Beberapa hari
ini, siap-siap saja gigit jari jika ingin mencari mendoan hangat di
warung-warung angkringan. Harga kedelai yang melambung tinggi, memicu protes
dari para pembuat tempe di seluruh Indonesia. Akibatnya, produksi tempe sebagai
lauk paling populer di negeri kita ini pun terhenti. Bagi para pecinta menu
angkringan, saya kira peristiwa ini menjadi tragedi yang cukup serius.
Pasalnya, secara tidak langsung tempe merupakan bahan dasar lauk yang ada di
menu-menu seperti nasi kucing, mendoan, oseng-oseng tempe hingga campuran nasi
goreng.
Di negeri ini,
terlalu banyak orang pintar, tetapi hanya sedikit yang peduli dengan tugas dan
tanggung jawab terhadap kepintarannya. Seperti yang terjadi sebelum
melambungnya harga kedelai akibat permainan pasar eksportir Amerika, kasus
impor daging sapi telah menjadi salah satu kasus suap terbesar di Indonesia.
Prasangka pun pasti muncul, apakah ada permainan juga di dalam kasus naiknya
kedelai kali ini.
Sungguh, di
negeri yang kaya raya dengan bentang alamnya ini kelangkaan beberapa kebutuhan
pokok merupakan satu hal yang aneh. Pepatah lama mengatakan: Tikus mati di
lumbung padi. Target kenaikan produksi satu komoditi seperti padi, terkesan
sangat dipaksakan. Pasalnya, tidak setiap daerah memiliki kebiasaan menjadikan
beras sebagai makanan pokok. Maka, tidak heran jika beberapa tahun yang lalu
terjadi kelaparan di Indonesia bagian timur. Bukan karena tak ada bahan pokok
yang tersedia, tetapi karena masyarakat tidak mau jika dipaksa menjadikan bahan
pokok yang asing dipaksakan sebagai bahan pokok.
Memang,
pertumbuhan penduduk yang cepat dan pada saat ini tercatat sebanyak 240 juta
jiwa tidak sebanding dengan lahan yang tersedia. Pengembangan perumahan elit
dan pusat-pusat ekonomi, telah menggeser keberadaan sawah sebagai tempat
berproduksinya berbagai macam komoditas pertanian. Di samping itu, para petani
saat ini tidak mewariskan keahlian kepada anak cucunya. Mereka lebih senang
jika anaknya menjadi pegawai kantoran dengan gaji bulanan, daripada harus berpanas-panas
dan berkotor-kotor di sawah. Akibatnya langsung terasa, hampir tak lagi kita
jumpai anak-anak muda yang mau turun ke sawah. Perkembangan terakhir,
tanah-tanah sawah warisan orang tua mereka jual untuk makan.
Permasalahan
eksternal yang menjadikan petani dilema adalah adanya kebijakan-kebijakan yang
tidak mendukung kepentingan petani. Seperti pada kasus melambungnya harga
bawang putih menjelang lebaran kemarin. Permainan harga oleh para pemodal
besar, membuat petani tak kuasa menjual produknya dengan harga di bawah standar
ketika panen besar-besaran dan harus gigit jari ketika harga melambung dan
petani tak lagi menanam. Harga di tingkat petani saat ini sangat rentan oleh
permainan para tengkulak. Kebijakan impor, utamanya kedelai yang disepakati
dengan Amerika sebagai produsen besar telah menggebiri gairah petani dalam
menjaga keberagaman produktivitas.
Pemerintah yang
sedianya bisa membela kepentingan petani lokal, tak berdaya oleh kebijakan yang
dikeluarkannya sendiri. Nampaknya, isu politik lebih menarik untuk dibahas di
tingkat kementerian daripada memikirkan apa yang dibutuhkan para petani dalam
menjaga kesejahteraan di masa mendatang. Petani selalu dihadapkan pada kondisi
harap-harap cemas dalam menanam komoditi kedelai yang harganya bisa berubah
tidak masuk akal di tingkat mereka. Tidak heran jika kebanyakan petani memilih
aman untuk menanam produk utama padi yang mudah dijual dan bisa digunakan
sendiri.
Sudah saatnya
protes ini ditanggapi dengan kebijakan nyata dalam perlindungan terhadap para
petani kedelai. Stabilitas harga kedelai di tingkat petani harus dijaga agar
diversifikasi komoditi pertanian bisa kembali beragam. Jika komoditi yang
dikembangkan petani tidak terpusat pada tanaman padi saja, tentu para petani
aan kembali bergairah untuk menanam berbagai macam komoditi tanpa harus
was-was. Sehingga, produktivitas kedelai lokal bisa bersaing dengan harga yang
ditawarkan oleh importir kedelai. Jika harga kedelai stabil, maka kita tidak
perlu lagi berpuasa tidak makan mendoan di warung-warung angkringan. Karena
olahan tempe yang terbuat dari kedelai, merupakan identitas budaya dan
kesejahteraan masyarakat kita. Jika tempe menghilang, hilang pula identitas
negeri kita sebagai syurga tempe dunia.
*Tulisan ini termuat di Koran Merapi edisi Selasa 17 September 2013