Di tengah maraknya
polemik penegakkan hukum yang kacau balau, hampir seluruh media massa baik yang
cetak dan elektronik terpusat pada kasus korupsi dan kriminal. Di sela-sela
maraknya kedua berita tersebut, pendidikan yang kita harap membawa angin
perubahan malah menyuguhkan fenomena tawuran setiap hari di berbagai tempat di
Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam pelaksanaan
pemerintahan yang baik dan benar sesuai dengan amanah UUD 1945. Satu pertanyaan
yang muncul adalah : apa yang terjadi dengan komunikasi dalam kehidupan
bermasyarakat kita?
Kekacauan yang terjadi
pada saat ini, kalau kita amati merupakan representasi dari kondisi masyarakat
kita. Rentannya masyarakat terhadap provokasi dari oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab, merupakan salah satu indikasi bahwa proses komunikasi massa
tidak berjalan dengan efektif. Secara lebih spesifik, ada satu komunikasi massa
yang selama ini masih dipakai yaitu komunikasi oral.
Kentalnya budaya oral
dalam masyarakat kita, tercermin dari kisah-kisah fiksi yang dihasilkan.
Legenda, mitos dan fabel yang beredar di masyarakat, tidak jelas siapa
pengarangnya. Sehingga, selalu terjadi perubahan-perubahan di beberapa cerita
yang telah didaur ulang. Akibatnya, pembaca yang sebagian besar anak-anak
terkadang bingung dengan satu judul cerita yang memiliki akhir yang sedikit
berbeda.
Sama dengan fenomena
kelemahan bahasa oral dalam karya fiksi-fiksi kita, budaya oral dalam
komunikasi pun terkadang membuat komunikan menjadi bingung. Kesalahpahaman
seringkali terjadi, hanya karena masalah sepele
terkait dengan bahasa yang tidak dapat diterima secara sama oleh orang banyak.
Dengan uang dan kekuasaan, orang bisa dengan mudah menyuruh orang lain
melakukan kejahatan menggunakan fitnah.
Rentannya
penyalahgunaan komunikasi oral ini, sangat sulit ditekan mengingat bahwa
komunikasi oral tidak sekedar menggunakan lisan saja untuk mengucapkan.
Komunikasi oral selalu menggunakan perasaan dalam penuturannya. Kalau perasaan
yang digunakan adalah perasaan-perasaan positif, saya kita tidak masalah.
Ucapan negatif, meskipun kecil tetapi memiliki potensi yang sangat besar dalam
mengendalikan gerakan massa. Maka, perlu adanya penurunan komunikasi oral yang
dikombinasikan dengan komunikasi literasi dalam pengembangan kebahasaan dalam
pendidikan. Dalam hal ini, pembelajaran bahasa persatuan, memiliki peran
penting dalam mewujudkan harapan tersebut.
Bahasa
dalam Komunikasi
Bahasa merupakan salah
satu syarat komunikasi yang dibutuhkan oleh manusia dalam berinteraksi dengan
sesamanya. Bahasa yang dimiliki manusia mempunyai perbedaan dengan bahasa yang
digunakan hewan untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Inilah yang membedakan
manusia dengan hewan. Di belahan dunia manapun, seekor kambing tetap hanya
memiliki satu suara yaitu mengembik. Sedangkan manusia memiliki keragaman yang
lebih kompleks.
Sebagai gambaran, masing-masing
negara di dunia memiliki bahasa nasional dan bahasa persatuan sebagai alat
komunikasi sosial. Bahkan, di negara kita ini bahasa nasional yang ada pun
banyak macamnya. Catatan : bahasa daerah merupakan bahasa nasional, sedangkan
bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan. Setiap daerah tertentu, memiliki
bahasa dengan corak dan aksen yang khas. Fakta ini menandakan bahwa bangsa kita
sangat kaya akan nilai-nilai pemikiran dilihat dari keragaman bahasanya.
Persoalan bahasa ini
bukan persoalan yang sederhana, tetapi menyangkut kemajuan suatu bangsa.
Kekayaan bahasa ini tidak serta merta muncul begitu saja. Dibutuhkan waktu yang
lama untuk membentuk sebuah entitas sebuah bahasa yang khas. Columbus perlu
waktu bertahun-tahun untuk mengawali kiprah penjelajahan dan penjajahan
samudera. Dari para penjelajah samudera inilah kemudian bahasa Inggris
diperkenalkan, kemudian menyebar luas menjadi sebuah bahasa yang populer.
