Sudah lebih dari
enam dekade, sejak proklamasi dideklarasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Dari penjajah, kita belajar untuk bersatu dan mempertahankan harga diri dan
martabat. Dari pemberontakan, kita belajar tentang indahnya saling memahami.
Dan dari kegagalan reformasi, kita belajar tentang kejujuran.
Alasan kelemahan
bangsa kita saat ini dikarenakan oleh ketidakjelasan arah pendidikan dalam
mewujudkan Indonesia yang cerdas dan bermartabat. Sehingga, tidak mengherankan jika pelaksanaan
pendidikan kita masih banyak yang jauh dari harapan. Terutama, jika kita
memperbandingkan kenaikan anggaran pendidikan dengan kemajuan-kemajuan yang
telah dicapai.
Kalau tidak
percaya, lihatlah proses pembelajaran di kelas dan bisa kita tanyakan kepada
para guru. Bahwa, kenaikan biaya untuk menggaji guru belum tentu membuat
kinerja dan kesadarannya meningkat. Kebijakan pemenuhan 24 jam mengajar dalam
seminggu sebagai syarat sertifikasi misalnya. Telah membuat para guru lebih mementingkan
pemenuhan jam daripada kualitas pembelajarannya.
Pemecahan
permasalahan administratif akan lebih ditonjolkan daripada apa yang terjadi di
dalam kelas. Guru lebih memilih menyelesaikan administrasi, daripada
mengembangkan diri dengan berdiskusi atau membaca buku dan literasi dalam
menyediakan pembelajaran yang berkualitas. Menurut Maasaki Sato (03/04), “Guru di Indonesia dalam menyampaikan
penjelasan terlalu panjang lebar. Selain itu durasi pembelajaran yang 80 menit
membuat guru kurang cermat dalam
merancang pembelajaran.”
Hampir semua
guru yang pernah saya temui dan saya ajak ngobrol mengaku kesulitan untuk
membaca. Waktu yang dimiliki di rumah, tercurahkan semuanya untuk keluarga.
Padahal, di sekolah terkadang pun guru melakukan korupsi waktu. Kalau berangkat
terlambat, belum selesai waktunya disudahi dan tidak melakukan inovasi-inovasi
dalam menampilkan performa mengajarnya. Belum lagi, guru enggan untuk melakukan
penelitian untuk keperluan peningkatan potensi, prestasi dan sikap peserta didik.
Kondisi
demikian, tentu saja membuat kita merasa prihatin terhadap masa depan bangsa
Indonesia. Ketika sekolah mengalami kelesuan dalam pembaharuan, maka bisa
dipastikan output yang dihasilkan pun tidak jauh dari hasil-hasil yang sudah
ada sebelumnya. Bahkan, bisa jadi mengalami penurunan terutama penurunan dalam
sikap siswa dikarenakan tidak adanya keteladanan oleh para pendidik.
Contoh kecil
yang sebenarnya sangat akut dan membutuhkan perawatan segera adalah kebiasaan
menasehati siswa tetapi sang guru sendiri tidak melaksanakan apa yang
diucapkannya. Salah satunya adalah kebiasaan merokok, guru yang suka merokok
tentu nasehatnya tidak akan merasuk ke dalam pemahaman siswa. Apalagi jika
dilaksanakan di sekolah, tentu saja seperti peribahasa “menelan ludah sendiri”
atau bahasa gaulnya plin-plan.
Meskipun
kesalahan seperti banyak ditimpakan pada guru, bukan berarti kita menyalahkan
para guru yang telah berjuang dalam mencerdaskan anak bangsa. Buktinya,
meskipun sekolah kita belum ideal menurut teori-teori pendidikan akan tetapi
sudah mampu melahirkan tokoh-tokoh sekelas BJ Habibie yang menemukan teori
Crack dalam keselamatan pesawat terbang. Atau kita bisa menengok kiprah seorang
Soekarno yang suaranya mampu menggetarkan negara-negara adidaya.
Hanya saja, untuk
memajukan pendidikan kita membutuhkan peran guru sebagai pasukan terdepan dalam
mengawal kebangkitan pendidikan kita. Kesadaran untuk berinovasi baik ketika
dituntut maupun tidak dan keteladanan dalam berperilaku, memegang peranan yang
sangat penting. Karena kedua hal inilah yang sebenarnya membedakan pendidikan
kita dengan pendidikan di negara-negara asing.
Sehingga, pada
dasarnya kita tidak perlu mendirikan sekolah-sekolah berstandar internasional
untuk mengawali pendidikan yang berkualitas global. Tetapi bagaimana cara para
praktisi pendidikan mulai dari guru, masyarakat dan pemerintah mampu
mengglobalkan pendidikan lokal kita. Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi
partisipan dalam pendidikan global, tetapi menjadi pemain yang menentukan
nasibnya sendiri dan memiliki nilai tawar yang tidak dimiliki oleh
bangsa-bangsa lain di dunia.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
mas is.., thankyu.... tulisannya mengisnpirasiku u/ menulis headline kegagalan reformasi.... 21 mei lalu kan tepat lengsengnya pak harto dan media mempertanyakan kegagalan reformasi kepada para tokoh reformasi (salah satunya amin rais)... *bismillah
ReplyDeleteSip!
ReplyDeleteMari terus membenahi pendidikan kita!