Sudah seminggu ini, suasana desa
mencekam. Kedatangan orang-orang berbaju merah tempo hari telah merusak
kedamaian. Anak-anak tak lagi mau bermain sepulang sekolah, beberapa bahkan tak
mau pergi ke sekolah karena masih trauma. Tiga rumah dibakar, lima rumah rusak
berat, yang lain pecah kaca dan gentingnya. Para pemancing yang tiap sore sudah
berjajar mulai pukul empat sore, kini tak lagi nampak satupun. Angin laut tak
lagi bertiup sepoi seperti dituliskan dalam novel-novel cinta. Angin laut tiba-tiba
berasa dingin dan keras.
Para petani tak lagi bersemangat
menenteng cangkulnya ke tanah berpasir. Mereka kini telah membentuk
kelompok-kelompok kecil yang mangatasnamakan diri sebagai “Komunitas Penolak
Relokasi Pasir Besi”. Mulai di warung-warung koboi, di perempatan jalan dan di
pos-pos ronda, bahasan yang dibicarakan selalu sama, “Tolak eksplorasi pasir
besi dan bebaskan Suratmin!”
Pantai sebagai bagian dari Sultan
Ground, sudah dipinjamkan raja kepada masyarakat untuk dikelola. Mereka bebas
mengolah tanah tersebut asalkan tidak diperjualbelikan. Hal ini sudah
dilaksanakan sejak raja pertama naik titah dahulu. Mulai HB I hingga sekarang
HB IX yang baru saja ditetapkan sebagai gubernur tetap oleh Mendagri. Akan tetapi, perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan secara perlahan mendesak nilai-nilai kearifan lokal yang di banyak
tempat masih dijaga oleh masyarakat.
Masuknya investor dari Jepang
yang telah melakukan kajian mendalam di pesisir pantai selatan ini, telah
mendesak pemerintah yang mata duitan untuk mencoba menjajaki kerja sama. Warna
pantai yang hitam dan mengkilat jika terkena sinar matahari, secara kasat mata
pun bisa diprediksi bahwa pantai selatan memiliki potensi tambang besi kualitas
super yang terbentang luas. Seperti di tempat-tempat lain seperti di Lombok
oleh PT Newmont atau di Papua dengan Freeport, konflik kepentingan selalu
terjadi.
Pihak yang selalu dirugikan,
tidak lain adalah masyarakat di sekitarnya. Bedanya, kalau di dua tempat lain
itu sudah terjadi di pantai selatan ini masih tarik-ulur kepentingan. “Coba
kita lihat Pakdhe, di sekitar tambang
Freeport yang kita lihat dari video yang dibawa Parmin kemarin masyarakat masih
primitip. Mereka hanya bisa melihat alat-alat berat yang dijaga ketat dengan
masih menggunakan cawat. Kadang-kadang, mereka silau dan heran mengapa tanah
mereka yang digali itu bisa bersinar. Kita tidak ingin hal itu terjadi di sini
Pakdhe! Titik!” Sruputtttt. Asap
rokok Samsu menyembul dari mulut seorang lelaki dewasa yang kepalanya telah
mendidih. Yang dipangil Pakdhe tak segera menjawab.
Memang benar, pengerukan pasir di
sepanjang pantai akan menambah pendapatan daerah yang tidak sedikit. Pantai
pasir hitam sepanjang 50 km dengan lebar bibir sekitar 10-20 meter dengan
kedalaman satu meter saja sudah bisa menghasilkan berton-ton bijih besi. Konon
katanya, kualitas bijih di pantai selatan adalah yang terbaik di seluruh
Indonesia.
Akan tetapi, dampak yang
ditimbulkannya lebih besar dan berlanjut selama bertahun-tahun kemudian. Abrasi
jelas selalu mengintai, mengingat bahwa pantai selatan terkenal dengan
kedalaman palung lautnya. Banyak wisatawan yang tidak tahu dan tidak
mengindahkan peringatan mandi di pantai pulang tinggal nama. Pertanian buah dan
sayuran warga yang mulai dikembangkan di wilayah pantai, jelas menjadi argumen
yang pokok dalam menolak eksplorasi pasir besi.
