Friday 25 July 2014

“Emas Ireng”



Sudah seminggu ini, suasana desa mencekam. Kedatangan orang-orang berbaju merah tempo hari telah merusak kedamaian. Anak-anak tak lagi mau bermain sepulang sekolah, beberapa bahkan tak mau pergi ke sekolah karena masih trauma. Tiga rumah dibakar, lima rumah rusak berat, yang lain pecah kaca dan gentingnya. Para pemancing yang tiap sore sudah berjajar mulai pukul empat sore, kini tak lagi nampak satupun. Angin laut tak lagi bertiup sepoi seperti dituliskan dalam novel-novel cinta. Angin laut tiba-tiba berasa dingin dan keras.

Para petani tak lagi bersemangat menenteng cangkulnya ke tanah berpasir. Mereka kini telah membentuk kelompok-kelompok kecil yang mangatasnamakan diri sebagai “Komunitas Penolak Relokasi Pasir Besi”. Mulai di warung-warung koboi, di perempatan jalan dan di pos-pos ronda, bahasan yang dibicarakan selalu sama, “Tolak eksplorasi pasir besi dan bebaskan Suratmin!” 

Pantai sebagai bagian dari Sultan Ground, sudah dipinjamkan raja kepada masyarakat untuk dikelola. Mereka bebas mengolah tanah tersebut asalkan tidak diperjualbelikan. Hal ini sudah dilaksanakan sejak raja pertama naik titah dahulu. Mulai HB I hingga sekarang HB IX yang baru saja ditetapkan sebagai gubernur tetap oleh Mendagri.  Akan tetapi, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan secara perlahan mendesak nilai-nilai kearifan lokal yang di banyak tempat masih dijaga oleh masyarakat.

Masuknya investor dari Jepang yang telah melakukan kajian mendalam di pesisir pantai selatan ini, telah mendesak pemerintah yang mata duitan untuk mencoba menjajaki kerja sama. Warna pantai yang hitam dan mengkilat jika terkena sinar matahari, secara kasat mata pun bisa diprediksi bahwa pantai selatan memiliki potensi tambang besi kualitas super yang terbentang luas. Seperti di tempat-tempat lain seperti di Lombok oleh PT Newmont atau di Papua dengan Freeport, konflik kepentingan selalu terjadi.

Pihak yang selalu dirugikan, tidak lain adalah masyarakat di sekitarnya. Bedanya, kalau di dua tempat lain itu sudah terjadi di pantai selatan ini masih tarik-ulur kepentingan. “Coba kita lihat Pakdhe, di sekitar tambang Freeport yang kita lihat dari video yang dibawa Parmin kemarin masyarakat masih primitip. Mereka hanya bisa melihat alat-alat berat yang dijaga ketat dengan masih menggunakan cawat. Kadang-kadang, mereka silau dan heran mengapa tanah mereka yang digali itu bisa bersinar. Kita tidak ingin hal itu terjadi di sini Pakdhe! Titik!” Sruputtttt. Asap rokok Samsu menyembul dari mulut seorang lelaki dewasa yang kepalanya telah mendidih. Yang dipangil Pakdhe tak segera menjawab.

Memang benar, pengerukan pasir di sepanjang pantai akan menambah pendapatan daerah yang tidak sedikit. Pantai pasir hitam sepanjang 50 km dengan lebar bibir sekitar 10-20 meter dengan kedalaman satu meter saja sudah bisa menghasilkan berton-ton bijih besi. Konon katanya, kualitas bijih di pantai selatan adalah yang terbaik di seluruh Indonesia. 

Akan tetapi, dampak yang ditimbulkannya lebih besar dan berlanjut selama bertahun-tahun kemudian. Abrasi jelas selalu mengintai, mengingat bahwa pantai selatan terkenal dengan kedalaman palung lautnya. Banyak wisatawan yang tidak tahu dan tidak mengindahkan peringatan mandi di pantai pulang tinggal nama. Pertanian buah dan sayuran warga yang mulai dikembangkan di wilayah pantai, jelas menjadi argumen yang pokok dalam menolak eksplorasi pasir besi. 

