Friday 20 September 2013

Tragedi Mendoan



Beberapa hari ini, siap-siap saja gigit jari jika ingin mencari mendoan hangat di warung-warung angkringan. Harga kedelai yang melambung tinggi, memicu protes dari para pembuat tempe di seluruh Indonesia. Akibatnya, produksi tempe sebagai lauk paling populer di negeri kita ini pun terhenti. Bagi para pecinta menu angkringan, saya kira peristiwa ini menjadi tragedi yang cukup serius. Pasalnya, secara tidak langsung tempe merupakan bahan dasar lauk yang ada di menu-menu seperti nasi kucing, mendoan, oseng-oseng tempe hingga campuran nasi goreng.
Di negeri ini, terlalu banyak orang pintar, tetapi hanya sedikit yang peduli dengan tugas dan tanggung jawab terhadap kepintarannya. Seperti yang terjadi sebelum melambungnya harga kedelai akibat permainan pasar eksportir Amerika, kasus impor daging sapi telah menjadi salah satu kasus suap terbesar di Indonesia. Prasangka pun pasti muncul, apakah ada permainan juga di dalam kasus naiknya kedelai kali ini.
Sungguh, di negeri yang kaya raya dengan bentang alamnya ini kelangkaan beberapa kebutuhan pokok merupakan satu hal yang aneh. Pepatah lama mengatakan: Tikus mati di lumbung padi. Target kenaikan produksi satu komoditi seperti padi, terkesan sangat dipaksakan. Pasalnya, tidak setiap daerah memiliki kebiasaan menjadikan beras sebagai makanan pokok. Maka, tidak heran jika beberapa tahun yang lalu terjadi kelaparan di Indonesia bagian timur. Bukan karena tak ada bahan pokok yang tersedia, tetapi karena masyarakat tidak mau jika dipaksa menjadikan bahan pokok yang asing dipaksakan sebagai bahan pokok.
Memang, pertumbuhan penduduk yang cepat dan pada saat ini tercatat sebanyak 240 juta jiwa tidak sebanding dengan lahan yang tersedia. Pengembangan perumahan elit dan pusat-pusat ekonomi, telah menggeser keberadaan sawah sebagai tempat berproduksinya berbagai macam komoditas pertanian. Di samping itu, para petani saat ini tidak mewariskan keahlian kepada anak cucunya. Mereka lebih senang jika anaknya menjadi pegawai kantoran dengan gaji bulanan, daripada harus berpanas-panas dan berkotor-kotor di sawah. Akibatnya langsung terasa, hampir tak lagi kita jumpai anak-anak muda yang mau turun ke sawah. Perkembangan terakhir, tanah-tanah sawah warisan orang tua mereka jual untuk makan.
Permasalahan eksternal yang menjadikan petani dilema adalah adanya kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung kepentingan petani. Seperti pada kasus melambungnya harga bawang putih menjelang lebaran kemarin. Permainan harga oleh para pemodal besar, membuat petani tak kuasa menjual produknya dengan harga di bawah standar ketika panen besar-besaran dan harus gigit jari ketika harga melambung dan petani tak lagi menanam. Harga di tingkat petani saat ini sangat rentan oleh permainan para tengkulak. Kebijakan impor, utamanya kedelai yang disepakati dengan Amerika sebagai produsen besar telah menggebiri gairah petani dalam menjaga keberagaman produktivitas.
Pemerintah yang sedianya bisa membela kepentingan petani lokal, tak berdaya oleh kebijakan yang dikeluarkannya sendiri. Nampaknya, isu politik lebih menarik untuk dibahas di tingkat kementerian daripada memikirkan apa yang dibutuhkan para petani dalam menjaga kesejahteraan di masa mendatang. Petani selalu dihadapkan pada kondisi harap-harap cemas dalam menanam komoditi kedelai yang harganya bisa berubah tidak masuk akal di tingkat mereka. Tidak heran jika kebanyakan petani memilih aman untuk menanam produk utama padi yang mudah dijual dan bisa digunakan sendiri.
Sudah saatnya protes ini ditanggapi dengan kebijakan nyata dalam perlindungan terhadap para petani kedelai. Stabilitas harga kedelai di tingkat petani harus dijaga agar diversifikasi komoditi pertanian bisa kembali beragam. Jika komoditi yang dikembangkan petani tidak terpusat pada tanaman padi saja, tentu para petani aan kembali bergairah untuk menanam berbagai macam komoditi tanpa harus was-was. Sehingga, produktivitas kedelai lokal bisa bersaing dengan harga yang ditawarkan oleh importir kedelai. Jika harga kedelai stabil, maka kita tidak perlu lagi berpuasa tidak makan mendoan di warung-warung angkringan. Karena olahan tempe yang terbuat dari kedelai, merupakan identitas budaya dan kesejahteraan masyarakat kita. Jika tempe menghilang, hilang pula identitas negeri kita sebagai syurga tempe dunia.

*Tulisan ini termuat di Koran Merapi edisi Selasa 17 September 2013

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...