Diversifikasi suatu
bahasa ini bisa dalam sejarahnya, dilaksanakan dengan pemaksaan. Bisa kita
artikan bahwa harga untuk memperluas pengaruh dari bahasa ini membutuhkan harga
yang tidak sedikit. Berapa nyawa melayang untuk merebut daerah jajahan, berapa
banyak uang yang dikeluarkan untuk melakukan perjalanan? Sehingga, wajar jika
bahasa-bahasa yang dibawa oleh penjajah zaman dahulu sangat penting dan
digunakan secara internasional sebagai bahasa komunikasi universal.
Bahasa
Inggris sebagai Muatan Lokal?
Bahasa akan menunjukkan
jati diri bangsa, budaya dan pandangan hidup bangsa. Bahasa yang besar akan
menarik minat orang lain (di negara lain) untuk mempelajarinya. Bahasa ini akan
membuat orang berpikir bahwa pentingnya dalam mempelajari bahasa tersebut. Maka,
ada yang perlu kita pertanyakan ketika pendidikan kita menyaratkan bahasa
Inggris sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar.
Bahkan, di beberapa sekolah Bahasa Inggris dimasukkan dalam kategori muatan
lokal. Whats wrong with our education
policy Bro?
Sesuai dengan UU no 20
tahun 2003, pendidikan kita ditujukan untuk melaksanakan proses secara sadar
dalam mematangkan siswa. Dalam hal ini, terdapat cita-cita untuk membentuk
manusia Indonesia yang cerdas, bermoral, berahklak mulia, berketuhanan dan
memiliki bekal keterampilan hidup. Di sekolah, idealnya pembelajaran dilakukan
secara komprehensif. Hal ini akan melatih siswa untuk berpikir secara holistik
(menyeluruh) terhadap permasalahan.
Pembelajaran yang
holistik, merupakan konsepsi dasar dalam mempelajari permasalahan dalam
kehidupan sehari-hari mereka melalui pembelajaran yang dilakukan mereka sendiri.
Setiap pelajaran, sebisa mungkin disajikan secara realistis. Pembelajaran
dilaksanakan untuk membentuk generasi muda yang kritis dan solutif dalam
memecahkan permasalahan kontekstual. Tidak semata-mata berorientasi pada nilai
dan prestasi. Sehingga, kerangka berpikir yang demikian akan mendasari pola
pikir siswa bahwa hakikat antar-mata pelajaran itu tidak dikotomi yang seolah
tidak ada kaitannya satu sama lain.
Belum juga selesai
urusan mana mata pelajaran pokok, lokal dan penunjang, siswa dihadapkan pada
situasi yang pelik. Dengan alasan dan kecenderungan kemajuan teknologi dan
informasi, dari tahun ke tahun beban belajar mereka semakin berat. Siswa di
sekolah dasar yang sedianya masih akrab dengan dunia bermain, dipaksa untuk
berpikir lebih daripada umur yang sebenarnya. Tekanan nilai akhir, tekanan
standar sekolah dan tuntutan dari orang tua, secara tidak langsung telah
menjadikan anak-anak itu menjadi robot.
Sebagai bahasa asing
(B2), pembelajaran Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran yang memiliki nilai
telah menyalahi aturan pedagogis. Karena pada dasarnya, pengantar pembelajaran
di tingkat dasar adalah bahasa ibu (B1). Dampak negatif integrasi bahasa asing
sebagai salah satu nilai kelulusan terjadi di tingkat sekolah menengah. Entah
karena ketakutan atau memang sungguh-sungguh mempelajari Bahasa Inggris, banyak
siswa yang nilai Bahasa Indonesianya lebih rendah dibandingkan dengan nilai
Bahasa Ingrisnya.
Secara tersirat,
kondisi yang demikian telah menunjukkan adanya peralihan minat pelajar untuk
memperdalam Bahasa Indonesia. Jika sampai saat ini fenomena ini hanya menjadi
sekedar wacana, bukan tidak mungkin pada masanya nanti kita akan kehilangan
para penutur asli Bahasa Indonesia yang tidak bisa berbahasa Indonesia dengan
baik dan benar.
Kondisi demikian,
sebenarnya sudah terjadi pada bahasa ibu (B1) di masing-masing daerah. Dikedepankannya
bahasa persatuan sebagai bahasa dalam pembelajaran, telah mereduksi penggunaan
bahasa ibu. Bahkan, beberapa bahasa yang unik di tanah air saat ini sudah
terancam mengalami kepunahannya. Baik karena penuturnya berkurang, faktor
kemajuan ataupun minat para generasi penerusnya yang sudah tak tertarik lagi
menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa utama dalam komunikasi sehari-hari.