Bukan hanya satu dua saja, tetapi
ribuan orang di sepanjang garis pantai telah lama menggantungkan kebutuhan
pokoknya dari bertani di lahan pasir. Di samping bekerja di proyek sebagai buruh
bangunan. Bisa dibayangkan, jika satu pendapatan mereka lenyap, akan sangat
berat dalam bertahan hidup secara layak bagi masyarakat mengingat bahan
kebutuhan pokok tidak pernah turun, kalau naik itu pasti.
“Betul kata Jo Pakdhe, 64 tahun
kita merdeka nyatanya kita belum juga merasakan arti kemerdekaan itu. Kita
harus membebaskan Ratmin! Salah sendiri mereka memaksa alat berat masuk
kampung. Mentang-mentang punya duit banyak, tapi kita punya harga diri,
Pakdhe.” Cahaya lampu remang-remang
di warung koboi tak mampu menghangatkan orang-orang yang sedang berdiskusi.
Seorang melempar rokok, langsung disambar yang belum menyulut tembakau di
mulutnya. “Kita tunduk pada Sultan, bukan berarti kita juga menyetujui
kebijakan yang tidak mendukung warga. Ini pasti ulah Wakidi dan kawan-kawan di
gedung dewan. Kurang ajar dia, mentang-mentang sudah duduk di kursi dewan
sekarang menindas kita.”
Memang benar kata Jo dan Badrun, meski
kita hanya memiliki hak guna lahan saja tetapi dampaknya akan sangat luas jika
kebijakan penggalian pasir besi dilanjutkan. Teman-teman pasti akan bertindak
tegas kali ini, seperti yang telah dilakukan oleh Suratmin salah satu pejuang
yang meski caranya kurang tepat tetapi bisa menghentikan aktivitas provokasi
eksplorasi.
Sehari sebelum orang-orang
berbaju merah itu datang, warga dikejutkan dengan kondisi satu buldozer yang kaca depannya
porak-poranda. Dari bentuk pecahan dan daya robek terhadap besi, bisa
dipastikan dilakukan dengan menggunakan kapak. Kerapihan pecahan kaca
menunjukkan bahwa yang melakukannya adalah orang yang terlatih menggunakan
kapak. Di desa ini, hanya ada dua orang yang ahli menggunakan kapak yakni
Bambang dan Suratmin keduanya adalah penebang kayu yang seringkali dimintai
tolong oleh warga. Baik memotong keseluruhan, pemindahan pohon ataupun sekedar
merapikan dedaunan saja.
Kejadiannya masih sangat pagi,
bahkan bisa jadi ayam jago masih tidur terlelap di kandangnya masing-masing.
Jangkrik sudah terlalu lemah untuk menggetarkan sayap untuk menarik perhatian
lawan jenisnya. Bisa jadi juga jangkrik-jangkrik itu sudah menemukan pasangan
yang dicarinya. Suasana desa sungguh sepi. Hanya saja, kambing Pak Sajat yang
berada di daerah dekat area eksplorasi pertambangan terus-menerus mengembik.
Tidak biasanya, karena kambing Pak Sajat dikenal sebagai kambing yang jinak
karena memang yang empunya merawat dengan sepenuh hati.
Sekelebat bayangan hitam
mengendap-endap di antara rimbunnya pepohonan perdu di tepi persawahan. Bulan
sedang tidak purnama, sehingga bisa dipastikan bahwa orang hanya bisa merasakan
kehadiran orang lain melalui pendengarannya saja. Kehati-hatian melangkah tetap
ditujukan oleh bayangan tersebut. Arahnya jelas dan tegas, melalui tepi jalan
setapak yang berada di tengah-tengah pematang sawah. Satu-satunya tempat yang
mungkin dari arah bayangan tersebut adalah menuju pantai, tempat di mana
eksplorasi kandungan biji besi sudah dilakukan sekitar dua bulan yang lalu.
Karena masih tahap eksplorasi
awal, maka tak terlalu banyak peralatan yang digunakan. Bahkan, tidak setiap
hari mandor proyek datang dan menginap di lokasi eksplorasi. Satu bor untuk
menggali tempat-tempat yang keras, satu pick-up
kecil, beberapa alat pengeruk manual dan penampungnya serta satu buah buldozer berdiri megah di depan gubug
pekerja yang belum terisi manusia. Para pekerja pun akan berpikir ulang untuk
langsung datang ke lokasi. Dengan gaji yang rendah, tentu mereka tak ingin jadi
sasaran amuk warga yang gerak dengan aktivitas eksplorasi yang ijinnya masih
belum turun itu.
