Thursday 8 November 2012

Kompetisi Esai Mahasiswa


Saat ini, semakin banyak kompetisi tulis-menulis yang diadakan di berbagai tempat dan institusi. Bahkan, mulai dari SD, Sekolah Menengah, Mahasiswa dan tingkat umum, memiliki kesempatan untuk berpartisipasi di dalamnya. Saya tidak ingin membahas sisi negatif dari pelaksanaan kompetisi ini. Karena setiap hari dan setiap waktu, kita telah dijejali dengan berita-berita negatif dari televisi maupun media cetak lainnya.
Artinya, aktivitas tulis-menulis pada saat ini telah mendapatkan tempat yang terhormat. Tidak sekedar aktivitas “kering” yang tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan, peserta yang kemudian berpartisipasi pun meningkat dari waktu ke waktu. Pada era saya berkuliah, setiap kali ada even tulis-menulis yang ikut bisa dihitung dengan jari. Semakin hari, para peminat semakin bertambah. Di beberapa kompetisi yang saya ikuti, rata-rata peserta yang ikut tidak kurang dari 100 naskah. Luar biasa!
Dengan semakin banyak peserta, tentu saja prestis keikutsertaan (apalagi jika lolos dan menang) semakin meningkat. Kalaupun masih ada orang yang mencibir, mereka orang yang tak tahu-menahu tentang kenikmatan menulis. Terutama saat tulisan kita dihargai. Kata Syahrini : “Sesuatu ya ... <3...”
Namun, sayangnya tidak semua panitia mampu membedakan antara tulisan berupa esai dengan tulisan berupa karya tulis. Keduanya sering dicampuradukkan menjadi satu. Yang menjadi korban, tentu saja para penikmat esai. Yang kadang tambah menyebalkan adalah ketika juri tidak mengetahui apa itu esai dan apa itu karya tulis.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya, yang namanya esai itu tidak berbeda jauh dengan artikel. Perbedaan hanya terletak pada jumlah halaman dan nilai berita yang disajikan. Kalau artikel sekali baca, kemudian besok sudah tidak menarik lagi karena dianggap sudah basi. Kalau esai, cukup lama waktu basinya.
Dengan bertebarannya kompetisi esai di berbagai media institusi, ada baiknya kita belajar mengidentifikasi esai-esai seperti apa yang harus kita buat. Tanpa strategi dan trik, tentu kita akan selalu kalah ketika berkompetisi. Karena biasanya, esai yang masuk di meja juri itu sangat banyak jumlahnya. Tidak mungkin juri memilih esai yang biasa-biasa saja dan sangat umum.
Nah, sebelumnya saya ingin sedikit cerita tentang esai di Unnes beberapa waktu yang lalu. Kebetulan, naskah saya masuk ke dalam 15 besar finalis. Keikutsertaan saya, sebenarnya cuku terpaksa karena sebenarnya sudah tidak terlalu berminat. Hanya karena dari UNY minim yang berkirim, maka saya selesaikan satu naskah saya. Dan, Alhamdulillah bisa lolos. Bayangan saya, tidak ada presentasi untuk menentukan esai terbaik, akan tetapi ada presentasi yang saya kira sangat aneh untuk jurusan yang sebenarnya mengenal esai lebih baik dari jurusan-jurusan yang lain.
Jika memang benar-benar paham, maka juri akan mempertanyakan karya-karya esai yang berupa karya tulis. Pasalnya, keduanya memiliki substansi dan nilai estetika yang berbeda. Kalau esai cenderung pada konsep, tetapi kalau karya tulis terlihat dari struktur, kekakuan bahasa dan keharusan solusi. Padahal, kalau esai setahu saya, adalah tulisan yang disusun untuk memberikan apresiasi, kritik, opini dan harapan-harapan. Terkait penilaian, biarkan saja pembaca yang menginterpretasikannya. Penulis tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan esainya itu tentang apa.
Faktanya, justru juri sangat asyik menikmati esai-esai yang berupa karya tulis tersebut. Ya, secara aplikasi, karya tulis lebih unggul jika dibandingkan, sejelak-jeleknya karya tersebut. Karena apa? Karena karya tulis lebih sistematis dan kurang mengedepankan estetika. Sedangkan esai, kita menulis dan mengaduk-aduk pikiran pembaca melalui art of writting. Bukan kemudian saya mengecam kepanitiaan. Tetapi, saya ingin menjadikan ini sebagai sebuah pelajaran berharga dalam memahami medan perang dunia esai.
