Thursday 21 June 2012

Idealisme Pancasila yang Alay


Secara historis, kita semua tahu bahwa Pancasila menjadi landasan ideologi bangsa tidak melalui perjalanan yang ringan. Butuh energi yang cukup banyak untuk menyusunnya menjadi satu kesatuan yang utuh. Setiap bagian dari usulan rumusan, masing-masing harus mampu merepresentasikan keseluruhan nusantara sebagai satu kesatuan. Bukan terpisah-pisah dalam memperjuangkan hak dan kewajibannya.
Negara kita ini bukanlah negara homogen yang memiliki satu kesamaan budaya. Bahkan, bahasa yang digunakan dalam satu daerah dengan daerah yang lain pun memiliki ciri khasnya tersendiri. Misalnya saja, logat yang dipakai di Yogyakarta ada perbedaan yang mencolok dengan logat dari karesidenan Banyumas. Belum yang berada dipulau yang berbeda. Bahkan, ada lebih dari 500 bahasa dimiliki oleh bangsa kita ini. Sungguh, sebuah kekayaan yang tak ternilai harganya.
Saya tidak menuliskannya sebagai bahasa daerah, karena bahasa-bahasa tersebut merupakan kepunyaan bangsa Indonesia. Sedangkan kedudukan bahasa Indonesia dalam sumpah pemuda sudah jelas berkedudukan sebagai bahasa persatuan. Sehingga, kita perlu menjaga dan melestarikan bahasa yang ada di daerah kita supaya tidak punah. Hal ini tidak terlepas dari adanya urbanisasi, globalisasi kebudayaan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika pengguna bahasa tersebut hanya tinggal sedikit, maka menghilangnya bahasa tersebut dari bumi pertiwi tinggal menunggu waktu.
Jika kita bicara tentang persatuan maka tidak bisa dilepaskan dari kutipan sila ketiga yakni Persatuan Indonesia. Persatuan terwujud karena adanya pelaksanaan dan penghayatan  ketuhanan dan kemanusiaan. Ketuhanan mencakup kebutuhan dan kewajiban manusia kepada Tuhan-nya. Sedangkan kemanusiaan memberikan gambaran kepada kita semua bahwa setelah beriman kepada Tuhan, kita harus menjalankan bukti keimanan kita terhadap sesama manusia.
Secara nalar, sumsi dari idealisme ini sangat bertentangan dengan kekerasan, kecacatan hukum dan pengkhianatan terhadap bangsa ini. Maraknya aksi main hakim sendiri baik yang berlatarbelakang chauvinisme, premanisme, fanatisme tidak sesuai dengan fitrah dalam menyangga tiang persatuan bangsa. Hukum yang memihak kepada yang bayar dan lancip ke bawah dan tumpul ke atas, telah menodai cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab. Pertanyaan kita adalah satu, ke mana bentuk kesopanan bangsa kita yang selalu disebutkan turis ketika bicara tentang Indonesia? Apakah mereka dibayar untuk mengatakan bahwa kita adalah bangsa yang sopan?
Kondisi demikian diperparah dengan pengkhianatan para pemimpin bangsa melalui tindak pidana korupsi. Berbagai kasus yang melibatkan para elit  politik di negeri ini, telah memunculkan rasa frustrasi masyarakat. Kenaikan harga-harga pangan akibat kontrol subsidi BBM yang salah arah, membuat rakyat menjerit tanpa suara.
Ketika rakyat disuruh berhemat, para pejabat berlomba-lomba memperbanyak dan memperbarui kendaraan mereka dengan yang lebih mewah. Tidak jarang pula banyak dari mereka berdampingan dengan tetangga yang hanya sekedar mencari sesuap nasi saja susah. Seolah, mereka tidak melihat jika orang yang meminta-minta di perempatan itu adalah tetangga dekatnya sendiri. Jika konsep persatuan Indonesia saja tidak mampu diwujudkan, bagaimana permusyawaratan dan keadilan sosial yang demikian dapat dilaksanakan dan dirasakan?
Mengutip kata-kata komedian Raditya Dika bahwa struktur perkembangan manusia Indonesia yang melewati tahap “alay” sebelum dewasa pun berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Setelah melewati tahap kanak-kanak dalam balutan proklamasi 1945, negeri ini belum juga beranjak dewasa. Kondisi kehidupan kita masih sangat alay, di mana konsep baik-buruk tertukar. Sesuatu yang memiliki nilai baik dalam mewujudkan kesejahteraan sosial bisa saja kemudian dicurigai sebagai kedok dalam menancapkan popularitas. Kita lihat kasus ini muncul dari opini sebagian kecil masyarakat yang mengecilkan Jokowi dengan dukungan mobil Esemka-nya atau Dahlan Iskan dalam merevolusi stakholder organisasinya dengan darah muda.
Sedangkan tidak sedikit para pesakitan yang telah banyak mencuri banyak uang rakyat tidak mendapat proses hukum. Kalaupun diproses dan sempat ditahan, fasilitas yang didapat pun sekelas hotel bintang empat yang full AC. Aktivitas bisnis pun masih tetap berjalan, kendati yang bersangkutan sedan dalam masa tahanan. Barangkali, hal ini yang membuat para tersangka tidak pernah kapok dalam melakukan kejahatan yang sama. Peningkatan angka kriminalitas dari tahun ke tahun, membuat kita bertanya,”Apa bedanya Pancasila dengan system lain?”
Bukan berarti kita berhenti berharap bahwa suatu saat Pancasila yang menjadi landasan idiil bangsa ini lekas dewasa. Sudah terlalu lama, rakyat merasakan ketidakadilan di negeri ini. Ketika persatuan dan kesatuan yang dilandasi keimanan dan kemanusiaan bangsa ini sudah kokoh, maka tidak akan sulit bagi kita semua untuk mulai menyusun permusyawaratan yang dipimpin secara adil bagi kehidupan sosial seluruh masyarakat Indonesia.
Isdiyono, Pemerhati Pendidikan
Tinggal di Yogyakarta