Sesampainya di lokasi, sesosok
bayangan tersebut sedikit memutari areal penambangan. “Tello! Mereka ternyata telah mulai melakukan pengerukan. Ini tidak
benar, harus dihancurkan.” Angin laut mulai berhembus kencang di pagi yang
buta. “Klang!” Mata kapak yang telah
diasah itu langsung menancap di pintu buldozer.
Beberapa kali kapak itu menancap di
bagian yang berbeda. “Kurasa, sudah cukup ini untuk peringatan bagi Wakidi dan
cecunguk-cecunguknya untuk mengusik ketenangan desa. Sombong sekali dia, kita
memilihnya bukan untuk menggerus tanah ini, tapi untuk meningkatkan kehidupan
masyarakat. Berikutnya, kepala Wakidi yang akan merasakan ganasnya kapakku
ini!”
Matahari pagi bersinar cerah,
muncul dari balik mimbar kelabu di sebelah timur. Perlahan, langsung menembus
awan-awan kelabu itu dan menjadikannya terang. Rumah-rumah mulai kelihatan,
pepohonan mulai terlihat hijau, ayam-ayam berkokok bersahutan, para pencari
rumput mulai memakai caping mereka. Sebuah cangkul menggelayut di pundak kiri
mereka, tanda mereka sekaligus membalikkan tanah. Hari ini para petani ubi
mulai mempersiapkan lahan mereka. Di tanah berpasir ini, umbi-umbian, sayuran
dan buah naga sangat cocok dikembangkan.
Bahkan, beberapa warga yang
tergabung dalam kelompok Tani Naga sudah berhasil memasarkan produknya ke
pasaran ekspor. Tanda bahwa berkah tanah Sultan Ground tak kalah dengan hasil
buah-buahan dari negeri China yang mulai membanjiri pasaran meski ACFTA alias
kerja sama perdagangan bebas bea cukai belum diterapkan. Jika konflik alih
lahan belum juga selesai, bagaimana persiapan masyarakat Indonesia khususnya
Kulonprogo ini dalam menghadapi persaingan bebas?
Sebenarnya, tidak perlu melakukan
ekspor pun para petani kewalahan menerima permintaan pasar lokal. Jumlah
penduduk yang mencapai angka 250 juta dan sebagian besar adalah manusia
konsumtif, merupakan pasar besar yang harus ditaklukkan. Istilahnya, bermain di
lapangan sendiri pun para pemain sudah mampu sejahtera. Buah naga, umbi biru
dan bawang merah adalah primadona hasil bumi pantai selatan. Pengembangan budi
daya gurami dan udang vaname yang
sedang naik daun, menambah kesan penguatan bahwa Sultan Ground saat ini sudah
menjadi jantung perekonomian masyarakat. Jika diambil, maka tamatlah sudah
nasib ribuan petani pantai yang memanjang di sepanjang pantai selatan.
Anak-anak berseragam putih-merah
berjalan beriringan melewati pematang sawah. Sesekali bercanda dengan
teman-temannya. Berkejar-kejaran dan saling meledek dengan kicauan-kicauan khas
anak SD. Tiba-tiba, Indun dan Nurrina anak kelas 3 berteriak-teriak dari arah
berlawanan, “Buldozere rusak! Buldozere rusak! Buldozere rusakkkk!” Anak-anak itu berlari ketakutan menuju rumah.
Mereka tak berani berangkat ke sekolah, mengingat beberapa hari sebelumnya
sempat terjadi ketegangan kecil antara warga dan pihak pengembang.
Anak-anak yang lain pun segera
berhambur ke tempat yang dimaksud. Para pencari rumput meletakkan karungnya,
petani-petani yang sedang membalik tanah segera berhamburan ke suara yang
dituju. Para kuli bangunan yang akan pergi ke kota pun segera menghentikan
motor bututnya di lokasi. Tak berapa lama kemudian, kerumunan tak bisa
dihindari, seperti kumpulan semut yang menemukan sepotong gula. Jika hal ini
terjadi di Jakarta, sudah pasti akan terjadi kemacetan yang panjang dan
mengular. “Wah, bisa gawat ini. Lek,
ayo kita lapor ke Pakdhe!” Yang
ditanya menjawab, “siap!”
