Friday 2 November 2012

Menyoal Bahasa Inggris di Sekolah Dasar*



Di tengah maraknya polemik penegakkan hukum yang kacau balau, hampir seluruh media massa baik yang cetak dan elektronik terpusat pada kasus korupsi dan kriminal. Di sela-sela maraknya kedua berita tersebut, pendidikan yang kita harap membawa angin perubahan malah menyuguhkan fenomena tawuran setiap hari di berbagai tempat di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam pelaksanaan pemerintahan yang baik dan benar sesuai dengan amanah UUD 1945. Satu pertanyaan yang muncul adalah : apa yang terjadi dengan komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat kita?
Kekacauan yang terjadi pada saat ini, kalau kita amati merupakan representasi dari kondisi masyarakat kita. Rentannya masyarakat terhadap provokasi dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, merupakan salah satu indikasi bahwa proses komunikasi massa tidak berjalan dengan efektif. Secara lebih spesifik, ada satu komunikasi massa yang selama ini masih dipakai yaitu komunikasi oral.
Kentalnya budaya oral dalam masyarakat kita, tercermin dari kisah-kisah fiksi yang dihasilkan. Legenda, mitos dan fabel yang beredar di masyarakat, tidak jelas siapa pengarangnya. Sehingga, selalu terjadi perubahan-perubahan di beberapa cerita yang telah didaur ulang. Akibatnya, pembaca yang sebagian besar anak-anak terkadang bingung dengan satu judul cerita yang memiliki akhir yang sedikit berbeda.
Sama dengan fenomena kelemahan bahasa oral dalam karya fiksi-fiksi kita, budaya oral dalam komunikasi pun terkadang membuat komunikan menjadi bingung. Kesalahpahaman seringkali terjadi, hanya karena masalah sepele terkait dengan bahasa yang tidak dapat diterima secara sama oleh orang banyak. Dengan uang dan kekuasaan, orang bisa dengan mudah menyuruh orang lain melakukan kejahatan menggunakan fitnah.
Rentannya penyalahgunaan komunikasi oral ini, sangat sulit ditekan mengingat bahwa komunikasi oral tidak sekedar menggunakan lisan saja untuk mengucapkan. Komunikasi oral selalu menggunakan perasaan dalam penuturannya. Kalau perasaan yang digunakan adalah perasaan-perasaan positif, saya kita tidak masalah. Ucapan negatif, meskipun kecil tetapi memiliki potensi yang sangat besar dalam mengendalikan gerakan massa. Maka, perlu adanya penurunan komunikasi oral yang dikombinasikan dengan komunikasi literasi dalam pengembangan kebahasaan dalam pendidikan. Dalam hal ini, pembelajaran bahasa persatuan, memiliki peran penting dalam mewujudkan harapan tersebut.

Bahasa dalam Komunikasi

Bahasa merupakan salah satu syarat komunikasi yang dibutuhkan oleh manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa yang dimiliki manusia mempunyai perbedaan dengan bahasa yang digunakan hewan untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Di belahan dunia manapun, seekor kambing tetap hanya memiliki satu suara yaitu mengembik. Sedangkan manusia memiliki keragaman yang lebih kompleks.
Sebagai gambaran, masing-masing negara di dunia memiliki bahasa nasional dan bahasa persatuan sebagai alat komunikasi sosial. Bahkan, di negara kita ini bahasa nasional yang ada pun banyak macamnya. Catatan : bahasa daerah merupakan bahasa nasional, sedangkan bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan. Setiap daerah tertentu, memiliki bahasa dengan corak dan aksen yang khas. Fakta ini menandakan bahwa bangsa kita sangat kaya akan nilai-nilai pemikiran dilihat dari keragaman bahasanya.
Persoalan bahasa ini bukan persoalan yang sederhana, tetapi menyangkut kemajuan suatu bangsa. Kekayaan bahasa ini tidak serta merta muncul begitu saja. Dibutuhkan waktu yang lama untuk membentuk sebuah entitas sebuah bahasa yang khas. Columbus perlu waktu bertahun-tahun untuk mengawali kiprah penjelajahan dan penjajahan samudera. Dari para penjelajah samudera inilah kemudian bahasa Inggris diperkenalkan, kemudian menyebar luas menjadi sebuah bahasa yang populer.
Diversifikasi suatu bahasa ini bisa dalam sejarahnya, dilaksanakan dengan pemaksaan. Bisa kita artikan bahwa harga untuk memperluas pengaruh dari bahasa ini membutuhkan harga yang tidak sedikit. Berapa nyawa melayang untuk merebut daerah jajahan, berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk melakukan perjalanan? Sehingga, wajar jika bahasa-bahasa yang dibawa oleh penjajah zaman dahulu sangat penting dan digunakan secara internasional sebagai bahasa komunikasi universal.

