Setiap calon
raja pada zaman kerajaan nusantara, wajib dikirim ke suatu daerah yang jauh
dari kerajaan. Mereka akan kembali pada saatnya menjadi dewasa, setelah
bersentuhan secara langsung dengan masyarakat. Bahkan, identitasnya dihilangkan untuk menyatu dengan rakyat
jelata, pedagang, pegawai dan pejabat-pejabat daerah. Bertemunya dia pada
berbagai macam karakter, menumbuhkan kepekaannya terhadap komunikasi sosial.
Sehingga, ketika pada saatnya ia kembali ke istana sudah siap dan dewasa untuk
memimpin rakyatnya dengan berbagai macam kepribadiannya. Beberapa tidak mau
kembali dan membangun daerah yang ditinggali yang dikemudian hari menjadi
kota-kota dengan karakter kuat baik dalam budaya maupun sejarah persebaran agama.
Hal yang menarik
adalah, tidak semua pangeran mendapatkan pendidikan eksklusif dengan guru-guru
terbaik, teman terbaik, fasilitas terbaik atau nama almamater terbaik. Atau
bisa kita sepakati bersama bahwa semua pangeran wajib untuk belajar di
lingkungan yang terbatas dengan masyarakat berbagai lapisan dan berbagai macam
problematikanya. Sehingga, tidak hanya pengetahuannya saja yang bertambah
tetapi juga selaras dengan kemampuan olah gerak, olah irama dan olah jiwa atau secara
singkat Ki Hajar Dewantoro menyebutnya sebagai sebagai keseimbangan wiraga,
wirama dan wirasa. Kalau dikomparasikan dengan kondisi saat ini, multiple
intelligence yang dipopulerkan oleh Howard Gardner, secara nyata telah
dipraktikkan dalam sejarah panjang dunia pendidikan kita melalui konsep
tersebut.
Selama
bertahun-tahun lamanya, dunia pendidikan kita utamanya di sekolah dasar
mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat. Penilaian akhir dengan angka yang
dipatenkan dengan peringkat, selama bertahun-tahun dianggap sebagai penyebab utama
kurang berkembangnya pendidikan kita dalam memfasilitasi peserta didik dengan
segala wujud dan kemampuannya. Seolah-olah kesuksesan para peserta didik hanya ditentukan
oleh seberapa besar nilai ujian. Padahal, pada kenyataannya tidak. Banyak
anak-anak pintar kemudian malah bekerja di unit-unit usaha atau perusahaan yang
dibangun oleh anak-anak yang pada awalnya di cap gagal.
Optimisme Kurikulum 2013
Rapor dengan
lebih banyak uraian daripada angka pada akhirnya bisa kita jumpai bersama
melalui kurikulum 13. Pengembangan pembelajaran dengan konsep high order
thinking skill atau pembelajaran dengan pemikiran mendalam termuat di dalamnya.
Peserta didik tidak hanya mampu memecahkan soal ujian, tetapi bisa memecahkan
permasalahan yang ada di dalam suatu persoalan. Sedikit demi sedikit,
pendidikan memfasilitasi generasi muda dan orang tua untuk tidak hanya melihat
nilai secara parsial, tetapi juga melihat proses yang dilaksanakan oleh anak.
Dalam
perkembangannya, secara perlahan dinamika pendidikan telah mulai berlanjut pada
konsep mencerdaskan kehidupan bangsa secara adil dan merata sesuai dengan UUD
1945 dan Pancasila sila ke-5. Pendidikan yang memfasilitasi proses belajar
siswa, diikuti dengan sistem zonasi dalam kelanjutan belajar di jenjang
selanjutnya. Meskipun, di tahun-tahun awal pelaksanaannya ini sistem zonasi
mendapatkan banyak kritikan terutama oleh para orangtua siswa yang kebingungan
dalam mempersiapkan anak-anaknya.
Keberadaan media
sosial turut mempercepat berbagai macam keluhan tersebar. Sisi positif dari
tersebarnya keluhan-keluhan tersebut adalah cepatnya orang tua menyesuaikan
sistem dalam menentukan keberlanjutan pendidikan anak-anaknya. Pasca era
reformasi ini, sudah bukan saatnya kewajiban tertuju pada kewajiban belajar 9
tahun. Sudah saatnya pendidikan kita mampu untuk menjawab
problematika-problematika yang kian kompleks. Penyelenggaraan pendidikan oleh
pemerintah harus mampu menjawab pemerataan kualitas pendidikan untuk semua
lapisan masyarakat.
Adanya zonasi
sekolah memberikan keuntungan bagi warga sekitar sekolah untuk tidak perlu
jauh-jauh bersekolah. Sehingga, waktu, tenaga dan energi tidak terbuang sia-sia
hanya untuk perjalanan menuju ke sekolah. Penerimaan langsung warga sekitar
dengan jarak yang ditentukan, memberikan kesempatan dampak pendidikan dalam
pengembangan masyarakat di dalamnya.
Perlahan, konsep
sekolah unggulan dan non-unggulan akan terhapus dengan sendirinya. Input
sekolah yang satu dengan yang lainnya sedikit demi sedikit akan setara.
Sehingga, tidak memaksa siswa untuk memacu diri meningkatkan prestasi, tetapi
juga memacu para pendidik untuk meningkatkan kompetensinya. Jadi, bagus
tidaknya sekolah tidak lagi tergantung pada input, tetapi pada sistem di
dalamnya yang memuat unsur kurikulum, pelaksana, tenaga kependidikan, hubungan
sekolah dengan masyarakat hingga pengelolaan sekolah melalui penjaminan mutu.
Pada akhirnya, kebingungan para orang tua akan menjadi bagian dari dinamika perubahan pendidikan kita yang lebih baik. Berkumpulnya peserta didik dengan berbagai karakter, keunggulan dan kekurangan akan menjadikan kawah candradimuka dalam pemerataan kualitas pendidikan. Karena pada dasarnya pendidikan tidak hanya memfasilitasi anak dengan kemampuan berpikir saja, tetapi juga harus dapat mengolah kelebihan energi fisik, keselarasan koordinasi gerak dan kemampuan jiwa untuk mengaktualisasikannya. Ketika pendidikan dapat memfasilitasi keberagaman dalam ruang-ruang kelas, pada saat itulah kita dapat berharap bahwa peradaban bangsa yang besar ini sedang dibangun ulang dengan tidak melupakan sejarah panjang pendidikan kita sejak era kejayaan kerajaan.
Termuat di Harian Jogja :
https://opini.harianjogja.com/read/2019/07/10/543/1004326/opini-membangun-zonasi-peradaban
Isdiyono,
S.Pd.
Guru
SD 1 Pandak
No comments:
Post a Comment