Dua orang tersebut segera lenyap
dari kerumunan orang-orang. Suasana bertambah panas, ketika sebuah mobil Avanza
hitam datang. Seorang berambut cepak dan berbadan kekar segera membuka pintu dan
keluar dari pintu kiri. Dua lainnya menyusul keluar. Buru-buru ia membuka pintu
depan. Seorang berambut klimis, memakai stelan jas hitam keluar dari mobil.
Sambil tergopoh-gopoh secepat mungkin diayunkan kaki keluar dari mobil.
Sesekali ia terjatuh karena barangkali keseimbangan tubuhnya belum kuat karena
terburu-buru.
Langkahnya cepat dan segera
menembus kerumunan dengan didahuli oleh pria-pria berambut cepak tersebut.
Segera lautan kerumunan manusia itu langsung terbelah, mobil Avanza hitam
segera putar arah berlawanan dengan arah kedatangan. Seorang berperawakan kecil
terlihat siluet dari dalam mobil.
Segera, laki-laki berambut klimis
itu menuju buldoser yang dirusak. “Hmm.” Beberapa kali ia hanya berdehem ringan
saja, matanya tajam mengamat-amati bagian yang rusak. Beberapa kali berputar,
sekaligus mengitari peralatan-peralatan lain yang masih tercecer di area
eksplorasi. Kernyit di dahinya menandakan bahwa ia memendam semua kemarahan itu
di dalam kepalanya. Dengan anggun, ia sembunyikan seluruh kemarahan itu. “Ini
harus diurus segera. Johni, Dhani, Boy, segera abadikan momentum ini.” Pria
berambut klimis itu segera bergegas kembali ke mobil. “Siap bos!” Tangannya
masih mengepal. Tapi, secuil senyum merekah di bibirnya yang lebar.
Suasana hening, khidmat sejenak.
Orang-orang berhenti bicara sejenak, tak ada yang berani mengeluarkan suaranya.
Mereka mematungkan diri di tempatnya berdiri. Tolet! Tolet! Hanya
penjual siomay yang berani membunyikan terompet, dia tak peduli, sama sekali
tak peduli pada keheningan itu. Ia memanfaatkan momentum keramaian ini untuk
berjualan. Avanza hitam segera melaju meninggalkan areal. Debu-debu
beterbangan, seolah menyampaikan pesan, “kalian harus pergi!” Suasana menjadi
mencekam.
Siangnya, satu mobil patroli
polsek setempat datang dengan 4 personel. Satu orang langsung membubuhkan garis
kuning bertuliskan “garis polisi, dilarang melintas.” Dua yang lain berdiskusi
sambil melihat kondisi alat berat yang rusak tersebut sambil mencatat hasil
diskusinya. Satu orang mengambil gambar dari beberapa sudut. Warga yang masih
tersisa di tempat itu pun bertanya-tanya,menduga-duga siapa yang melakukannya.
Rasa cemas dan ketakutan tergambar jelas di kerutan dahinya. “Baik, data sudah
cukup untuk sementara, sekarang kita cari keterangan saksi mata.” Sambil
mencurat-coret data di tangan. “Siap komandan!”
Aktivitas pertanian hampir lumpuh
total. Hanya para pencari rumput yang pergi ke sawah dengan perasaan was-was.
Tidak seperti biasanya, mereka mencari rumput seperlunya saja. Begitu penuh karung
yang dibawanya, mereka langsung bergegas pulang. Sore harinya berita sudah
tersebar di media online.
Seperti biasa, pagi di pesisir
selatan tak lagi sejuk melainkan dingin dan keras. Orang enggan keluar
pagi-pagi, sehingga hanya ayam makhluk yang masih perkasa berkokok. Kokok
berhenti tatkala ayam-ayam betina sudah terlihat keluar dari kandangnya.
Matanya yang tajam langsung membuat ayam jantan turun dari tempatnya
menyombongkan leher panjangnya. Belum sempat meregangkan sayapnya, ayam-ayam
betina itu sudah kaget ketika pejantan datang langsung memburu. Terjadi
kejar-kejaran sebelum si betina tertangkap dan memberi isyarat menyerah. Si
pejantan pun mengubah suaranya, seperti berdehem panjang, pura-pura mengais
tanah sebelum kemudian dengan kelengahan si betina langsung dikawini.
