Saturday 10 March 2012

Menyusun Kisah Kita


Pada suatu masa, panglima Thoriq bin Ziyad dalam perjalanan membebaskan sebuah daerah. Dengan beberapa kapal perang, ia datangi markas musuh dengan tanpa rasa takut. Akan tetapi, ketakutan justru menghinggapi wajah para prajuritnya. Ketakutan tersebut tertangkap oleh sang panglima. Dalam kondisi demikian, bukannya ia membesarkan hati para prajuritnya tetapi malah membakar seluruh kapal dan perbekalannya. Prajurit bertanya,” Wahai panglimaku, kenapa engkau bakar seluruh kapal kita?” Sang panglima menjawab,” Aku menangkap kegelisahan di wajah kalian, sekarang seluruh kapal dan perbekalan kita sudah habis. Tak ada jalan lagi untuk pulang.”
Dan ketika mereka membunuh keraguan, maka kemenangan pun dapat diraih. Sehingga, kita masih bisa mengenang kepahlawanannya dari nama sebuah selat kecil di Eropa bernama selat Gibraltar. Bukan kepahlawanannya yang ingin saya sampaikan, tetapi esensi dari hubungan antarlini dalam organisasi perang. Jika diasumsikan, mari kita anggap organisasi kita ini adalah pasukan panglima Thoriq. Di dalamnya, ada nakhoda, ada prajurit, ada juru masak, ada navigator, ada tukang kayu, ada teknisi dan mungkin seorang penyair yang membakar semangat para prajurit dengan syair-syair penuh maknanya.
Masing-masing anggota, memiliki peran dan keahliannya masing-masing. Dan semua saling membutuhkan, tidak bisa tidak. Coba bayangkan, seandainya navigator tidak mau menavigasi kapal, apakah kapal-kapal tersebut akan sampai pada musuh? Atau ketika tanpa juru masak, mau makan apa mereka? Tentu saja, masing-masing anggota kapal sudah memikirkan jauh-jauh hari resiko apa yang harus ditanggungnya untuk mencapai tujuan yang mulia tersebut. Jika tidak mengetahui resiko dan betapa mulianya job tersebut,maka kita akan memandang sinis seorang kelasi kapal yang tugasnya hanya mengelap kapal. Tetapi, bagi panglima, kemilaunya kapal menunjukkan salah satu dari bagian wibawanya.
Dan sebuah perjalanan, akan mencapai tujuan ketika para awak kapal mampu secara konsisten berjuang. Badai, karang, terik matahari hanyalah penghalang kecil dalam menempuh perjalanan panjang. Jika tidak memiliki keyakinan dan keteguhan hati, maka kapal akan oleng meskipun hanya menabrak sebuah karang kecil. Atau ketika datang badai dan seluruh awak diperintahkan untuk masuk ke dalam kabin oleh panglima. Satu orang membangkang, maka sama saja dengan ia membiarkan dirinya sendiri celaka. Hilang ditelan oleh badai dan ditelan oleh gelombang pasang.
Melanjutkan Perjuangan
Sebagai UKM berbasis riset, organisasi kita ini tersusun atas berbagai latar belakang jurusan. Di sini, saya ingin agar sekat jurusan itu tidak membatasi kinerja kita. Karena ketika fanatisme jurusan masuk ke dalam tubuh Reality akan merusak organisasi kita ini dari dalam. Bukan berarti saya melarang teman-teman untuk tidak mengikuti kegiatan lain. Tetapi, saya berharap kepada teman-teman untuk peduli terhadap organisasi kita ini. Karena tanpa kalian, maka dengan sekali sentuh saja pasti kapal kita akan tenggelam.
Tidak seperti organisasi lainnya yang memang memusatkan diri pada pengembangan diri atau event organizer saja, Reality memiliki ranah ganda dalam bergerak : organisasi dan pengkaryaan. Dua hal yang harus diseimbangkan dan tidak boleh ditinggalkan salah satunya. Reality tanpa karya, maka akan menjadi organisasi yang hidup tapi tak memiliki gairah. Sedangkan ketika Reality tanpa organisasi, maka akan runtuh ditiup angin dari sebatang seruling. Karena dalam organisasilah pengkaderan, peningkatan dan kontinuitas karya dan pengembangannya dalam berlangsung secara terus-menerus. Ketika dua hal ini dihilangkan, tunggu saja kehancurannya. Dan tugas ini ada di dalam setiap dada pengurus Reality sebagai garda terdepan gerakan intelektualitas mahasiswa.
Menjadi pengurus Reality, berarti bersiap untuk mengkonsistenkan diri sendiri. Karena tanpa konsistensi, maka kita akan kehabisan waktu berkarya hanya untuk berpikir saja. Tugas kuliah, uang saku yang terlambat datang, mobilitas yang terbatas, sakit, malu, merasa rendah diri pasti akan datang pada kalian. Menjadikannya alasan untuk lepas dari organisasi, adalah bukti ketidakmampuan kalian. Tetapi, kemampuan kalian akan terbukti ketika kalian mampu bertahan dari awal hingga akhir. Karena dalam pendidikan, kita mengenal adanya proses. Tidak sekedar melihat nilai apa yang keluar.
Satu karya yang diikuti dengan puas diri, akan menumpulkan pikiran kita. Sebagai seorang periset, kita tidak diperkenankan untuk melakukannya. Seorang periset harus selalu haus akan pertanyaan. Bahkan, masih saja bisa menyusun pertanyaan meskipun sepertinya pertanyaan tersebut sudah habis. Ketika seorang periset tidak memiliki pertanyaan, maka hilanglah dia dari peradaban. Diawali dengan pemisahan diri dari BEM pada 2007, Reality ada untuk menjawab para mahasiswa yang haus akan ilmu pengetahuan. Berkembang lebih jauh, mbak Endah sudah memberikan pondasi dalam menerapkan kultur ilmiah di FIP. Pada tahun lalu, saya coba untuk berkarya, membuka mata para awak kapal Reality untuk berani berkarya. Dan sekarang adalah saatnya kalian yang melanjutkan perjuangan kita. Jangan takut gagal, karena ketika gagal itulah sebenarnya kita dekat dengan kesuksesan. Berpikir cerdas, berwawasan luas!

Isdiyono, disampaikan dalam up-grading Reality
Pantai Goa Cemara, 11 Maret 2012


No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...