Sunday 10 November 2013

Seleksi CPNS dan Reformasi Birokrasi


Moratorium yang diputuskan oleh Mendagri sejak tahun 2010 telah dicabut per 2013 ini. Artinya, berbagai lembaga pemerintahan pun membuka peluang putra-putri bangsa terbaik untuk memperebutkan kursi yang tersedia. Penumpukan lulusan sarjana selama tiga tahun terakhir, tentu membuat persaingan memperebutkan kursi cpns sangat ketat. Di beberapa tempat, bahkan telah dilaksanakan sistem ujian berbasis elektronik yang diklaim dapat meningkatkan kredibilitas hasil ujian. Di tempat lain, masih mempertahankan seleksi tradisional secara manual yang ujiannya serentak dilaksanakan pada tanggal 3 november.
Sebagus-bagus sistem tetap saja memiliki kekurangan, termasuk dalam seleksi cpns ini. Proses seleksi yang cukup panjang dengan jarak ujian dan pengumuman kelulusan tentu menjadikan masyarakat was-was dengan isu-isu KKN. Di sisi lain, panitia akan kesulitan jika waktunya dipersingkat. Pada akhirnya, para peserta seleksi awam pun tak terlalu memikirkan permasalahan ini karena telah sibuk dengan persiapan ujian.
Sebagai bagian dari reformasi birokrasi, pembaruan sistem seleksi yang mulai dirintis ini perlu mendapatkan apresiasi. Pasalnya, seleksi tidak hanya masalah memilih 1 dari 2 calon pelamar. Bisa jadi, seleksi melayani sedikit kebutuhan formasi dengan jumlah pendaftar melebihi kuota. Sehingga, setiap peserta harus mampu mengalahkan sekitar 50-100 peserta lain untuk duduk nyaman di formasi yang telah disediakan.
Idealnya, keberhasilan reformasi birokrasi dan keakuratan sistem seleksi bisa dilihat setelah beberapa tahun setelahnya. Bagaimana seorang pns yang telah diseleksi itu tetap menunjukkan konsistensi, tanggung jawab dan semangatnya untuk terus belajar. Pasalnya, selama ini pns identik dengan para koruptor berseragam kuning yang tak tercium penegak hukum. Bolos hari kerja, keluyuran, tidak masuk hari awal kerja hingga kasus-kasus lain telah lekat dengan pekerjaan seorang pns. Bahkan, anak kecil pun tahu bahwa bekerja atau tidak bekerja pun mereka tetap mendapatkan gaji dari negara.
Tentu hal ini menjadi preseden buruk bagi masyarakat ketika budaya ‘malas’ ini terus saja menjangkiti para pns kita yang telah dibayar dan disumpah untuk melayani masyarakat. Reformasi tidak akan bisa dikatakan berhasil tatkala kinerja dalam hitungan angka bisa dikalkulasi sedangkan moral tetap tidak sesuai. Maka, persiapan dalam ‘melatih’, ‘membimbing’ dan ‘mengawasi’ pns sudah menjadi kewenangan pemerintah dalam mengatur rumah tangganya. Ibarat keluarga, pemerintah wajib untuk membesarkan dan memberikan bekal moral bagi pns sebagai anak emas.
Sudah saatnya seleksi cpns ini digunakan sebagai ajang persiapan dalam menyaring cpns-cpns berdedikasi tinggi, konsisten, memiliki kompetensi yang akurat dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap tugasnya. Kalau kata iklan, “pandangan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda.” Sanksi dan reward bagi para cpns harus ditegaskan sedini mungkin dalam meningkatkan kredibilitas cpns sebagai abdi negara. Karena mereka adalah cermin baik-buruk sebuah institusi.
Tanggung jawab terhadap profesi yang melekat di seluruh hidupnya, harus dipegang erat dan dilaksanakan. Karena sampai saat ini pun, masyarakat masih ‘menghormati’ profesi pns sebagai ‘kebanggaan’ masyarakat. Sehingga, tidak benar jika kemudian citra negatif pns justru menciderai institusi pemerintahan secara umum. Sudah bosan masyarakat melihat dan mendengar kelakuan pns yang tidak terhormat. Ini adalahmomentum citra positif  pns mengemuka dan menjadi pemandangan yang umum dalam masyarakat.
Sehingga, moratorium yang telah dicabut ini bisa memberikan dampak yang berarti dalam perbaikan kinerja cpns kita. Jangan sampai ada gayus-gayus baru yang merusak citra tatanan pemerintahan. Bahwa menjadi cpns pada hakikatnya adalah sebuah pengabdian. Jika niatnya mencari uang, saya kira menjadi pengusaha lebih menjanjikan. Sehingga, profesi cpns yang dianggap ‘basah’ ini tidak lagi kemudian ‘dibisniskan’. Reformasi birokrasi harus didukung oleh semua pihak dalam masyarakat. Sehingga, kita bisa bersama membangun pemerintahan yang bersih, sehat dan mengayomi. Semoga.
Termuat di Koran Merapi penghujung Oktober (31/10)

No comments:

Post a Comment

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...