Dasar ayam, meskipun si betina
baru mengasuh anak-anaknya tetap saja ia datang mendekat. Menunggu si betina
dan si anak-anak lengah sambil terus mengikuti kemanapun betina yang
diincarnya. Jika ada ayam jantan lain yang mendekat, maka ditinggikannya leher
si pejantan sambil mengepakkan bulu-bulu di leher. Si penyusup tak kalah
garang, ganti mengembangkan bulu-bulu di lehernya. Pertarungan sengit pun tak
bisa dihindari lagi. Saling serang dengan paruh dan cakar menghiasi pertarungan
sampai mati. Jika salah satu belum kalah atau mati, maka pertarungan terus
berlangsung. Yang kalah kemudian menyingkir, mengasingkan diri, sadar kalau
dirinya sudah tak berharga lagi.
Pertarungan kemudian menjadi
berat sebelah, si penantang tak lagi bisa membuka matanya. Darah mengalir
sampai ke leher, membasahi bulu-bulu indah yang tiap pagi selalu diagungkan di
tembok-tembok bambu halaman rumah. Yang dipanggil Pakdhe kemudian datang dan
memisah salah satu ayam jantan tersebut. Kemudian mengandangkan di kandang
bambu cukup luas di belakang rumah. Rupa-rupanya ayam penantang tadi adalah
miliknya. Perlu beberapa hari sampai beberapa minggu untuk memulihkan luka-luka
tersebut. “Ayam nakal, sebagai hukuman kamu dikurung sampai sembuh...”
“Pakdhe..Pakdhe...Ratmin
Pakdhe... Ratmin dibawa polisi pagi-pagi buta tadi. Berdasarkan penyelidikan
mendalam, Ratmin lah yang merusak satu buldoser itu.” Seorang pria berumur
kira-kira 30 tahun datang dan berteriak-teriak, nafasnya tidak teratur. “Alon-alon, cerito sek bener.” Kemudian,
pria itu tadi mengatur nafas, menenangkan diri dan bersiap melakukan
pembicaraan. “Ternyata yang merusak buldoser kemarin adalah Ratmin. Polisi
menduga yang melakukan sudah terlatih, nah, yang ahli memegang kapak kan hanya
Si Bambang dan Si Ratmin. Nah, Bambang jelas baru pulang ke rumah mertuanya di
Kebumen. Jelas, Ratmin pun sepagi tadi dijemput mobil polisi tanpa perlawanan.
Kulihat wajahnya tertunduk lesu, tetapi masih sempat berteriak Jogja Ora Didol!” Sejenak hening. “Bocah edyan! Yowes, kumpulno warga lan kelompok-kelompok tani!” Si pria
kembali berlari, “Siap Pakdhe!”
Kampung pun geger, tetapi
masyarakat masih bisa mengendalikan emosi. Masing-masing kelompok organisasi
masyarakat mengumpulkan anggotanya. Mereka berkumpul di balai-balai dusun,
semua, bahkan para kuli pun tak berangkat kerja. “Maaf bos, hari ini saya tidak
bisa datang ke proyek. Baru ada masalah di kampung,” telepon kemudian ditutup.
Banyak warga yang tak mendapatkan tempat, duduk di kebun dan jalanan. Ibu-ibu
PKK pun tanggap dan segera menuju ke dapur Pakdhe
untuk membuat minuman dan makanan ringan seadanya. “Semua saya harap tenang,
kita menolak eksplorasi pasir besi tetapi kita harus tetap menggunakan akal dan
pikiran. Jangan sampai jatuh korban jiwa!”
“Ini sudah keterlaluan Pakdhe,
kita dukung Ratmin karena pemerintah lamban tanggap dan bebal terhadap desakan
masyarakat!” Percakapan semakin serius dan menjurus pada emosi. “Betul kata
Bejo, kita harus bertindak. Dari jaman simbah sampai sekarang, tanah ini
digarap oleh warga. Kedaulatan harga mati!” Dalam situasi demikian, pikiran
memang harus tenang. Semua kejadian harus disikapi dengan hati-hati. Jangan
sampai termakan provokasi yang ujung-ujungnya akan kembali merugikan
masyarakat. Tidak. Sudah cukup rakyat menderita. Apalagi, uang-uang pajak
kendaraan, minyak, gas bumi bahkan urusan bawang pun dikorupsi. Sudah cukup
warga menderita melihat para wakil rakyatnya mengkhianati warganya sendiri.
