani, mereka hadapi sabetan pedang dari musuh-musuhnya. Bayangkan, kalau para tokoh tersebut berhenti dan menyerah dua detik menjelang kesuksesannya. Apa yang akan terjadi? Tentu, kita tidak akan menikmati teknologi kedokteran modern, tidak mampu melihat luar angkasa dan tidak merasakan kedamaian dalam keyakinan kita.
Kalau kita masih saja mengeluh terhadap usaha kita yang terus mengalami kegagalan, maka kita harus malu kepada Imam Hambali. Terkadang, kita mengeluh karena waktu yang kita miliki begitu sempit. Atau kita tidak cukup memiliki dana untuk memperjuangkan keyakinan kita. Atau mengeluh karena tidak ada yang membimbing. Padahal, tahukah kalian Imam Hambali itu?
Ya, beliau adalah seorang ilmuwan, sastrawan, filsuf dan seorang yang selalu haus akan ilmu pengetahuan. Hanya untuk menemui Imam Syafi’i, jarak yang begitu jauh tidak mampu menaklukkan keteguhan hatinya. Bahkan, tak segan berbagi dengan orang lain meskipun sebenarnya dirinya sendiri sedang membutuhkan bantuan. Dan bisa kita rasakan, bagaimana beliau harus berjalan begitu jauh hanya untuk menyongsong ilmu?
Kita seharusnya malu, karena segala fasilitas yang kita butuhkan sudah ada dan tersedia. Kendaraan, komunikasi, media untuk menulis dan lainnya. Kita tinggal memakainya saja, lalu, kenapa kita harus mengeluh hanya karena ini? Kutipan yang paling berkesan dari Imam Hambali bagi saya adalah “belajar akan terasa nikmat ketika dilakukan dalam kondisi yang serba kekurangan...”
Analogi saya adalah, ketika seseorang dalam keadaan kekurangan (baca:terjepit) maka akan muncul ambisi yang kuat. Nah, permasalahannya adalah karena sebagian besar dari kita terlahir dalam kondisi yang serba berkecukupan. Cukup sulit untuk mengubah kondisi ini dari kondisi “aman” menjadi kondisi “menantang”. Tetapi, kita harus menghadirkan kondisi “kekurangan” ini sebagai pendorong yang kuat. Bukan berarti kita memposisikan diri kita sebagai orang yang kekurangan dan merasa tergantung pada orang lain. Tetapi, mengkondisikan diri untuk selalu lapar dalam menyerap ilmu pengetahuan.
Tetap Merunduk
Yang menjadi pedoman penting ketika kita sudah berada dalam kesuksesan adalah : bagaimana menghadirkan ambisi dengan tetap menjaga kerendahan hati? Pertanyaan ini begitu sederhana, tetapi sulit untuk dilaksanakan. Karena kebanyakan dari kita pasti pernah berpikir kalau yang kita cari adalah kesuksesan. Sehingga, terkadang kita lupa siapa kita, dari mana asal kita, untuk apa kita mencari kesuksesan dan akan diberikan ke mana kesuksesan kita ini?
Dalam perjalanan kesuksesan kita, ada orang-orang yang entah sebentar atau lama berperan dalam jalan itu. Coba kita pikirkan kembali, bahwa mereka membantu kita tanpa berusaha untuk menerima balasannya kembali. Meskipun misalnya hanya meminjami kita pulpen misalnya. Itu akan menentukan kesuksesan kita ketika kita hanya memiliki waktu satu menit, padahal kita lupa tidak membawanya. Atau ketika kita lupa membawa mantel hujan dan kita sedang membawa kerta dokumen, padahal dokumen-dokumen tersebut harus segera dikumpulkan. Kita tidak bisa meremehkan bahwa itu hanyalah sebuah hal kecil.
Atau ketika kita sedang dalam proses, sering kita minta arahan, ilmu, teknik, strategi atau pemecahan masalah. Bukankah kita akan melakukan segala cara yang memungkinkan kita untuk mendapatkannya? Dan apakah orang lain menolak kita dengan mentah-mentah? Tidak bukan?
Maka, sudah seharusnya kita tetap menjaga asal-usul kita dan bagaimana kebersamaan hadir dalam perjalanan kesuksesan. Karena kita tidak bisa sukses tanpa orang lain, karena kita membutuhkan mereka. Berbagi, meskipun sedikit akan lebih bermakna daripada tidak kita bagi sama sekali. Ilmu yang kita punyai, tidak akan pernah berkurang ketika kita menyampaikannya pada orang lain. Karena dengan kita mengajarkannya, kita menjadi tahu kekurangan kita.
Melupakan kawan yang telah berjuang bersama dari sejak pertama kita mengawali perjuangan, adalah sebuah kesalahan terbesar. Karena kesuksesan bersama, akan mengawali kesuksesan besar dalam kehidupan berbangsa kita. Sayangnya, jaman kita sekarang ini memang mendukung bagi kesuksesan individu. Coba kita berkunjung ke toko buku, tidak akan sulit menemukan buku yang menceritakan kesuksesan seseorang sebagai enterpreneur. Tetapi, kata seorang guru, sulit sekali menemukan buku yang menceritakan tentang kesuksesan seorang guru. Paling terkenal mungkin tetralogi Laskar Pelangi. Dan itupun bukan ditulis oleh guru.
Padahal, untuk membangun bangsa yang kuat maka dibutuhkan kesuksesan bersama. Kita bisa belajar dari bangsa Jepang yang mampu maju secara kolektif. Dari cerita seorang teman yang berkunjung ke sana, buku-buku yang dipamerkan di pameran buku kebanyakan ditulis oleh para guru. Hal ini berbanding terbalik dengan di Indonesia yang buku pelajaran pun ditulis bukan oleh guru. Bahkan, terkadang oleh orang yang bukan ahlinya. Pengalaman, di SMA guru matematika malah tidak bisa menuliskan buku tentang pelajaran matematika. Yang menyusun malah seorang guru bahasa Inggris. Alangkah lucunya negeri kita ini ya?
Maka, menjadi sukses adalah sebuah pilihan dan mengamalkan ilmu padi adalah kesuksesan bagi seorang yang sukses. Berbagi tidak akan mengurangi kedalaman ilmu kita. Peduli tidak akan mengurangi wibawa kita dan tidak akan mengeraskan hati kita. Berbagi, memberikan kelapangan hati. Mengingat perjalanan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan kesuksesan kita. Karena tanpa orang-orang di sekitar kita, baik yang hanya sekedipan mata atau yang bisa dipandang mata selama mungkin, kita tidak akan pernah sukses. Bukankah begitu?
06 Maret 2012

No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...