Dalam sejarah perjalanan
perkembangan pendidikan kita, satu hal yang menjadi ketakutan siswa untuk masuk
sekolah adalah tentang keberadaan guru BK (dulu BP). Topik menarik yang tidak
pernah usang diperbincangkan anak-anak adalah ketika ada teman mereka yang
masuk ‘ruang BP’. Seolah, mereka yang masuk ke ruang tersebut adalah anak nakal
yang sudah tidak memiliki harapan lagi untuk sembuh. Sehingga, tidak
mengherankan jika kemudian para guru BK ini diberi julukan sebagai ‘polisi
sekolah’.
Meskipun telah lama
berganti nama (dari BP menjadi BK), kekhawatiran yang patut kita sadari adalah
hanya sekedar perubahan nama saja tanpa ada perubahan makna. Di beberapa
sekolah, mereka menerapkan sistem poin yang sangat berat untuk sebuah kesalahan
yang fatal misalkan membawa miras atau narkoba di sekolah, merokok hingga sex
bebas. Bukan rahasia jika beberapa contoh tersebut ada dalam lingkungan sekolah
tertentu.
Yang menjadi
permasalahan bukanlah ketika seorang siswa melanggar kemudian mendapatkan poin
negatif. Tetapi, bagaimana sekolah tetap menerapkan aturan tersebut tanpa
menurunkan mental si anak ‘terhukum’. Sebagai pembelajaran, sudah seharusnya
mereka memiliki kesempatan untuk merubah diri. Bukan dengan ancaman-ancaman
yang dianggap layak oleh sekolah untuk ‘membersihkan’ anak-anak tersebut.
Jadi, seorang guru BK
harus mengetahui duduk permasalahan dan latar belakangnya sebelum memberikan
vonis. Karena vonis yang dikeluarkan, akan menentukan arah ke mana si anak akan
melanjutkan ‘masa depannya’. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam UU Sisdiknas
no 20 tahun 2003 telah ditegaskan bahwa peran guru bukan hanya mengajar, tetapi
juga mendidik, mendampingi, memberikan keteladanan dan menemukan solusi terbaik
yang menguntungkan sekolah maupun si anak pada keputusan finalnya.
Karena bisa jadi, si
anak semakin jatuh ke dalam dunia ‘gelap’ yang lebih dalam ketika si anak
mengalami depresi. Belum lagi, bagaimana ia akan menghadapi cap sebagai anak
nakal di lingkungannya. Dan tentu saja, sekolah akan kehilangan peran dalam
‘ikut mencerdaskan kehidupan bangsa’ seperti yang menjadi pembuka dalam
undang-undang dasar kita. Semoga, para guru BK semakin ‘bijak’ dalam mengambil
keputusan. Karena guru BK bukanlah seorang polisi sekolah. Bukan begitu?
Isdiyono, Mahasiswa PGSD FIP UNY