Seperti air,
dalam diamnya dia membawa apapun yang ak diketahui…”
Dalam berbagai bahasa, guru diartikan seagai orang ang diutus untuk
memberikan pencerahan. Hal ini terlihat dari kata mu’alim, ustadz atau resi
yang berarti orang yang mampu melepaskan sebuah kondisi masyarakatnya dari
gelap menuju terang. Jadi, sesungguhnya kata guru memiliki potensi nilai
kesakralan dalam kehidupan kita.
Namun, sebuah pekerjaan atau profesi yang mulia tidak bisa didapat dengan
mudah. Perjalanan menuju keahlian khusus adalah kenikmatan tersendiri ketika
seorang telah yakin dengan keputusannya. Tidak terkecuali profesi seorang guru,
keihklasan dalam menjalani proses adalah kunci dalam mencari jati diri. Bahwa
tak ada proses yang sedemikian mulusnya untuk mencapai tujuan, tetapi penuh
dengan jalan yang berliku.
Profesi guru menjanjikan amalan-amalan yang banyak hingga semua orang
sepakat bahwa guru adalah pekerjaan yang sangat mulia. Setiap hari dan setiap
saat dalam hidupnya di sekolah dilalui dengan memberi ilmu. Perkembangan ilmu anak
itu sendiri tidak akan terputus pada satu orang saja. Satu orang bisa menyebar
pada orang lain. Sehingga menjadi guru berpotensi menabung berkuadrat-kuadrat
amalan.
Sehingga, tidak heran jika posisi guru sangat dicari, most wanted.
Begitu menariknya tantangan menjadi guru, bahkan pendaftar mahasiswa kedokteran
pun bisa dikalahkan. Meski tujuannya bermacam-macam, hal ini setidaknya
dipertimbangkan sebagai sebuah profesi yang tidak biasa. Harapannya adalah
kenyataan ini terjadi karena meresapi perkataan suci, bahwa sebaik-baik orang
adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
Namun, tidak semua orang menjadi
guru tidak datang dari dalam hatinya yang tulus. Banyak juga yang masuk karena
dipaksa, karena kondisi atau karena orang tua menghendaki. Memang sulit
menerima kenyataan kalau kondisinya adalah demikian. Namun, seiring dengan
waktu, setiap orang yang mempersiapkan diri menjadi seorang guru akan menyadari
pentingnya proses. Bahwa tujuan itu memang terkadang harus dipaksa agar bisa keluar.
Tinggal, bagaimanakah seseorang memandang kenyataan sebagai sebuah
keyakinan bahwa kita memang dibutuhkan. Bahwa anak-anak yang lucu di sekolah
elah menanti wajah ceria ketika seorang guru masuk ke dalam kelas. Dengan
membawa tas jinjing,anak dibawa ke alam mimpi. Anak dibawa ke alam cita-cita
tertinggi dalam mencari kebenaran.
Menjadi guru memang beresiko menabung amalan yang sangat banyak. Akan
tetapi, Salim A. Fillah dalam bukunya Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim,
menyatakan bahwa menyampaikan kebaikan itu nada dua kemungkinannya. Pertama
adalah menabung amalan. Sungguh bisa dibayangkan sungguh mulianya jika seorang
manusia bermanfaat bagi orang lain. Bisa membagikan ilmu yang dimiliki pada
orang lain.
Kemungkinan kedua adalah mengkuadratkan dosa-dosa. Seorang guru yang
memang berniat menebarkan keburukan, sudah dapat dipastikan bahwa dia akan
mengkuadratkan dosa. Bahwa apa yang disampaikan pada anak-anaknya di sekolah
akan diserap. Mungkin tidak akan terluapkan pada saat itu juga. Tetapi
mengendap hingga menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Namun, tidak usah akut menjadi seorang guru. Bukankah kesalahan yang
tidak disengaja dalam membaca Al Qur’an saja mendapatkan pahala satu ? Pada
intinya, seorang guru adalah seorang pembelajar sejati. Dia tidak akan menyerah
untuk menyaksikan senyum tulus anak-anaknya. Berusaha tetap tersenyum meskipun
batinnya sedang menangis. Karena dia tahu, bahwa anak-anaknya telah menunggu
kehadirannya. Sehingga anak-anak menyambutnya dengan kata-kata, “ Pak, hari
ini kita akan belajar apa ? “
Isdiyono, Mahasiswa PGSD Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Kelas s8b
Lomba Menulis KMIP
: My
Teacher, My Inspiration
No comments:
Post a Comment