Keberadaan Bahasa
Inggris yang diamanatkan dalam standar isi kurikulum di sekolah dasar, secara
perlahan menggeser minat generasi penerus untuk mempertahankan bahasa ibu.
Masyarakat (baca: orang tua) terobsesi agar anak-anaknya mampu menggunakan
Bahasa Inggris secara matang. Semakin tinggi kemampuan anak dalam menguasai
Bahasa Inggris, semakin bangga pula orang tuanya. Sehingga, tidak mengherankan
kalau kemudian orang berbondong-bondong memasukkan anaknya ke dalam
lembaga-lembaga yang mempelajari bahasa Inggris.
Padahal, pendidikan Bahasa
Inggris di SD/MI dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa yang
digunakan untuk menyertai tindakan atau language
accompanying action. Bahasa Inggris digunakan untuk interaksi dan bersifat
“here and now” (Permendiknas nomor 22
tahun 2006:133). Dalam pengertian, Bahasa Inggris di sekolah dasar semestinya
tidak menjadi pelajaran yang wajib untuk dimasukkan ke dalam pembelajaran di
kelas.
Dalam
memahami permasalahan ini, kita perlu mencontoh negara-negara lain di Eropa.
Italia, Jerman, Belanda dan Perancis. Mereka merupakan negara-negara yang tetap
menggunakan bahasa mereka sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bangga
dan tidak mau menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Kalau mau
mempelajari bahasa Inggris maka orang-orang di negara tersebut harus
mempelajarinya secara mandiri. Bahwa kita bisa saja kehilangan bahasa nasional
yang saat ini beberapa di antaranya sedang mengalami kepunahan. Adanya
kebanggan tersebut, membuat siswa yang belajar di negara lain yang dalam satu
kawasan Eropa, tidak perlu tes TOEFL untuk masuk ke sekolah atau perguruan
tinggi yang ingin dimasukinya.
Sebagai bahasa asing,
seyogyanya Bahasa Inggris dimasukkan ke dalam pelajaran ekstrakurikuler saja.
Bukan hanya kegiatan tari, komputer, klub olahraga atau subjek keterampilan
sejenisnya saja yang dimasukkan ke dalam kolom ekstrakurikuler. Karena pada dasarnya,
pembelajaran bahasa asing di sekolah dasar memiliki fungsi perkenalan saja.
Kebijakan standar hasil belajar Bahasa Inggris yang dihargai dengan nilai, akan
menambah beban bagi siswa.
Apalagi, keberadaan
Ujian Nasional (UN) di sekolah dasar telah membuat sekolah-sekolah berlomba
mempersiapkan anak didiknya agar bisa lulus dengan nilai tinggi. Imbasnya, di
samping mengikuti jadwal pelajaran yang padat, siswa juga dituntut mengikuti
les tambahan yang jadwalnya sangat “aduhai” bagi anak seusia mereka. Belum
lagi, pekerjaan rumah (PR) yang sangat sering diberikan oleh guru.
Beruntung jika para
siswa memiliki orang tua yang peduli terhadap bakat anaknya. Mereka masih bisa
menyempatkan diri untuk mengikutkan anak-anaknya dalam berbagai pelatihan
pengembangan bakat dan minat. Pada kenyataannya, tidak semua orang tua mampu
berpikir demikian. Dalam taraf nasional, contoh riil dampak kondisi ini adalah
bahwat bangsa ini kesulitan mencetak atlet-atlet yang handal dalam berbagai
kejuaraan olahraga maupun seni. Untuk mencari 11 orang dari 240 juta jiwa yang
ada di Indonesia, sulitnya minta ampun.
Imbas
Bahasa Inggris sebagai Tambahan
Jika mata pelajaran
Bahasa Inggris dihapus dalam standar isi dan hanya dijadikan pelajaran ekstra
di sekolah dasar, ada dua tantangan yang harus dihadapi oleh sekolah. Pertama,
kementerian pendidikan harus menentukan nasib para guru mata pelajaran Bahasa
Inggris yang ada di sekolah dasar. Hal ini sangat penting mengingat bahwa guru
Bahasa Inggris di sekolah dasar tidak hanya mengajar satu kelas untuk memenuhi
jam mengajar.