Bahasa Inggris sebagai Muatan Lokal?

Bahasa akan menunjukkan jati diri bangsa, budaya dan pandangan hidup bangsa. Bahasa yang besar akan menarik minat orang lain (di negara lain) untuk mempelajarinya. Bahasa ini akan membuat orang berpikir bahwa pentingnya dalam mempelajari bahasa tersebut. Maka, ada yang perlu kita pertanyakan ketika pendidikan kita menyaratkan bahasa Inggris sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar. Bahkan, di beberapa sekolah Bahasa Inggris dimasukkan dalam kategori muatan lokal. Whats wrong with our education policy Bro?
Sesuai dengan UU no 20 tahun 2003, pendidikan kita ditujukan untuk melaksanakan proses secara sadar dalam mematangkan siswa. Dalam hal ini, terdapat cita-cita untuk membentuk manusia Indonesia yang cerdas, bermoral, berahklak mulia, berketuhanan dan memiliki bekal keterampilan hidup. Di sekolah, idealnya pembelajaran dilakukan secara komprehensif. Hal ini akan melatih siswa untuk berpikir secara holistik (menyeluruh) terhadap permasalahan.
Pembelajaran yang holistik, merupakan konsepsi dasar dalam mempelajari permasalahan dalam kehidupan sehari-hari mereka melalui pembelajaran yang dilakukan mereka sendiri. Setiap pelajaran, sebisa mungkin disajikan secara realistis. Pembelajaran dilaksanakan untuk membentuk generasi muda yang kritis dan solutif dalam memecahkan permasalahan kontekstual. Tidak semata-mata berorientasi pada nilai dan prestasi. Sehingga, kerangka berpikir yang demikian akan mendasari pola pikir siswa bahwa hakikat antar-mata pelajaran itu tidak dikotomi yang seolah tidak ada kaitannya satu sama lain.
Belum juga selesai urusan mana mata pelajaran pokok, lokal dan penunjang, siswa dihadapkan pada situasi yang pelik. Dengan alasan dan kecenderungan kemajuan teknologi dan informasi, dari tahun ke tahun beban belajar mereka semakin berat. Siswa di sekolah dasar yang sedianya masih akrab dengan dunia bermain, dipaksa untuk berpikir lebih daripada umur yang sebenarnya. Tekanan nilai akhir, tekanan standar sekolah dan tuntutan dari orang tua, secara tidak langsung telah menjadikan anak-anak itu menjadi robot.
Sebagai bahasa asing (B2), pembelajaran Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran yang memiliki nilai telah menyalahi aturan pedagogis. Karena pada dasarnya, pengantar pembelajaran di tingkat dasar adalah bahasa ibu (B1). Dampak negatif integrasi bahasa asing sebagai salah satu nilai kelulusan terjadi di tingkat sekolah menengah. Entah karena ketakutan atau memang sungguh-sungguh mempelajari Bahasa Inggris, banyak siswa yang nilai Bahasa Indonesianya lebih rendah dibandingkan dengan nilai Bahasa Ingrisnya.
Secara tersirat, kondisi yang demikian telah menunjukkan adanya peralihan minat pelajar untuk memperdalam Bahasa Indonesia. Jika sampai saat ini fenomena ini hanya menjadi sekedar wacana, bukan tidak mungkin pada masanya nanti kita akan kehilangan para penutur asli Bahasa Indonesia yang tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Kondisi demikian, sebenarnya sudah terjadi pada bahasa ibu (B1) di masing-masing daerah. Dikedepankannya bahasa persatuan sebagai bahasa dalam pembelajaran, telah mereduksi penggunaan bahasa ibu. Bahkan, beberapa bahasa yang unik di tanah air saat ini sudah terancam mengalami kepunahannya. Baik karena penuturnya berkurang, faktor kemajuan ataupun minat para generasi penerusnya yang sudah tak tertarik lagi menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa utama dalam komunikasi sehari-hari.
