Tidak
bisa dipungkiri, Jogja merupakan tujuan wisata nomor 2 setelah Bali. Eksotisme
budaya yang terus berkembang, nilai-nilai tradisional yang masih banyak tersisa
dan banyaknya pelajar dari luar kota masuk ke jogja membuat Jogja seolah miniatur
Indonesia. Ikatan batin inilah yang membuat animo banyak orang-orang luar
daerah menjadikan Jogja sebagai destinasi utama. Maka tidak heran jika
pertumbuhan destinasi wisata pun tumbuh sangat pesat. Publikasi kuliner,
tradisi hingga souvenir khas melalui berbagai media, turut meningkatkan minat
turis, baik lokal maupun internasional untuk mengunjungi Jogja. Salah satunya
adalah perkembangan pembangunan hotel yang sangat pesat.
Wilayah
kota Jogja yang hanya memiliki total luas 3.185,80 meter persegi, tentu menjadi
masalah dalam pengembangan pembangunan infrastruktur. Pembangunan yang baik
harus memikirkan permasalahan daerah resapan air, pengelolaan limbah, ruang
terbuka hijau hingga batasan bangunan yang boleh dibangun. Kepadatan penduduk
yang terus meningkat, membuat resiko pencemaran lingkungan atau bahaya lainnya
selalu mengintai.
Peningkatan
minat turis untuk mengunjungi Jogja yang meledak, tentu membutuhkan kesiapan
destinasi yang memadahi. Bagaimana promosi dan pengembangan kawasan wisata,
bisa diimbangi dengan fasilitas dan hunian yang ada. Perbandingan luas wilayah
dengan daya tampung yang tetap dan turis yang terus bertambah, tentu memberikan
peluang dalam pembangunan hotel. Sehingga, tidak heran jika kita sedang
menikmati indahnya kota Jogja tiba-tiba harus terganggu dengan papan-papan
reklame pembangunan hotel.
Pengembangan
bangunan seperti hotel bukan merupakan solusi dalam menampung para wisatawan yang
terus bertambah dari waktu ke waktu. Investor yang jarang dipegang oleh warga
setempat, selalu menimbulkan masalah dalam pengembangan wilayah. Ujung-ujungnya
relokasi warga asli pun dilakukan. Sehingga, warga setempat yang seharusnya
bisa mengembangkan daerahnya sendiri, harus bisa menelan pil pahit. Mereka hanya
bisa menyaksikan perputaran bisnis di tengah ketidakjelasan nasib mereka.
Di
samping itu, menjamurnya hotel berdampak terhadap peningkatan kemacetan jalan.
Lebar jalan yang rata-rata berkisar antara delapan sampai lima belas meter,
tentu saja tidak akan mampu menampung volume mobilitas kendaraan yang melintas.
Kapasitas hotel yang terkadang bertolak dengan ketersediaan lahan parkir
intern, menjadikan bahu-bahu jalan kini berbah menjadi lahan parkir bagi mobil.
Sehingga, bisa dibayangkan berapa meter sediri lebar jalan yang beralih fungsi.
Tidak heran jika kemacetan di jalanan kota Jogja saat ini sudah semakin
memprihatinkan.
Destinasi
wisata budaya yang mengkotakkan antara turis dengan warga lokal, secara tidak
langsung merugikan pemerintah. Interaksi yang terbatas pada penyedia jasa
wisata dengan tujuan wisata, telah memutus rantai keterlibatan warga lokal
dalam pengelolaan wisata. Sehingga, kesenjangan kesejahteraan ekonomi antara
warga pribumi dengan investor pun terlihat nyata. Pencantuman kearifan lokal
dalam pengembangan wisata, tentu harus diprioritaskan.
Destinasi
yang mampu mendekatkan turis dengan tujuan wisata dan warga adalah dengan
adanya konsep home stay. Konsep
penataan rumah warga sebagai bagian dari destinasi wisata, tentu akan kembali menghidupkan
peran warga lokal. Para turis yang berlibur ke tujuan wisata pun tidak hanya
menikmati sajian wisata saja. Lebih dari itu, mereka bisa menikmati interaksi
dengan kearifan lokal. Jika konsep ini bisa dilaksanakan, sebenarnya bisa
memangkas pos pengembangan wisata dengan pengembangan lingkungan kampung. Mengingat
bahwa perbaikan infrastruktur fasilitas home
stay, bisa disatukan dengan penataan wilayah. Sehingga, pada akhirnya turis
tidak hanya merasakan indahnya Jogja, tetapi benar-benar merasakan keramahan
warganya.
Dengan
adanya home stay, kebijakan penataan
bisa diintegrasikan sekaligus sebagai peningkatan kondisi rumah-rumah warga
hingga layak untuk dijadikan hunian sementara. Penyambutan turis pun menjadi
lebih efektif, efisien dan tentu saja menekan pembangunan hotel yang turut
menyumbang kemacetan karena aktivitas keluar-masuk kendaraan. Bukankah kita
masih ingin melihat Jogja tetap istimewa?
Termuat di Harian Jogja, Selasa 9 Juli 2013