Dewasa ini,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat. Bisa kita
buktikan dengan mengecek dalam seminggu, berapa macam merek dan spesifikasi handphone baru muncul. Tentu, akan
sangat banyak dengan fitur-fitur yang lebih sederhana dan canggih dan tangguh.
Harganya pun beragam, sesuai dengan tingkat eksklusivitas, kecanggihan
teknologi, dan kesederhanaan bentuk. Akhirnya,
dengan pengembangan yang berkelanjutan inilah masing-masing merek bisa bertahan
dan bersaing.
Begitupun di
dalam dunia pendidikan kita pada saat ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi semakin tidak terbendung. Keberadaannya tidak bisa ditolak dan
dipungkiri. Karena memang pada dasarnya pendidikan memiliki keterkaitan erat
dengan perkembangan peradaban. Bisa dikatakan pendidikan ada dan dibutuhkan
dalam rangka mempersiapkan generasi muda untuk menjawab tantangan persaingan
global.
Fakta ini
menuntut pendidik (baca: guru) untuk terus berinovasi dalam pembentukan mental
anak. Kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat dan aktivitas perekonomian
nasional yang semakin membaik, tentu dapat mendukung peningkatan kualitas
pendidikan. Meskipun dalam praktiknya tidak selalu mulus. Dengan semakin
meningkatnya perekonomian nasional, hal ini berimbas pada meningkatnya tuntutan
kesejahteraan aparatur negara, tidak terkecuali guru.
Pada akhirnya,
perkembangan ini telah mengantarkan profesi guru sebagai profesi yang tidak
sembarangan.Berdasarkan UU nomor 14 tahun 2005, yang dimaksud guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikanmenengah. Imbas dari pengakuan ‘profesional’ ini adalah adanya
peningkatan insentif yang diterima oleh guru yang tersertifikasi.
Permasalahannya adalah, apakah guru yang sudah tersertifikasi bisa
mempertahankan sebutan ‘profesional’ yang melekat pada dirinya?
Di beberapa
sekolah, sertifikasi berdampak negatif. Dengan adanya kenaikan insentif, para
guru selah berlomba untuk ‘pamer’ kesejahteraan dengan memborong mobil-mobil
baru. Maka tidak heran jika banyak halaman sekolah sekarang sudah beralih
fungsi dari ruang bermain, berdiskusi dan belajar anak berubah jadi tempat
parkir. Bahkan, terkadang kondisi ini berbanding terbalik dengan polah tingkah
dan gaya hidup yang ‘baru’ saja mereka temukan. Seolah, guru telah kehilangan
jati dirinya sebagai pendidik menjadi artis pesolek.
Kondisi ini
barbanding 180 derajat dengan nasib para guru honorer, baik yang freshgraduate maupun yang sudah lama
mengabdi tetapi tanpa ada kejelasan pengangkatan. Dengan insentif yang sangat
jauh di bawah standar, mereka biasanya dituntut bekerja lebih keras dengan
berbagai iming-iming ;pengangkatan’ yang belum tentu jelas. Terkadang pula mereka
tidak dianggap sebagai bagian dari tenaga kerja yang ada. Sungguh ironis, di
saat para guru yang mendapat julukan ‘profesional’ menumpuk harta guru honorer
mengais-ngais sisa sampah untuk menyambung hidup. Padahal, kalau kita cermati,
justru para guru honorer lah yang memiliki jam terbang tinggi.
Berdasarkan
gambaran tersebut, sangat tidak logis jika peningkatan anggaran pendidikan
hanya digunakan untuk memanjakan para guru yang sudah nyaman di tempatnya.
Justru adanya kenaikan anggaran pendidikan, seharusnya bisa untuk mengangkat
kesejahteraan para guru honorer. Kalau dalam sistem perekonomian, inilah yang
disebut perekonomian kapitalis. Di mana yang kuat dan bermodal kuat dan banyak
dana adalah pemenangnya. Tidak, pendidikan kita tidak boleh terasuki sistem
kapitalis. Karena dalam pendidikan, kita berurusan dengan manusia bersama rasa
kemanusiaan bukan benda yang bisa diperlakukan semaksimal tanpa ada penyegaran.
Sudah saatnya
para pengambil kebijakan ini berpikir ulang. Bahwa kenaikan anggaran pendidikan
seyogyanya bisa meningkatkan kesejahteraan guru honorer. Sehingga, bisa
mengikis kesenjangan antara guru sertifikasi dan guru honorer. Jika kesenjangan
tidak terlalu kentara, saya kira akan lahir sekolah-sekolah dengan guru
profesional dengan semangat kerja honorer, tetap kerja keras meski sudah dalam
zona aman. Bukankah kita tidak ingin sekolah-sekolah kita menjadi kapitalis?
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan,