Monday 10 December 2012

Suporter Sejati, Bisa Mengendalikan Diri


             Pada tahun tujuh puluhan, sepakbola kita bisa berbangga diri mengingat tim nasional kita disegani di kawasan Asia. Bahkan, kualitasnya lebih baik daripada Jepang waktu itu. Kenangan itu berbanding terbalik dengan tim nasional saat ini. Tidak pernah menjadi juara dan yang terakhir dikalahkan Bahrain dengan skor 10-0. Sebuah hasil yang sangat menyesakkan dada.
            Tak ada asap jika tidak ada api, pepatah ini saya kira cocok untuk menggambarkan kualitas tim nasional kita. Lemahnya tim nasional kita, secara langsung dipengaruhi oleh dualisme kepemimpinan PSSI di bawah Arifin Djohar dan KPSI di bawah La Nayla Mattaliti. Sikap keras kepala yang ditunjukkan oleh kedua kubu, menunjukkan bahwa dunia persepakbolaan kita sedang terserang penyakit kronis bernama politik.
            Akibatnya, tim nasional yang membutuhan dukungan dari PSSI dan masyarakat Indonesia tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Secara de fakto, perseteruan di tingkat kepengurusan PSSI berpengaruh terhadap dukungan suporter terhadap dunia persepakbolaan kita. Bahkan di forum-forum sepakbola online, para suporter mulai saling mengejek. Bahkan, tidak jarang perseteruan ini terjadi di antara para suporter itu sendiri. Di antaranya berujung pada kejadian konyol yang sia-sia seperti jatuhnya korban yang luka-luka hingga meninggal dunia..
            Tidak perlu jauh-jauh, tewasnya satu suporter PSIM dikarenakan bentrok sesama pendukung beberapa waktu yang lalu tentu masih membekas dalam pikiran kita. Belum sempat dijadikan pembelajaran, tiga orang suporter The Jack pun menyusul ketika bentrok terjadi di sela pertandingan Persija Jakarta dengan Persib Bandung. Padahal, adanya supporter juga menunjukkan bahwa sebuah pertandingan memiliki nilai kemenarikan yang tinggi. Sungguh sangat ironis, ketika para pemain membutuhkan dukungan dari suporter mereka malah disuguhi oleh drama bentrokan-bentrokan yang sebenarnya tidak perlu.
            Untuk menyelamatkan persepakbolaan di Indonesia, suporter sebenarnya memiliki andil yang sangat besar dalam pelaksanaan kompetisi. Karena tanpa suporter, sebuah pertandingan tidak akan enak ditonton dan membosankan. Di samping itu, suara suporter seharusnya memiliki kekuatan dalam menekan pihak-pihak yang sedang bersengketa.Karena pendapatan terbesar klub dan kompetisi sepakbola sebagian besar berasal dari kontribusi suporter.
            Tentu saja, kita sebagai suporter harus belajar untuk menjadi suporter yang baik. Kita bisa melihat glamournya Liga Inggris yang setiap pekan bisa kita nikmati di televisi kita. Jarak antara penonton dengan lapangan begitu dekatnya hingga para pemain bisa berbaur dengan suporter ketika mereka mencetak gol. Selain itu, meski ada pertandingan derby (antar tim sekota) yang panaspenonton bisa mengendalikan dirinya untuk tidak meluapkannya dalam aksi-aksi yang tidak terpuji. Tidak tinggi hati jika menang dan tidak bersedih ketika kalah secara berlebihan.
            Seperti yang dikatakan oleh ketua APPI Indonesia saat ini, Ponaryo Astaman, bahwa sepakbola itu adalah sebuah hiburan. Tujuan hiburan sendiri adalah untuk mendapatkan tontongan yang menyenangkan. Bagaimana seorang suporter berteriak bebas ketika timnya menang. Bagaimana para pemain begitu dekat dengan suporter sehingga terjadi saling pengertian dalam mendukung tim yang sedang bertanding. Nampaknya kita semua merindukan suporter sejati, suporter yang berteriak bebas, menyuarakan keadilan, memberi dukungan yang meluap-luap dan menyajikan tontonan yang menarik. Bukan suporter yang menambah kisruh persepakbolaan kita.

Tulisan lama...

No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...