Bukan hanya satu dua saja, tetapi ribuan orang di sepanjang garis pantai telah lama menggantungkan kebutuhan pokoknya dari bertani di lahan pasir. Di samping bekerja di proyek sebagai buruh bangunan. Bisa dibayangkan, jika satu pendapatan mereka lenyap, akan sangat berat dalam bertahan hidup secara layak bagi masyarakat mengingat bahan kebutuhan pokok tidak pernah turun, kalau naik itu pasti.

“Betul kata Jo Pakdhe, 64 tahun kita merdeka nyatanya kita belum juga merasakan arti kemerdekaan itu. Kita harus membebaskan Ratmin! Salah sendiri mereka memaksa alat berat masuk kampung. Mentang-mentang punya duit banyak, tapi kita punya harga diri, Pakdhe.”      Cahaya lampu remang-remang di warung koboi tak mampu menghangatkan orang-orang yang sedang berdiskusi. Seorang melempar rokok, langsung disambar yang belum menyulut tembakau di mulutnya. “Kita tunduk pada Sultan, bukan berarti kita juga menyetujui kebijakan yang tidak mendukung warga. Ini pasti ulah Wakidi dan kawan-kawan di gedung dewan. Kurang ajar dia, mentang-mentang sudah duduk di kursi dewan sekarang menindas kita.”

Memang benar kata Jo dan Badrun, meski kita hanya memiliki hak guna lahan saja tetapi dampaknya akan sangat luas jika kebijakan penggalian pasir besi dilanjutkan. Teman-teman pasti akan bertindak tegas kali ini, seperti yang telah dilakukan oleh Suratmin salah satu pejuang yang meski caranya kurang tepat tetapi bisa menghentikan aktivitas provokasi eksplorasi. 

Sehari sebelum orang-orang berbaju merah itu datang, warga dikejutkan dengan kondisi satu buldozer yang kaca depannya porak-poranda. Dari bentuk pecahan dan daya robek terhadap besi, bisa dipastikan dilakukan dengan menggunakan kapak. Kerapihan pecahan kaca menunjukkan bahwa yang melakukannya adalah orang yang terlatih menggunakan kapak. Di desa ini, hanya ada dua orang yang ahli menggunakan kapak yakni Bambang dan Suratmin keduanya adalah penebang kayu yang seringkali dimintai tolong oleh warga. Baik memotong keseluruhan, pemindahan pohon ataupun sekedar merapikan dedaunan saja.

Kejadiannya masih sangat pagi, bahkan bisa jadi ayam jago masih tidur terlelap di kandangnya masing-masing. Jangkrik sudah terlalu lemah untuk menggetarkan sayap untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Bisa jadi juga jangkrik-jangkrik itu sudah menemukan pasangan yang dicarinya. Suasana desa sungguh sepi. Hanya saja, kambing Pak Sajat yang berada di daerah dekat area eksplorasi pertambangan terus-menerus mengembik. Tidak biasanya, karena kambing Pak Sajat dikenal sebagai kambing yang jinak karena memang yang empunya merawat dengan sepenuh hati.

Sekelebat bayangan hitam mengendap-endap di antara rimbunnya pepohonan perdu di tepi persawahan. Bulan sedang tidak purnama, sehingga bisa dipastikan bahwa orang hanya bisa merasakan kehadiran orang lain melalui pendengarannya saja. Kehati-hatian melangkah tetap ditujukan oleh bayangan tersebut. Arahnya jelas dan tegas, melalui tepi jalan setapak yang berada di tengah-tengah pematang sawah. Satu-satunya tempat yang mungkin dari arah bayangan tersebut adalah menuju pantai, tempat di mana eksplorasi kandungan biji besi sudah dilakukan sekitar dua bulan yang lalu.

Karena masih tahap eksplorasi awal, maka tak terlalu banyak peralatan yang digunakan. Bahkan, tidak setiap hari mandor proyek datang dan menginap di lokasi eksplorasi. Satu bor untuk menggali tempat-tempat yang keras, satu pick-up kecil, beberapa alat pengeruk manual dan penampungnya serta satu buah buldozer berdiri megah di depan gubug pekerja yang belum terisi manusia. Para pekerja pun akan berpikir ulang untuk langsung datang ke lokasi. Dengan gaji yang rendah, tentu mereka tak ingin jadi sasaran amuk warga yang gerak dengan aktivitas eksplorasi yang ijinnya masih belum turun itu.