Sekarang saatnya rakyat berbicara.
Peraturan-peraturan yang dirubah
seenak perut mereka tanpa sosialisasi kepada rakyat adalah bukti penekanan
legislasi terhadap rakyat kecil. Kita hanya ingin mandiri, berdikari atau
berdiri di atas kaki sendiri seperti yang pernah menjadi salah satu tema pidato
Ir Soekarno. Hasil bumi Sultan Ground tentu akan lebih bermanfaat dan langsung
dirasakan oleh warga daripada pengelolaannya diambil alih oleh investor. Tak
ada jaminan kesejahteraan masyarakat akan meningkat dengan keberadaan para
investor tersebut. Ancaman pengangguran dan kemiskinan justru menghadang ketika
para petani tak lagi bisa bercocok tanam.
Matahari semakin meninggi, warga
yang berada di halaman pun terkena teriknya. Beberapa bergeser dan berkerumun
di bawah pepohonan yang tak terlalu rindang karena daunnya berguguran. Kemarau
tahun ini sungguh panjang, beberapa daerah bahkan tidak mendapatkan air untuk
tanaman mereka. Beberapa yang memiliki sawah lebih luas menggunakan sumur bor
untuk mengairi lahannya. Meski hasil tak maksimal, tetapi bertani harus tetap
berlanjut.
Tiba-tiba tanah bergetar, bunyi
kendaraan-kendaraan besar yang menderu kian mendekat ke lokasi warga. Warga
kaget, kemudian membaca situasi. Orang-orang berbaju merah melambai di
kendaraan jip membawa bendera sambil berteriak-teriak tidak jelas. Sepertinya
sumpah serapah dan ancaman. Debu beterbangan, kertas-kertas pamflet bertebaran.
“Jangan berani sentuh lagi proyek pasir besi, atau mati!” Anak-anak tak berani
bermain dan ikut berkerumun di tengah-tengah warga. Sebagian besar menangis,
termasuk para balita yang masih disusui oleh ibunya masing-masing. Para lelaki
pun kemudian berdiri dan bergegas mendekati suara menderu. Sayup-sayup bunyi
kendaraan pun lenyap dari pandangan. “Asuuu!
Pakdhe, omahe do rubuhhhh... Kurang ajar!” Warga yang berdatangan langsung
lemas melihat rumah mereka yang sudah tidak karuan.
“Kita tidak bisa membiarkan
kesemena-menaan ini terus berlanjut. Sudah saatnya kita bergerak membela Ratmin
di pengadilan nanti. Kami tidak rela Ratmin dihukum kurungan.” Warijo, pemilik
warung sibuk melayani pesanan minuman yang membanjir, sebagian besar kopi
hangat. Dia tak berani ikut-ikutan bicara, karena memang dia tak ingin terlalu
terlibat dalam sengketa ini. Bayangan masa lalu orang tuanya yang pernah
diciduk aparat karena dituduh anggota PKI telah membuatnya cari posisi yang
aman. “Tambah secangkir Lek War!”
Suasana di warung koboi cukup
ramai. Lek Warijo kewalahan melayani pembeli, beberapa berteriak-teriak minta
didahulukan. Rokok pun sudah habis, Wanti yang seharusnya sekolah pun
meliburkan diri untuk membantu ayahnya melayani pembeli. “Wanti, tolong belikan
rokok di Toko Pelangi. Ini uangnya, Satu pak Jarum, satu pak Samsu dan empat
bungkus filter putih.” (Sambil berlari)”Baik pak, wanti belikan.”
Seluruh warga laki-laki pun
segera bersiap, memakai ikat kepala putih dan membawa bendera. Beberapa yang
lain membawa mic wireless sambil
bernyanyi yel-yel dadakan yang tidak jelas. Lirik tak penting, yang penting
suaranya lantang. Tiga buah truk berjajar rapi di jalanan desa, dihiasi dengan
atribut kata-kata menolak eksplorasi pasir besi pantai selatan Kulonprogo. Si
sopir masih terlihat ngantuk, tidak ikut berpesta kopi di warung Lek Warijo.
Perlahan, truk mulai dipanasi
ketika orang-orang mulai naik truk. Asap hitam pekat menyembul dari bawah truk.
