Thursday 22 March 2012

Ketulusan Seorang Guru

 “Seperti hujan, dia menyirami setiap inci tanah yang dilewati awan
Seperti air, dalam diamnya dia membawa apapun yang ak diketahui…”

Dalam berbagai bahasa, guru diartikan seagai orang ang diutus untuk memberikan pencerahan. Hal ini terlihat dari kata mu’alim, ustadz atau resi yang berarti orang yang mampu melepaskan sebuah kondisi masyarakatnya dari gelap menuju terang. Jadi, sesungguhnya kata guru memiliki potensi nilai kesakralan dalam kehidupan kita.
Namun, sebuah pekerjaan atau profesi yang mulia tidak bisa didapat dengan mudah. Perjalanan menuju keahlian khusus adalah kenikmatan tersendiri ketika seorang telah yakin dengan keputusannya. Tidak terkecuali profesi seorang guru, keihklasan dalam menjalani proses adalah kunci dalam mencari jati diri. Bahwa tak ada proses yang sedemikian mulusnya untuk mencapai tujuan, tetapi penuh dengan jalan yang berliku.
Profesi guru menjanjikan amalan-amalan yang banyak hingga semua orang sepakat bahwa guru adalah pekerjaan yang sangat mulia. Setiap hari dan setiap saat dalam hidupnya di sekolah dilalui dengan memberi ilmu. Perkembangan ilmu anak itu sendiri tidak akan terputus pada satu orang saja. Satu orang bisa menyebar pada orang lain. Sehingga menjadi guru berpotensi menabung berkuadrat-kuadrat amalan.
Sehingga, tidak heran jika posisi guru sangat dicari, most wanted. Begitu menariknya tantangan menjadi guru, bahkan pendaftar mahasiswa kedokteran pun bisa dikalahkan. Meski tujuannya bermacam-macam, hal ini setidaknya dipertimbangkan sebagai sebuah profesi yang tidak biasa. Harapannya adalah kenyataan ini terjadi karena meresapi perkataan suci, bahwa sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
 Namun, tidak semua orang menjadi guru tidak datang dari dalam hatinya yang tulus. Banyak juga yang masuk karena dipaksa, karena kondisi atau karena orang tua menghendaki. Memang sulit menerima kenyataan kalau kondisinya adalah demikian. Namun, seiring dengan waktu, setiap orang yang mempersiapkan diri menjadi seorang guru akan menyadari pentingnya proses. Bahwa tujuan itu memang terkadang harus dipaksa agar bisa keluar.
Tinggal, bagaimanakah seseorang memandang kenyataan sebagai sebuah keyakinan bahwa kita memang dibutuhkan. Bahwa anak-anak yang lucu di sekolah elah menanti wajah ceria ketika seorang guru masuk ke dalam kelas. Dengan membawa tas jinjing,anak dibawa ke alam mimpi. Anak dibawa ke alam cita-cita tertinggi dalam mencari kebenaran.
Menjadi guru memang beresiko menabung amalan yang sangat banyak. Akan tetapi, Salim A. Fillah dalam bukunya Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, menyatakan bahwa menyampaikan kebaikan itu nada dua kemungkinannya. Pertama adalah menabung amalan. Sungguh bisa dibayangkan sungguh mulianya jika seorang manusia bermanfaat bagi orang lain. Bisa membagikan ilmu yang dimiliki pada orang lain.
Kemungkinan kedua adalah mengkuadratkan dosa-dosa. Seorang guru yang memang berniat menebarkan keburukan, sudah dapat dipastikan bahwa dia akan mengkuadratkan dosa. Bahwa apa yang disampaikan pada anak-anaknya di sekolah akan diserap. Mungkin tidak akan terluapkan pada saat itu juga. Tetapi mengendap hingga menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Namun, tidak usah akut menjadi seorang guru. Bukankah kesalahan yang tidak disengaja dalam membaca Al Qur’an saja mendapatkan pahala satu ? Pada intinya, seorang guru adalah seorang pembelajar sejati. Dia tidak akan menyerah untuk menyaksikan senyum tulus anak-anaknya. Berusaha tetap tersenyum meskipun batinnya sedang menangis. Karena dia tahu, bahwa anak-anaknya telah menunggu kehadirannya. Sehingga anak-anak menyambutnya dengan kata-kata, “ Pak, hari ini kita akan belajar apa ? “
Isdiyono, Mahasiswa PGSD Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Kelas s8b

Lomba Menulis KMIP : My Teacher, My Inspiration
2008



No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...