Sesampainya di lokasi, sesosok bayangan tersebut sedikit memutari areal penambangan. “Tello! Mereka ternyata telah mulai melakukan pengerukan. Ini tidak benar, harus dihancurkan.” Angin laut mulai berhembus kencang di pagi yang buta. “Klang!” Mata kapak yang telah diasah itu langsung menancap di pintu buldozer.  Beberapa kali kapak itu menancap di bagian yang berbeda. “Kurasa, sudah cukup ini untuk peringatan bagi Wakidi dan cecunguk-cecunguknya untuk mengusik ketenangan desa. Sombong sekali dia, kita memilihnya bukan untuk menggerus tanah ini, tapi untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Berikutnya, kepala Wakidi yang akan merasakan ganasnya kapakku ini!”

Matahari pagi bersinar cerah, muncul dari balik mimbar kelabu di sebelah timur. Perlahan, langsung menembus awan-awan kelabu itu dan menjadikannya terang. Rumah-rumah mulai kelihatan, pepohonan mulai terlihat hijau, ayam-ayam berkokok bersahutan, para pencari rumput mulai memakai caping mereka. Sebuah cangkul menggelayut di pundak kiri mereka, tanda mereka sekaligus membalikkan tanah. Hari ini para petani ubi mulai mempersiapkan lahan mereka. Di tanah berpasir ini, umbi-umbian, sayuran dan buah naga sangat cocok dikembangkan.

Bahkan, beberapa warga yang tergabung dalam kelompok Tani Naga sudah berhasil memasarkan produknya ke pasaran ekspor. Tanda bahwa berkah tanah Sultan Ground tak kalah dengan hasil buah-buahan dari negeri China yang mulai membanjiri pasaran meski ACFTA alias kerja sama perdagangan bebas bea cukai belum diterapkan. Jika konflik alih lahan belum juga selesai, bagaimana persiapan masyarakat Indonesia khususnya Kulonprogo ini dalam menghadapi persaingan bebas?

Sebenarnya, tidak perlu melakukan ekspor pun para petani kewalahan menerima permintaan pasar lokal. Jumlah penduduk yang mencapai angka 250 juta dan sebagian besar adalah manusia konsumtif, merupakan pasar besar yang harus ditaklukkan. Istilahnya, bermain di lapangan sendiri pun para pemain sudah mampu sejahtera. Buah naga, umbi biru dan bawang merah adalah primadona hasil bumi pantai selatan. Pengembangan budi daya gurami dan udang vaname yang sedang naik daun, menambah kesan penguatan bahwa Sultan Ground saat ini sudah menjadi jantung perekonomian masyarakat. Jika diambil, maka tamatlah sudah nasib ribuan petani pantai yang memanjang di sepanjang pantai selatan.

Anak-anak berseragam putih-merah berjalan beriringan melewati pematang sawah. Sesekali bercanda dengan teman-temannya. Berkejar-kejaran dan saling meledek dengan kicauan-kicauan khas anak SD. Tiba-tiba, Indun dan Nurrina anak kelas 3 berteriak-teriak dari arah berlawanan, “Buldozere rusak! Buldozere rusak! Buldozere rusakkkk!” Anak-anak itu berlari ketakutan menuju rumah. Mereka tak berani berangkat ke sekolah, mengingat beberapa hari sebelumnya sempat terjadi ketegangan kecil antara warga dan pihak pengembang.

Anak-anak yang lain pun segera berhambur ke tempat yang dimaksud. Para pencari rumput meletakkan karungnya, petani-petani yang sedang membalik tanah segera berhamburan ke suara yang dituju. Para kuli bangunan yang akan pergi ke kota pun segera menghentikan motor bututnya di lokasi. Tak berapa lama kemudian, kerumunan tak bisa dihindari, seperti kumpulan semut yang menemukan sepotong gula. Jika hal ini terjadi di Jakarta, sudah pasti akan terjadi kemacetan yang panjang dan mengular. “Wah, bisa gawat ini. Lek, ayo kita lapor ke Pakdhe!” Yang ditanya menjawab, “siap!”