Keberadaan Bahasa Inggris yang diamanatkan dalam standar isi kurikulum di sekolah dasar, secara perlahan menggeser minat generasi penerus untuk mempertahankan bahasa ibu. Masyarakat (baca: orang tua) terobsesi agar anak-anaknya mampu menggunakan Bahasa Inggris secara matang. Semakin tinggi kemampuan anak dalam menguasai Bahasa Inggris, semakin bangga pula orang tuanya. Sehingga, tidak mengherankan kalau kemudian orang berbondong-bondong memasukkan anaknya ke dalam lembaga-lembaga yang mempelajari bahasa Inggris.
Padahal, pendidikan Bahasa Inggris di SD/MI dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa yang digunakan untuk menyertai tindakan atau language accompanying action. Bahasa Inggris digunakan untuk interaksi dan bersifat “here and now” (Permendiknas nomor 22 tahun 2006:133). Dalam pengertian, Bahasa Inggris di sekolah dasar semestinya tidak menjadi pelajaran yang wajib untuk dimasukkan ke dalam pembelajaran di kelas.
  Dalam memahami permasalahan ini, kita perlu mencontoh negara-negara lain di Eropa. Italia, Jerman, Belanda dan Perancis. Mereka merupakan negara-negara yang tetap menggunakan bahasa mereka sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bangga dan tidak mau menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Kalau mau mempelajari bahasa Inggris maka orang-orang di negara tersebut harus mempelajarinya secara mandiri. Bahwa kita bisa saja kehilangan bahasa nasional yang saat ini beberapa di antaranya sedang mengalami kepunahan. Adanya kebanggan tersebut, membuat siswa yang belajar di negara lain yang dalam satu kawasan Eropa, tidak perlu tes TOEFL untuk masuk ke sekolah atau perguruan tinggi yang ingin dimasukinya.
Sebagai bahasa asing, seyogyanya Bahasa Inggris dimasukkan ke dalam pelajaran ekstrakurikuler saja. Bukan hanya kegiatan tari, komputer, klub olahraga atau subjek keterampilan sejenisnya saja yang dimasukkan ke dalam kolom ekstrakurikuler. Karena pada dasarnya, pembelajaran bahasa asing di sekolah dasar memiliki fungsi perkenalan saja. Kebijakan standar hasil belajar Bahasa Inggris yang dihargai dengan nilai, akan menambah beban bagi siswa. 
Apalagi, keberadaan Ujian Nasional (UN) di sekolah dasar telah membuat sekolah-sekolah berlomba mempersiapkan anak didiknya agar bisa lulus dengan nilai tinggi. Imbasnya, di samping mengikuti jadwal pelajaran yang padat, siswa juga dituntut mengikuti les tambahan yang jadwalnya sangat “aduhai” bagi anak seusia mereka. Belum lagi, pekerjaan rumah (PR) yang sangat sering diberikan oleh guru.
Beruntung jika para siswa memiliki orang tua yang peduli terhadap bakat anaknya. Mereka masih bisa menyempatkan diri untuk mengikutkan anak-anaknya dalam berbagai pelatihan pengembangan bakat dan minat. Pada kenyataannya, tidak semua orang tua mampu berpikir demikian. Dalam taraf nasional, contoh riil dampak kondisi ini adalah bahwat bangsa ini kesulitan mencetak atlet-atlet yang handal dalam berbagai kejuaraan olahraga maupun seni. Untuk mencari 11 orang dari 240 juta jiwa yang ada di Indonesia, sulitnya minta ampun.