Di sisi lain, tidak
mudah juga tentunya bagi sekolah-sekolah menengah untuk menerima secara
langsung guru-guru Bahasa Inggris dari sekolah dasar. Di samping metode
mengajarnya berbeda, kesulitan juga pasti akan dialami mengingat tuntutan
pelajaran Bahasa Inggris di tingkat lanjut sangatlah besar. Bisa-bisa, guru
menjadi bahan tertawaan dan cemoohan ketika tidak bisa langsung beradaptasi.
Jika dipindah pun,
keberadaan mereka juga menghalangi para guru fresh graduate untuk masuk ke dalam sekolah. Dengan adanya
pemindahan, maka peluang mereka untuk masuk sangat kecil, atau bahkan tidak
ada. Imbasnya, mereka harus mengajar di lebih dari satu sekolah untuk memenuhi
jam mengajar. Tentunya, hal ini sangat tidak efektif dalam membangun hubungan
sosial guru tersebut dan mengembangkan kedekatan dengan sekolah bersama seluruh
warga sekolah.
Dampak kedua adalah
resiko bahwa bahasa asing yang bisa diajarkan tidak hanya Bahasa Inggris saja.
Bahasa-bahasa lain seperti Mandarin, Jerman, Perancis, Jepang dan lainnya
disajikan sebagai pilihan. Dengan demikian, siswa memiliki banyak pandangan
tentang bangsa-bangsa yang menarik minatnya untuk pergi ke sana suatu hari
nanti. Sehingga, tidak ada lagi kesan pengkhususan bahasa Inggris dalam sistem
pendidikan kita.
Secara de fakto maupun de jure, bahasa Inggris telah dikenal di seluruh dunia sebagai
bahasa universal. Tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa masih banyak
bahasa-bahasa dunia yang bisa dipelajari. Bahasa Inggris tidak perlu dimasukkan
ke dalam pelajaran di sekolah dasar mengingat bahwa tahapan berpikir yang tepat
bagi mereka adalah belajar sambil bermain. Siswa tidak bisa dipaksa dan
dikorbankan demi ambisi dan gengsi orang tua. Biarlah di sekolah dasar ini,
mereka mengenal dunianya yang asli. Karena dalam kondisi tertentu, bahasa asing
tidak begitu diperlukan.
Pembelajaran wajib
bahasa Inggris di sekolah dasar, hanya akan membebani banyak siswa. Terutama
anak-anak dari keluarga dan lingkungan yang tidak pernah sekalipun menggunakan
bahasa Inggris. Mereka mempelajari bahasa yang mereka tidak menggunakannya.
Apalagi, pembelajaran Bahasa Inggris membutuhkan dua kali pembelajaran yang
sangat menguras waktu dan energi yaitu : learning
& translate. Di samping memahami satu persatu, mereka juga harus
menerjemahkan pesan ke dalam bahasa yang dipahaminya.
Pelajaran bahasa
Inggris sedianya diajarkan pada level sekolah menengah. Karena pada masa ini,
kebutuhan akan bahasa asing bukan lagi sebagai pengenalan. Tetapi, orientasi
pada aplikasi penggunaan bahasa asing sebagai komunikasi universal.
Pembelajaran Bahasa Inggris di usia sekolah menengah, sudah bisa dibelajarkan
sebagai kebutuhan mengingat tantangan ke depan yang semakin berat.
Dalam hal ini, Bahasa Inggris diperlukan dalam
mempersiapkan diri memasuki ke pendidikan yang lebih tinggi atau dunia kerja. Ketika
di sekolah dasar pembelajaran bahasa persatuan (baca: Bahasa Indonesia), maka
mereka tidak lupa dengan bahasa nasionalnya hanya disebabkan karena merasa
lebih penting mempelajari bahasa Inggris. Jika sudah tumbuh perasaan untuk
memahami bahasa persatuan, maka bahasa-bahasa nasional pun harus dilestarikan
dalam menunjukkan jati diri bangsa. Karena mempelajari bahasa sendiri adalah
wajib, sedangkan bahasa asing adalah pengembangan.
Isdiyono,
Mahasiswa PGSD FIP UNY
Referensi :
Kemdiknas.
2006. Standar Isi Materi Sekolah Dasar
dan menengah. Jakarta : Kemdiknas. (tentang Permendiknas nomor 22 tahun
2006: 133)
Depdiknas.
2003. UU Sisdiknas no 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional. Jakarta : Depdiknas.
*Lolos dalam final Ling Art Essay Competition 2012 di Unnes 2-3 November 2012
No comments:
Post a Comment