Pada suatu masa, panglima Thoriq bin Ziyad dalam perjalanan
membebaskan sebuah daerah. Dengan beberapa kapal perang, ia datangi markas
musuh dengan tanpa rasa takut. Akan tetapi, ketakutan justru menghinggapi wajah
para prajuritnya. Ketakutan tersebut tertangkap oleh sang panglima. Dalam
kondisi demikian, bukannya ia membesarkan hati para prajuritnya tetapi malah
membakar seluruh kapal dan perbekalannya. Prajurit bertanya,” Wahai panglimaku,
kenapa engkau bakar seluruh kapal kita?” Sang panglima menjawab,” Aku menangkap
kegelisahan di wajah kalian, sekarang seluruh kapal dan perbekalan kita sudah
habis. Tak ada jalan lagi untuk pulang.”
Dan ketika mereka membunuh keraguan, maka kemenangan pun
dapat diraih. Sehingga, kita masih bisa mengenang kepahlawanannya dari nama
sebuah selat kecil di Eropa bernama selat Gibraltar. Bukan kepahlawanannya yang
ingin saya sampaikan, tetapi esensi dari hubungan antarlini dalam organisasi
perang. Jika diasumsikan, mari kita anggap organisasi kita ini adalah pasukan
panglima Thoriq. Di dalamnya, ada nakhoda, ada prajurit, ada juru masak, ada
navigator, ada tukang kayu, ada teknisi dan mungkin seorang penyair yang
membakar semangat para prajurit dengan syair-syair penuh maknanya.
Masing-masing anggota, memiliki peran dan keahliannya
masing-masing. Dan semua saling membutuhkan, tidak bisa tidak. Coba bayangkan,
seandainya navigator tidak mau menavigasi kapal, apakah kapal-kapal tersebut
akan sampai pada musuh? Atau ketika tanpa juru masak, mau makan apa mereka?
Tentu saja, masing-masing anggota kapal sudah memikirkan jauh-jauh hari resiko
apa yang harus ditanggungnya untuk mencapai tujuan yang mulia tersebut. Jika
tidak mengetahui resiko dan betapa mulianya job tersebut,maka kita akan
memandang sinis seorang kelasi kapal yang tugasnya hanya mengelap kapal.
Tetapi, bagi panglima, kemilaunya kapal menunjukkan salah satu dari bagian
wibawanya.
Dan sebuah perjalanan, akan mencapai tujuan ketika para awak
kapal mampu secara konsisten berjuang. Badai, karang, terik matahari hanyalah
penghalang kecil dalam menempuh perjalanan panjang. Jika tidak memiliki
keyakinan dan keteguhan hati, maka kapal akan oleng meskipun hanya menabrak
sebuah karang kecil. Atau ketika datang badai dan seluruh awak diperintahkan
untuk masuk ke dalam kabin oleh panglima. Satu orang membangkang, maka sama
saja dengan ia membiarkan dirinya sendiri celaka. Hilang ditelan oleh badai dan
ditelan oleh gelombang pasang.
Melanjutkan
Perjuangan
Sebagai UKM berbasis riset, organisasi kita ini tersusun
atas berbagai latar belakang jurusan. Di sini, saya ingin agar sekat jurusan
itu tidak membatasi kinerja kita. Karena ketika fanatisme jurusan masuk ke
dalam tubuh Reality akan merusak organisasi kita ini dari dalam. Bukan berarti
saya melarang teman-teman untuk tidak mengikuti kegiatan lain. Tetapi, saya
berharap kepada teman-teman untuk peduli terhadap organisasi kita ini. Karena
tanpa kalian, maka dengan sekali sentuh saja pasti kapal kita akan tenggelam.
Tidak seperti organisasi lainnya yang memang memusatkan diri
pada pengembangan diri atau event
organizer saja, Reality memiliki ranah ganda dalam bergerak : organisasi
dan pengkaryaan. Dua hal yang harus diseimbangkan dan tidak boleh ditinggalkan
salah satunya. Reality tanpa karya, maka akan menjadi organisasi yang hidup
tapi tak memiliki gairah. Sedangkan ketika Reality tanpa organisasi, maka akan
runtuh ditiup angin dari sebatang seruling. Karena dalam organisasilah
pengkaderan, peningkatan dan kontinuitas karya dan pengembangannya dalam
berlangsung secara terus-menerus. Ketika dua hal ini dihilangkan, tunggu saja
kehancurannya. Dan tugas ini ada di dalam setiap dada pengurus Reality sebagai
garda terdepan gerakan intelektualitas mahasiswa.
Menjadi pengurus Reality, berarti bersiap untuk
mengkonsistenkan diri sendiri. Karena tanpa konsistensi, maka kita akan
kehabisan waktu berkarya hanya untuk berpikir saja. Tugas kuliah, uang saku
yang terlambat datang, mobilitas yang terbatas, sakit, malu, merasa rendah diri
pasti akan datang pada kalian. Menjadikannya alasan untuk lepas dari
organisasi, adalah bukti ketidakmampuan kalian. Tetapi, kemampuan kalian akan
terbukti ketika kalian mampu bertahan dari awal hingga akhir. Karena dalam
pendidikan, kita mengenal adanya proses. Tidak sekedar melihat nilai apa yang
keluar.
Satu karya yang diikuti dengan puas diri, akan menumpulkan
pikiran kita. Sebagai seorang periset, kita tidak diperkenankan untuk
melakukannya. Seorang periset harus selalu haus akan pertanyaan. Bahkan, masih
saja bisa menyusun pertanyaan meskipun sepertinya pertanyaan tersebut sudah
habis. Ketika seorang periset tidak memiliki pertanyaan, maka hilanglah dia
dari peradaban. Diawali dengan pemisahan diri dari BEM pada 2007, Reality ada
untuk menjawab para mahasiswa yang haus akan ilmu pengetahuan. Berkembang lebih
jauh, mbak Endah sudah memberikan pondasi dalam menerapkan kultur ilmiah di
FIP. Pada tahun lalu, saya coba untuk berkarya, membuka mata para awak kapal
Reality untuk berani berkarya. Dan sekarang adalah saatnya kalian yang
melanjutkan perjuangan kita. Jangan takut gagal, karena ketika gagal itulah
sebenarnya kita dekat dengan kesuksesan. Berpikir cerdas, berwawasan luas!
Isdiyono,
disampaikan dalam up-grading Reality
Pantai Goa Cemara,
11 Maret 2012
No comments:
Post a Comment