Imbas Bahasa Inggris sebagai Tambahan

Jika mata pelajaran Bahasa Inggris dihapus dalam standar isi dan hanya dijadikan pelajaran ekstra di sekolah dasar, ada dua tantangan yang harus dihadapi oleh sekolah. Pertama, kementerian pendidikan harus menentukan nasib para guru mata pelajaran Bahasa Inggris yang ada di sekolah dasar. Hal ini sangat penting mengingat bahwa guru Bahasa Inggris di sekolah dasar tidak hanya mengajar satu kelas untuk memenuhi jam mengajar.
Di sisi lain, tidak mudah juga tentunya bagi sekolah-sekolah menengah untuk menerima secara langsung guru-guru Bahasa Inggris dari sekolah dasar. Di samping metode mengajarnya berbeda, kesulitan juga pasti akan dialami mengingat tuntutan pelajaran Bahasa Inggris di tingkat lanjut sangatlah besar. Bisa-bisa, guru menjadi bahan tertawaan dan cemoohan ketika tidak bisa langsung beradaptasi.
Jika dipindah pun, keberadaan mereka juga menghalangi para guru fresh graduate untuk masuk ke dalam sekolah. Dengan adanya pemindahan, maka peluang mereka untuk masuk sangat kecil, atau bahkan tidak ada. Imbasnya, mereka harus mengajar di lebih dari satu sekolah untuk memenuhi jam mengajar. Tentunya, hal ini sangat tidak efektif dalam membangun hubungan sosial guru tersebut dan mengembangkan kedekatan dengan sekolah bersama seluruh warga sekolah.
Dampak kedua adalah resiko bahwa bahasa asing yang bisa diajarkan tidak hanya Bahasa Inggris saja. Bahasa-bahasa lain seperti Mandarin, Jerman, Perancis, Jepang dan lainnya disajikan sebagai pilihan. Dengan demikian, siswa memiliki banyak pandangan tentang bangsa-bangsa yang menarik minatnya untuk pergi ke sana suatu hari nanti. Sehingga, tidak ada lagi kesan pengkhususan bahasa Inggris dalam sistem pendidikan kita.
Secara de fakto maupun de jure, bahasa Inggris telah dikenal di seluruh dunia sebagai bahasa universal. Tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa masih banyak bahasa-bahasa dunia yang bisa dipelajari. Bahasa Inggris tidak perlu dimasukkan ke dalam pelajaran di sekolah dasar mengingat bahwa tahapan berpikir yang tepat bagi mereka adalah belajar sambil bermain. Siswa tidak bisa dipaksa dan dikorbankan demi ambisi dan gengsi orang tua. Biarlah di sekolah dasar ini, mereka mengenal dunianya yang asli. Karena dalam kondisi tertentu, bahasa asing tidak begitu diperlukan.
Pembelajaran wajib bahasa Inggris di sekolah dasar, hanya akan membebani banyak siswa. Terutama anak-anak dari keluarga dan lingkungan yang tidak pernah sekalipun menggunakan bahasa Inggris. Mereka mempelajari bahasa yang mereka tidak menggunakannya. Apalagi, pembelajaran Bahasa Inggris membutuhkan dua kali pembelajaran yang sangat menguras waktu dan energi yaitu : learning & translate. Di samping memahami satu persatu, mereka juga harus menerjemahkan pesan ke dalam bahasa yang dipahaminya.
Pelajaran bahasa Inggris sedianya diajarkan pada level sekolah menengah. Karena pada masa ini, kebutuhan akan bahasa asing bukan lagi sebagai pengenalan. Tetapi, orientasi pada aplikasi penggunaan bahasa asing sebagai komunikasi universal. Pembelajaran Bahasa Inggris di usia sekolah menengah, sudah bisa dibelajarkan sebagai kebutuhan mengingat tantangan ke depan yang semakin berat.
 Dalam hal ini, Bahasa Inggris diperlukan dalam mempersiapkan diri memasuki ke pendidikan yang lebih tinggi atau dunia kerja. Ketika di sekolah dasar pembelajaran bahasa persatuan (baca: Bahasa Indonesia), maka mereka tidak lupa dengan bahasa nasionalnya hanya disebabkan karena merasa lebih penting mempelajari bahasa Inggris. Jika sudah tumbuh perasaan untuk memahami bahasa persatuan, maka bahasa-bahasa nasional pun harus dilestarikan dalam menunjukkan jati diri bangsa. Karena mempelajari bahasa sendiri adalah wajib, sedangkan bahasa asing adalah pengembangan.

Isdiyono, Mahasiswa PGSD FIP UNY

Referensi :
Kemdiknas. 2006. Standar Isi Materi Sekolah Dasar dan menengah. Jakarta : Kemdiknas. (tentang Permendiknas nomor 22 tahun 2006: 133)

Depdiknas. 2003. UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Jakarta : Depdiknas.

*Lolos dalam final Ling Art Essay Competition 2012 di Unnes 2-3 November 2012

No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...