Dua orang tersebut segera lenyap dari kerumunan orang-orang. Suasana bertambah panas, ketika sebuah mobil Avanza hitam datang. Seorang berambut cepak dan berbadan kekar segera membuka pintu dan keluar dari pintu kiri. Dua lainnya menyusul keluar. Buru-buru ia membuka pintu depan. Seorang berambut klimis, memakai stelan jas hitam keluar dari mobil. Sambil tergopoh-gopoh secepat mungkin diayunkan kaki keluar dari mobil. Sesekali ia terjatuh karena barangkali keseimbangan tubuhnya belum kuat karena terburu-buru.

Langkahnya cepat dan segera menembus kerumunan dengan didahuli oleh pria-pria berambut cepak tersebut. Segera lautan kerumunan manusia itu langsung terbelah, mobil Avanza hitam segera putar arah berlawanan dengan arah kedatangan. Seorang berperawakan kecil terlihat siluet dari dalam mobil. 

Segera, laki-laki berambut klimis itu menuju buldoser yang dirusak. “Hmm.” Beberapa kali ia hanya berdehem ringan saja, matanya tajam mengamat-amati bagian yang rusak. Beberapa kali berputar, sekaligus mengitari peralatan-peralatan lain yang masih tercecer di area eksplorasi. Kernyit di dahinya menandakan bahwa ia memendam semua kemarahan itu di dalam kepalanya. Dengan anggun, ia sembunyikan seluruh kemarahan itu. “Ini harus diurus segera. Johni, Dhani, Boy, segera abadikan momentum ini.” Pria berambut klimis itu segera bergegas kembali ke mobil. “Siap bos!” Tangannya masih mengepal. Tapi, secuil senyum merekah di bibirnya yang lebar.

Suasana hening, khidmat sejenak. Orang-orang berhenti bicara sejenak, tak ada yang berani mengeluarkan suaranya. Mereka mematungkan diri di tempatnya berdiri. Tolet! Tolet! Hanya penjual siomay yang berani membunyikan terompet, dia tak peduli, sama sekali tak peduli pada keheningan itu. Ia memanfaatkan momentum keramaian ini untuk berjualan. Avanza hitam segera melaju meninggalkan areal. Debu-debu beterbangan, seolah menyampaikan pesan, “kalian harus pergi!” Suasana menjadi mencekam.

Siangnya, satu mobil patroli polsek setempat datang dengan 4 personel. Satu orang langsung membubuhkan garis kuning bertuliskan “garis polisi, dilarang melintas.” Dua yang lain berdiskusi sambil melihat kondisi alat berat yang rusak tersebut sambil mencatat hasil diskusinya. Satu orang mengambil gambar dari beberapa sudut. Warga yang masih tersisa di tempat itu pun bertanya-tanya,menduga-duga siapa yang melakukannya. Rasa cemas dan ketakutan tergambar jelas di kerutan dahinya. “Baik, data sudah cukup untuk sementara, sekarang kita cari keterangan saksi mata.” Sambil mencurat-coret data di tangan. “Siap komandan!”

Aktivitas pertanian hampir lumpuh total. Hanya para pencari rumput yang pergi ke sawah dengan perasaan was-was. Tidak seperti biasanya, mereka mencari rumput seperlunya saja. Begitu penuh karung yang dibawanya, mereka langsung bergegas pulang. Sore harinya berita sudah tersebar di media online.

Seperti biasa, pagi di pesisir selatan tak lagi sejuk melainkan dingin dan keras. Orang enggan keluar pagi-pagi, sehingga hanya ayam makhluk yang masih perkasa berkokok. Kokok berhenti tatkala ayam-ayam betina sudah terlihat keluar dari kandangnya. Matanya yang tajam langsung membuat ayam jantan turun dari tempatnya menyombongkan leher panjangnya. Belum sempat meregangkan sayapnya, ayam-ayam betina itu sudah kaget ketika pejantan datang langsung memburu. Terjadi kejar-kejaran sebelum si betina tertangkap dan memberi isyarat menyerah. Si pejantan pun mengubah suaranya, seperti berdehem panjang, pura-pura mengais tanah sebelum kemudian dengan kelengahan si betina langsung dikawini.

