Sunday 16 June 2013

Sertifikasi dan Nasib Guru Honorer



Dewasa ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat. Bisa kita buktikan dengan mengecek dalam seminggu, berapa macam merek dan spesifikasi handphone baru muncul. Tentu, akan sangat banyak dengan fitur-fitur yang lebih sederhana dan canggih dan tangguh. Harganya pun beragam, sesuai dengan tingkat eksklusivitas, kecanggihan teknologi,  dan kesederhanaan bentuk. Akhirnya, dengan pengembangan yang berkelanjutan inilah masing-masing merek bisa bertahan dan bersaing.
Begitupun di dalam dunia pendidikan kita pada saat ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin tidak terbendung. Keberadaannya tidak bisa ditolak dan dipungkiri. Karena memang pada dasarnya pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan perkembangan peradaban. Bisa dikatakan pendidikan ada dan dibutuhkan dalam rangka mempersiapkan generasi muda untuk menjawab tantangan persaingan global.
Fakta ini menuntut pendidik (baca: guru) untuk terus berinovasi dalam pembentukan mental anak. Kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat dan aktivitas perekonomian nasional yang semakin membaik, tentu dapat mendukung peningkatan kualitas pendidikan. Meskipun dalam praktiknya tidak selalu mulus. Dengan semakin meningkatnya perekonomian nasional, hal ini berimbas pada meningkatnya tuntutan kesejahteraan aparatur negara, tidak terkecuali guru.
Pada akhirnya, perkembangan ini telah mengantarkan profesi guru sebagai profesi yang tidak sembarangan.Berdasarkan UU nomor 14 tahun 2005, yang dimaksud guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikanmenengah. Imbas dari pengakuan ‘profesional’ ini adalah adanya peningkatan insentif yang diterima oleh guru yang tersertifikasi. Permasalahannya adalah, apakah guru yang sudah tersertifikasi bisa mempertahankan sebutan ‘profesional’ yang melekat pada dirinya?
Di beberapa sekolah, sertifikasi berdampak negatif. Dengan adanya kenaikan insentif, para guru selah berlomba untuk ‘pamer’ kesejahteraan dengan memborong mobil-mobil baru. Maka tidak heran jika banyak halaman sekolah sekarang sudah beralih fungsi dari ruang bermain, berdiskusi dan belajar anak berubah jadi tempat parkir. Bahkan, terkadang kondisi ini berbanding terbalik dengan polah tingkah dan gaya hidup yang ‘baru’ saja mereka temukan. Seolah, guru telah kehilangan jati dirinya sebagai pendidik menjadi artis pesolek.
Kondisi ini barbanding 180 derajat dengan nasib para guru honorer, baik yang freshgraduate maupun yang sudah lama mengabdi tetapi tanpa ada kejelasan pengangkatan. Dengan insentif yang sangat jauh di bawah standar, mereka biasanya dituntut bekerja lebih keras dengan berbagai iming-iming ;pengangkatan’ yang belum tentu jelas. Terkadang pula mereka tidak dianggap sebagai bagian dari tenaga kerja yang ada. Sungguh ironis, di saat para guru yang mendapat julukan ‘profesional’ menumpuk harta guru honorer mengais-ngais sisa sampah untuk menyambung hidup. Padahal, kalau kita cermati, justru para guru honorer lah yang memiliki jam terbang tinggi.
Berdasarkan gambaran tersebut, sangat tidak logis jika peningkatan anggaran pendidikan hanya digunakan untuk memanjakan para guru yang sudah nyaman di tempatnya. Justru adanya kenaikan anggaran pendidikan, seharusnya bisa untuk mengangkat kesejahteraan para guru honorer. Kalau dalam sistem perekonomian, inilah yang disebut perekonomian kapitalis. Di mana yang kuat dan bermodal kuat dan banyak dana adalah pemenangnya. Tidak, pendidikan kita tidak boleh terasuki sistem kapitalis. Karena dalam pendidikan, kita berurusan dengan manusia bersama rasa kemanusiaan bukan benda yang bisa diperlakukan semaksimal tanpa ada penyegaran.
Sudah saatnya para pengambil kebijakan ini berpikir ulang. Bahwa kenaikan anggaran pendidikan seyogyanya bisa meningkatkan kesejahteraan guru honorer. Sehingga, bisa mengikis kesenjangan antara guru sertifikasi dan guru honorer. Jika kesenjangan tidak terlalu kentara, saya kira akan lahir sekolah-sekolah dengan guru profesional dengan semangat kerja honorer, tetap kerja keras meski sudah dalam zona aman. Bukankah kita tidak ingin sekolah-sekolah kita menjadi kapitalis?
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Yogyakarta
*Tulisan ini termuat di harian Koran Merapi, edisi Kamis, 13 Juni 2013

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...