Sumber gambar : http://feryntina.blogspot.com/2012/03/45-butir-butir-pengamalan-pancasila.html


Saturday 2 June 2012

Beda Pegawai Negeri. Swasta dan Pengangguran



Dalam masyarakat, status ekonomi menjadi satu hal yang amat mudah digunakan sebagai alat ukur kekuasaan. Orang dengan penghasilan terbesar, acap kali memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Termasuk, tidak perlu berbaur dengan masyarakat umum dan melakukan gotong-royong untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Perbandingannya terletak pada konsep tidak adanya sanksi bagi mereka yang berduit, sedangkan yang tidak berduit hanya bisa bermimpi untuk mendapatkan porsi yang sama.

Padahal, katanya masyarakat kita dibentuk dalam dasar demokrasi. Yang terjadi adalah fleksibilitas sistem yang dipakai. Jika apa yang dilakukannya benar, maka dengan lantang meneriakkan bahwa demokrasi sudah ditegakkan. Jika salah, maka adat-istiadat menjadi rujukan utama dalam menyikapi sebuah persoalan. Intinya, penguasa tidak pernah salah dan jika mereka salah, kembali lagi ke komentar awal. Entahlah, barangkali masyarakat kita ini masih berada pada tahapan perkembangan “alay”. Padahal, kita berada di ujung jaman. Seperti yang telah dipesankan pada Nabi untuk ummatnya termasuk kita. Bahwa kita akan selamat ketika kita berpegang pada dua tali (Al Qur’an dan As-Sunnah).

Nah, kali ini saya ingin membahas sebuah kesalahkaprahan yang harus diluruskan. Karena untuk saat ini belum memungkinkan mengutarakannya, setidaknya tulisanku ini bisa mewakilinya. Jadi, perbedaan pekerjaan di masyarakat itu sangat terlihat dalam pengejawantahan tanggung jawab di dalam masyarakat.