Dasar ayam, meskipun si betina baru mengasuh anak-anaknya tetap saja ia datang mendekat. Menunggu si betina dan si anak-anak lengah sambil terus mengikuti kemanapun betina yang diincarnya. Jika ada ayam jantan lain yang mendekat, maka ditinggikannya leher si pejantan sambil mengepakkan bulu-bulu di leher. Si penyusup tak kalah garang, ganti mengembangkan bulu-bulu di lehernya. Pertarungan sengit pun tak bisa dihindari lagi. Saling serang dengan paruh dan cakar menghiasi pertarungan sampai mati. Jika salah satu belum kalah atau mati, maka pertarungan terus berlangsung. Yang kalah kemudian menyingkir, mengasingkan diri, sadar kalau dirinya sudah tak berharga lagi. 

Pertarungan kemudian menjadi berat sebelah, si penantang tak lagi bisa membuka matanya. Darah mengalir sampai ke leher, membasahi bulu-bulu indah yang tiap pagi selalu diagungkan di tembok-tembok bambu halaman rumah. Yang dipanggil Pakdhe kemudian datang dan memisah salah satu ayam jantan tersebut. Kemudian mengandangkan di kandang bambu cukup luas di belakang rumah. Rupa-rupanya ayam penantang tadi adalah miliknya. Perlu beberapa hari sampai beberapa minggu untuk memulihkan luka-luka tersebut. “Ayam nakal, sebagai hukuman kamu dikurung sampai sembuh...”

“Pakdhe..Pakdhe...Ratmin Pakdhe... Ratmin dibawa polisi pagi-pagi buta tadi. Berdasarkan penyelidikan mendalam, Ratmin lah yang merusak satu buldoser itu.” Seorang pria berumur kira-kira 30 tahun datang dan berteriak-teriak, nafasnya tidak teratur. “Alon-alon, cerito sek bener.” Kemudian, pria itu tadi mengatur nafas, menenangkan diri dan bersiap melakukan pembicaraan. “Ternyata yang merusak buldoser kemarin adalah Ratmin. Polisi menduga yang melakukan sudah terlatih, nah, yang ahli memegang kapak kan hanya Si Bambang dan Si Ratmin. Nah, Bambang jelas baru pulang ke rumah mertuanya di Kebumen. Jelas, Ratmin pun sepagi tadi dijemput mobil polisi tanpa perlawanan. Kulihat wajahnya tertunduk lesu, tetapi masih sempat berteriak Jogja Ora Didol!” Sejenak hening. “Bocah edyan! Yowes, kumpulno warga lan kelompok-kelompok tani!” Si pria kembali berlari, “Siap Pakdhe!”

Kampung pun geger, tetapi masyarakat masih bisa mengendalikan emosi. Masing-masing kelompok organisasi masyarakat mengumpulkan anggotanya. Mereka berkumpul di balai-balai dusun, semua, bahkan para kuli pun tak berangkat kerja. “Maaf bos, hari ini saya tidak bisa datang ke proyek. Baru ada masalah di kampung,” telepon kemudian ditutup. Banyak warga yang tak mendapatkan tempat, duduk di kebun dan jalanan. Ibu-ibu PKK pun tanggap dan segera menuju ke dapur Pakdhe untuk membuat minuman dan makanan ringan seadanya. “Semua saya harap tenang, kita menolak eksplorasi pasir besi tetapi kita harus tetap menggunakan akal dan pikiran. Jangan sampai jatuh korban jiwa!”

“Ini sudah keterlaluan Pakdhe, kita dukung Ratmin karena pemerintah lamban tanggap dan bebal terhadap desakan masyarakat!” Percakapan semakin serius dan menjurus pada emosi. “Betul kata Bejo, kita harus bertindak. Dari jaman simbah sampai sekarang, tanah ini digarap oleh warga. Kedaulatan harga mati!” Dalam situasi demikian, pikiran memang harus tenang. Semua kejadian harus disikapi dengan hati-hati. Jangan sampai termakan provokasi yang ujung-ujungnya akan kembali merugikan masyarakat. Tidak. Sudah cukup rakyat menderita. Apalagi, uang-uang pajak kendaraan, minyak, gas bumi bahkan urusan bawang pun dikorupsi. Sudah cukup warga menderita melihat para wakil rakyatnya mengkhianati warganya sendiri. Sekarang saatnya rakyat berbicara.