Di atasnya, kepala-kepala mendidih siap memanaskan suasana sidang di
pengadilan. Angin laut menampar-nampar pepohonan yang kering tinggal rangka.
Seolah memberikan tambahan energi untuk orang-orang yang akan pergi. Brummm...Brummm... Truk perlahan
meninggalkan desa. Para wanita melihat dari samping rumah, menatap sendu sambil
mulutnya terus komat-kamit berdo’a.
“ ... dengan ini majelis hakim memutuskan bahwa Saudara Ratmin telah terbukti
melakukan perusakan fasilitas umum dan dinyatakan bersalah dan mendapatkan
hukuman 2 tahun penjara atau denda 15 juta rupiah.”
Penjagaan di luar sangat ketat,
dua puluh orang polisi berpelindung lengkap berjajar di pintu masuk. Bahkan,
dua sniper dipersiapkan di atap gedung kejaksaan. Di luar, massa mulai gerah
karena cuaca yang panas terik. Tidak ada penjual siomay ataupun penjual es
keliling. Sepertinya, mereka tahu kondisi ini sehingga pilih menjaga jarak aman
berjualan. Para juru parkir tak sempat membaca koran seribuannya. Arus lalu
lintas di depan kejaksaan sedikit terhambat.
“Merdeka! Itulah akibatnya
menentang kebijakan,” teriak pria berambut klimis dan memakai kacamata hitam
yang duduk di kursi pojok paling belakang di sebelah kiri dekat pintu masuk.
Wakidi, ia disebut-sebut oleh warga. Seorang politikus yang pernah sakit hati
karena target suara tidak tercapai di areal pertambangan. Masyarakat memang
sudah tahu tabiat pria klimis itu. Dari kecil sudah suka adu jago, besar
menjambret di Pasar Bendungan dan terakhir warga dikagetkan. Bahwa pentholan Dusun Blonyo itu sekarang
menjadi politikus yang disegani lawan-lawannya. Herannya, kenapa pria seperti
dia bisa duduk nyaman di anggota dewan komisi VII.
Suasana panas yang tertahan
keheningan pun tiba-tiba meledak. “Bunuh Wakidi!” Suasana menjadi tidak
terkendali, Suratmin diamankan ke jeruji besi. Hakim-hakim menuju ruangan
belakang untuk mendapatkan perlindungan. Tiba-tiba saja api menyala di sudut
ruangan tempat saksi, si pengkhianat Jamil berdiri. Tubuhnya langsung tersambar
api dan meronta-ronta kesakitan. “Tolongg... tolongg...”
Polisi merangsek masuk, massa
beringas memukul apa yang ada di sekitarnya. Gas pemadam kebakaran
disemprotkan. Massa semakin tak terkendali. Di luar, warga berhamburan berlari
sejadinya menjauh dari lokasi sidang. Darah mengalir keluar dari ruangan
sidang. Gas air mata disemprotkan tidak karuan. Pria klimis bersama tiga orang
berbadan tegap merangsek keluar ruangan. Buk! Satu pukulan mengenai Wakidi,
kemudian terjatuh tak sadarkan diri. “Jogja
Ora Didoooo!!!” Jogja Ora Didol!” Suasana menjadi gelap. Dor! Bunyi letusan
senjata angin dilepaskan. “Ah, Gusthi,
kok langit ireng? Ngopo kok ono getih neng dodoku?”
Isdiyono, 14 November 2013
Glosari :
Pakdhe :
Sebutan kakak dari ayah atau ibu
Lek :
Sebutan adik dari ayah atau ibu
Tello :
makian yang menyamakan kekesalan dengan sebutan singkong.
Pentholan :
Centeng, preman yang berkuasa di daerah tertentu.
Alon-alon,
cerito sek bener :
Hati-hati, cerita yang benar.
Jogja
Ora Didol : Jogja
tidak dijual
Bocah
edyan! Yowes, kumpulno warga lan kelompok-kelompok tani : Bocah gila, Yasuda, kumpulkan warga
dan kelompok-kelompok tani segera.
Asuuu! Pakdhe, omahe do rubuhhhhc: (makian) Anj*ng! Pakdhe, rumahnya pada roboh.
Ah,
Gusthi, kok langit ireng? : Ah,
Tuhan, kenapa langitnya hitam pekat?
Ngopo
kok ono getih neng dodoku? : Kenapa
ada darah di dadaku?