As you know, hari-hari kerja aktif pegawai negeri adalah Senin-Sabtu. Untuk yang lima hari kerja adalah Senin-Jumat. Bahkan, tidak berangkat bekerja pun mereka masih bisa mendapatkan gaji. Sedangkan seorang wiraswasta memiliki kalender yang semua tanggalnya berada di hari Senin. Tidak ada Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, atau malah Minggu. Tidak ada. Dispensasi yang didapat pun berbanding lurus dengan keringat yang dicucurkan dan waktu yang disuguhkan. Jika hanya tidur-tiduran di rumah saja, maka jangan berharap dapur akan mengeluarkan asap.

Nah, jika hari Sabtu dan Minggu adalah hari beristirahat bagi pegawai negeri, maka justru pada hari-hari itulah yang dinamakan hari “Senin”. Pada waktu-waktu tersebut, mereka bisa menjual dagangannya lebih banyak atau mendapatkan pelanggan yang lebih dari hari-hari biasanya. Sehingga, akan sangat tidak adil jika ada pertemuan kampung diadakan pada hari Sabtu-Minggu. 

Repotnya lagi, kepemimpinan di masyarakat biasanya dipegang oleh pegawai-pegawai negeri, pengurus pemerintahan, pengangguran (yang memiliki aset besar) dan selebihnya terkadang preman berdasi. Otomatis, tidak ada tempat untuk berinteraksi bagi masyarakat bawah. Ujung-ujungnya mereka akan mendapatkan sanksi jika tidak berangkat pada pertemuan-pertemuan tersebut. Meskipun, mereka telah meminta ijin. Tetap saja, para pemimpin yang tidak bertanggung jawab pasti menyalahkannya, bukan mencari solusi waktu yang tepat untuk keduanya berinteraksi.

Logikanya, orang-orang terdidik lebih mampu berpikir sehingga sudah sepantasnya mampu memikirkan solusi dan sikap-sikap ksatria dalam menanggapi situasi ini. Karena lebih banyak waktu santai yang dimiliki serta terbiasa berpikir sistematis dan logis. Namun, terkadang kseombongan dan ketamakan telah merasuk ke dalam hati. Sehingga, terkadang mereka tidak sempat berpikir bahwa bisa jadi apa yang sedang mereka jalani itu salah.

Golongan terakhir adalah para pengangguran. Meskipun pada dasarnya orangnya santai, tetapi justru sebenarnya mereka adalah korban sesungguhnya. Dengan statusnya sebagai “unemployee” person, maka mereka membutuhkan pekerjaan serabutan untuk tetap hidup. Nah, ketika ada proyek, mereka memang selalu mendapatkan pekerjaan yang memang mereka butuhkan. Itu yang terlihat oleh mata.

Akan tetapi, sebenarnya mereka adalah pihak yang paling dirugikan dan dijadikan kambing hitam. Karena tidak terlalu pusing memikirkan konsep-konsep, maka secara otomatis mereka akan merasa berguna ketika bisa mengerjakan suatu tindakan. Nah, jika ada sebuah proyek besar katakanlah dan terjadi tarik ulur dalam pelaksanaan mau dikerjakan swadaya atau lelang maka para penguasa akan menggunakan akalnya untuk menegosiasi bentuk pelaksanaan.

Misalnya saja jika swadaya maka masyarakat tidak mendapatkan upah atau kalau lelang juga tidak mendapatkan upah sekaligus tidak dilibatkan. Maka, keputusan fifty-fifty adalah ketika masyarakat menghendaki swadaya berbayar. Nah, urusan akan semakin menjadi bertambah pelik ketika para penguasa menginginkan “bagian” dari proyek. Ketika dilakukan lelang atau swadaya full, maka mereka tidak akan bisa bergeming. Akan tetapi, masyarakat terbungkam ketika menyadari bahwa para pengangguran tersebut dapat terberdayakan. Repotnya lagi, hukum adat (yang tidak jelas dan tidak tertulis) dijadikan sebagai alat ampuh dalam meruntuhkan segala bentuk perlawanan. Wallahu a’lam.
02 Juni 2012

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...