Peraturan-peraturan yang dirubah seenak perut mereka tanpa sosialisasi kepada rakyat adalah bukti penekanan legislasi terhadap rakyat kecil. Kita hanya ingin mandiri, berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri seperti yang pernah menjadi salah satu tema pidato Ir Soekarno. Hasil bumi Sultan Ground tentu akan lebih bermanfaat dan langsung dirasakan oleh warga daripada pengelolaannya diambil alih oleh investor. Tak ada jaminan kesejahteraan masyarakat akan meningkat dengan keberadaan para investor tersebut. Ancaman pengangguran dan kemiskinan justru menghadang ketika para petani tak lagi bisa bercocok tanam.

Matahari semakin meninggi, warga yang berada di halaman pun terkena teriknya. Beberapa bergeser dan berkerumun di bawah pepohonan yang tak terlalu rindang karena daunnya berguguran. Kemarau tahun ini sungguh panjang, beberapa daerah bahkan tidak mendapatkan air untuk tanaman mereka. Beberapa yang memiliki sawah lebih luas menggunakan sumur bor untuk mengairi lahannya. Meski hasil tak maksimal, tetapi bertani harus tetap berlanjut. 

Tiba-tiba tanah bergetar, bunyi kendaraan-kendaraan besar yang menderu kian mendekat ke lokasi warga. Warga kaget, kemudian membaca situasi. Orang-orang berbaju merah melambai di kendaraan jip membawa bendera sambil berteriak-teriak tidak jelas. Sepertinya sumpah serapah dan ancaman. Debu beterbangan, kertas-kertas pamflet bertebaran. “Jangan berani sentuh lagi proyek pasir besi, atau mati!” Anak-anak tak berani bermain dan ikut berkerumun di tengah-tengah warga. Sebagian besar menangis, termasuk para balita yang masih disusui oleh ibunya masing-masing. Para lelaki pun kemudian berdiri dan bergegas mendekati suara menderu. Sayup-sayup bunyi kendaraan pun lenyap dari pandangan. “Asuuu! Pakdhe, omahe do rubuhhhh... Kurang ajar!” Warga yang berdatangan langsung lemas melihat rumah mereka yang sudah tidak karuan.

“Kita tidak bisa membiarkan kesemena-menaan ini terus berlanjut. Sudah saatnya kita bergerak membela Ratmin di pengadilan nanti. Kami tidak rela Ratmin dihukum kurungan.” Warijo, pemilik warung sibuk melayani pesanan minuman yang membanjir, sebagian besar kopi hangat. Dia tak berani ikut-ikutan bicara, karena memang dia tak ingin terlalu terlibat dalam sengketa ini. Bayangan masa lalu orang tuanya yang pernah diciduk aparat karena dituduh anggota PKI telah membuatnya cari posisi yang aman. “Tambah secangkir Lek War!”

Suasana di warung koboi cukup ramai. Lek Warijo kewalahan melayani pembeli, beberapa berteriak-teriak minta didahulukan. Rokok pun sudah habis, Wanti yang seharusnya sekolah pun meliburkan diri untuk membantu ayahnya melayani pembeli. “Wanti, tolong belikan rokok di Toko Pelangi. Ini uangnya, Satu pak Jarum, satu pak Samsu dan empat bungkus filter putih.” (Sambil berlari)”Baik pak, wanti belikan.”

Seluruh warga laki-laki pun segera bersiap, memakai ikat kepala putih dan membawa bendera. Beberapa yang lain membawa mic wireless sambil bernyanyi yel-yel dadakan yang tidak jelas. Lirik tak penting, yang penting suaranya lantang. Tiga buah truk berjajar rapi di jalanan desa, dihiasi dengan atribut kata-kata menolak eksplorasi pasir besi pantai selatan Kulonprogo. Si sopir masih terlihat ngantuk, tidak ikut berpesta kopi di warung Lek Warijo.