Tidak perlu idealis
Pendapat ini cocok saya alamatkan pada kompetisi-kompetisi esai yang diadakan oleh lembaga mahasiswa. Alasannya? Booming edaran kewajiban mahasiswa menulis karya tulis ilmiah sebagai syarat kelulusan, bberbanding lurus dengan tuntutan birokrasi kampus dala meresponnya. Bak kebakaran jenggot, jurusan-jurusan, fakultas hingga universitas-universitas pun bergegas memperbaiki jenjang kaderisasi kepenulisannya. Dampaknya, alokasi dana untuk kegiatan kepenulisan ilmiah pun menggembung.
Dulu, sebelum ada edaran ini, banyak mahasiswa bingung mencari dana untuk memuaskan kemampuan menulisnya. Setelah disyahkan, mahasiswa seolah digiring dan dipaksa berpikir secara ilmiah. Hasilnya, seminar-seminar dan kepelatihan kepenulisan pun menjamur. Tidak tanggung-tanggung, kaderisasi kepenulisan sudah dimulai dari sejak pertama kalinya mahasiswa mengingjakkan kaki di almamater secara resmi.
Selain dampak positif sebagai bagian dari tergugahnya semangat mahasiswa untuk menulis, dampak negatif pun mengiringi. Pemikiran mahasiswa, pada akhirnya digiring untuk berpikir seperti karya tulis. Seolah, tidak ada bentuk lain tulisan yang bisa mereka tuliskan. Cerpen, esai, novel, resensi, diary hingga memoar pun ditinggalkan. Semua tertuju pada satu titik : karya tulis.
Alhasil, tulisan-tulisan mahasiswa itu terpusat pada tulisan sistematis yang tidak ada unsur seni sedikitpun. Semua kaku, seragam dan berakhir dengan kata-kata : “ini masih prototipe...ini masih kami kembangkan...di tempat kami seperti ini...atau kata-kata ‘mungkin’ yang saya sampe sedikit mual mendengarnya.” Lalu, di mana unsur ilmiahnya? Unsur kepastian, jika semua karya tersebut dihiasi dengan kata mungkin dan “dalam pengembangan.” Meskipun saya pernah juga menyatakan frasa kedua, tetapi cukup kali itu saja. Dalam tulisan-tulisan selanjutnya, saya paksa tulisan saya agar tidak membosankan seperti yang saya bilang tadi.
Berpikir trik, kita tidak boleh mengabaikan pendapat di atas. Untuk alasan-alasan yang lebih praktis, kita dituntut untuk menyesuaikan tulisan kita dengan kebutuhan pasar. Bukan menolak, tetapi seorang penulis yang bertekad kuat, tentu tidak akan terlalu mempermasalahkan hal ini. Yah, meskipun bisa jadi dalam hati dongkolnya minta ampun.
Saran saya, untuk esai-esai berujung presentasi yang aneh bin ajaib ini, tidak ada salahnya kawan-kawan menulis dengan gaya karya tulis. Jika perlu, bawa prototipe atau alat-alat pendukung lain jika teman-teman lolos. Karena kemenangan itu akan diraih, hanya dengan persiapan yang matang. Tanpa persiapan, nonsen jika teman-teman menargetkan juara. Cukup satu even ini yang saya ikuti, selanjutnya saya tak akan menyentuh esai yang seperti itu. Bukan saya mencegah teman-teman, tetapi menyemangati diri dan orang lain untuk kembali menikmati esai sesuai dengan “fitroh”nya. Bukan esai gaya cangkokkan karya tulis yang bebal dan menurut saya, merusak citra esai.
Jika dalam kompetisi esai umum, yang diadakan organisasi di luar kampus, seperti yang saya katakan bahwa kita harus menunjukkan art of essay. Bahwa esai, memiliki makna yang lebih mendalam. Saya sangat berharap, esai-esai generasi penerus tidak membosankan seperti gaya karya tulis. Saya masih ingin terus membaca getaran-getaran luapan emosi tulisan Goenawan Mohammad, kritik cerdik berpolitik ala Efendi Ghozali, nilai budaya dalam balutan politik kontemporer ala Bandung Mawardi atau tulisan-tulisan Cak Nun yang lucu dan menggelitik. Ikutilah kompetisi lebeeh hasil perkosaan mahasiswa terhadap citra esai berbasis karya tulis, tetapi jangan gadaikan seni esai dalam setiap nafas tulisanmu. Karena ia yang akan memanjangkan kata-katamu!
Isdiyono, 08 November 2012
Materi untuk kampus Wates, saat saya tak bisa datang...
Semangattttttt ...

No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...