Perlahan, truk mulai dipanasi ketika orang-orang mulai naik truk. Asap hitam pekat menyembul dari bawah truk. Di atasnya, kepala-kepala mendidih siap memanaskan suasana sidang di pengadilan. Angin laut menampar-nampar pepohonan yang kering tinggal rangka. Seolah memberikan tambahan energi untuk orang-orang yang akan pergi. Brummm...Brummm... Truk perlahan meninggalkan desa. Para wanita melihat dari samping rumah, menatap sendu sambil mulutnya terus komat-kamit berdo’a.

“ ... dengan ini majelis hakim memutuskan bahwa Saudara Ratmin telah terbukti melakukan perusakan fasilitas umum dan dinyatakan bersalah dan mendapatkan hukuman 2 tahun penjara atau denda 15 juta rupiah.”

Penjagaan di luar sangat ketat, dua puluh orang polisi berpelindung lengkap berjajar di pintu masuk. Bahkan, dua sniper dipersiapkan di atap gedung kejaksaan. Di luar, massa mulai gerah karena cuaca yang panas terik. Tidak ada penjual siomay ataupun penjual es keliling. Sepertinya, mereka tahu kondisi ini sehingga pilih menjaga jarak aman berjualan. Para juru parkir tak sempat membaca koran seribuannya. Arus lalu lintas di depan kejaksaan sedikit terhambat.

“Merdeka! Itulah akibatnya menentang kebijakan,” teriak pria berambut klimis dan memakai kacamata hitam yang duduk di kursi pojok paling belakang di sebelah kiri dekat pintu masuk. Wakidi, ia disebut-sebut oleh warga. Seorang politikus yang pernah sakit hati karena target suara tidak tercapai di areal pertambangan. Masyarakat memang sudah tahu tabiat pria klimis itu. Dari kecil sudah suka adu jago, besar menjambret di Pasar Bendungan dan terakhir warga dikagetkan. Bahwa pentholan Dusun Blonyo itu sekarang menjadi politikus yang disegani lawan-lawannya. Herannya, kenapa pria seperti dia bisa duduk nyaman di anggota dewan komisi VII.

Suasana panas yang tertahan keheningan pun tiba-tiba meledak. “Bunuh Wakidi!” Suasana menjadi tidak terkendali, Suratmin diamankan ke jeruji besi. Hakim-hakim menuju ruangan belakang untuk mendapatkan perlindungan. Tiba-tiba saja api menyala di sudut ruangan tempat saksi, si pengkhianat Jamil berdiri. Tubuhnya langsung tersambar api dan meronta-ronta kesakitan. “Tolongg... tolongg...”

Polisi merangsek masuk, massa beringas memukul apa yang ada di sekitarnya. Gas pemadam kebakaran disemprotkan. Massa semakin tak terkendali. Di luar, warga berhamburan berlari sejadinya menjauh dari lokasi sidang. Darah mengalir keluar dari ruangan sidang. Gas air mata disemprotkan tidak karuan. Pria klimis bersama tiga orang berbadan tegap merangsek keluar ruangan. Buk! Satu pukulan mengenai Wakidi, kemudian terjatuh tak sadarkan diri. “Jogja Ora Didoooo!!!” Jogja Ora Didol!” Suasana menjadi gelap. Dor! Bunyi letusan senjata angin dilepaskan. “Ah, Gusthi, kok langit ireng? Ngopo kok ono getih neng dodoku?”

Isdiyono, 14 November 2013

Glosari :
Pakdhe                        : Sebutan kakak dari ayah atau ibu
Lek                  : Sebutan adik dari ayah atau ibu
Tello                : makian yang menyamakan kekesalan dengan sebutan singkong.
Pentholan        : Centeng, preman yang berkuasa di daerah tertentu.
Alon-alon, cerito sek bener                 : Hati-hati, cerita yang benar.
Jogja Ora Didol                                  : Jogja tidak dijual
Bocah edyan! Yowes, kumpulno warga lan kelompok-kelompok tani : Bocah gila, Yasuda, kumpulkan warga dan kelompok-kelompok tani segera.
Asuuu! Pakdhe, omahe do rubuhhhhc: (makian) Anj*ng! Pakdhe, rumahnya pada roboh.
Ah, Gusthi, kok langit ireng?              : Ah, Tuhan, kenapa langitnya hitam pekat?
Ngopo kok ono getih neng dodoku?    : Kenapa ada darah di dadaku?


MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...