Seyogyanya, pemerintah
sebagaipengemban amanah UUD 1945 terutama pasal 33 mampu mengelola kekayaan
alam untuk kemaslahatan bersama. Tidak hanya bergantung dari pajak semata,
tetapi juga dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Sehingga, di samping
melaksanakan amanah negara dalam ikut serta memeratakan kesejahteraan umum juga
ikut andil dalam merangsang usaha-usaha berbasis masyarakat.
Akan tetapi, timpangnya
antara kuantitas SDA dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) idealism ini
sepertinya masih belum bias terealisasi. Terbukti, banyak BUMD yang dibangun
pemerintah untuk ‘menggerakkan’ perekonomian kerakyatan malah menjadi bancakan politik. Pembentukan manajemen
tidak dilakukan secara professional tetapi kebanyakan menggunakan sistem
nepotisme. Siapa yang dekat dengan birokrasi, maka merekalah yang memiliki
kesempatan besar masuk ke dalam manajemen perusahaan tersebut.
Jadi, tidak heran jika
banyak BUMD dikelola secara tidak professional. Kasus kerugian operasional yang
meningkat dari tahun ke tahun seperti yang terjadi pada PT Anindya Mitra
Internasional hanyalah contoh satu kasus. Bahwa ketika manajemen ‘dikuasai’
oleh nepotisme maka akan terjadi inefisiensi antara modal, biaya operasional
dan pengeluaran rutin dibanding dengan keuntungan yang didapat.
Bisa jadi, karena
merasa bukan miliknya sendiri maka penataan manajemen operasional tidakterlalu
diperhatikan. Sehingga yang terjadi bukan bagaimana pengelolaan BUMD bisa
menyejahterakan pengurus, karyawan, lingkungan dan negara.Tetapi, hanya sekedar
simbolis bahwa perusahaan BUMD itu ada ‘wujudnya’.
Kalau pemikiran
demikian sudah jauh merasuk ke dalam pengelolaan BUMD, maka siap-siap saja kita
lihat banyak BUMD yang sekarat. Bukan ikut mendukung pendapatan asli daerah (PAD),
tetapi malah menjadi beban yang harus ditanggung daerah. Padahal, konsep
pengembangan BUMD sebagai pilar usaha daerah adalah ketika keberadaan BUMD
tersebut mampu memfasilitasi usaha-usaha masyarakat agar berkembang.
Jika pengelolaannya
hanya sekedar menganut filosofi “asal bapak senang”, maka bias dipastikan bahwa
banyak daerah di Indonesia yang belumsiap menghadapi AFTA (Asean Free Trade Area) pada 2015. Jangankan bersaing dengan negara
lain, bahkan BUMD akan buta dengan peta antara kebutuhan masyarakat dengan
produk yang dihasilkan oleh BUMD-BUMD yang ada. Jika kondisinya tidak berubah
dan pengelolaan BUMD tetap bersifat ‘tertutup’, maka bisa dipastikan bahwa BUMD
hanya sekedar menjadi ‘sapi perah’ saja.
Maka, sudah saatnya
pengelolaan BUMD harus segera dilakukan secara professional. Di samping itu,
manajemen BUMD harus dapat menangkap pasar yang sedang dibutuhkan oleh
masyarakat. Karena kesuksesan operasional sebuah perusahaan, sangat tergantung
pada bagaimana produk yang dihasilkan langsung terserap pasar. Dengan demikian,
maka ada transformasi visi BUMD dari sekedar formalitas program pemerintah
menjadi salah satu kekuatan ekonomi pendukung pelaksanaan pemerintah daerah.
Salah satu solusi
brilian yangsaya kira masih layak untuk diaplikasikan adalah bagaimana BUMD
dapat berafiliasi dengan UMKM yang tengah berkembang. Pentingnya perluasan
kerjasama BUMD-UMKM, mengingat bahwa pengelolaan SDA Indonesia harus digunakan
sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Daripada berjalan sendiri-sendiri,
alangkah baik jika keduanya berjalan bersamaan saling memperkuat.
Jika dalam dua tahun
ini BUMD bisa lebih intensif dalam merangkul UMKM yang ada di daerah-daerah
maka niscaya kerugian akibat salah kelola BUMD bisa segera dihentikan. Karena
bagaimanapun juga, pendirian BUMD harus bisa menopang perkembangan pangsa
bisnis di tingkat masyarakat. Jika keduanya saling memperkuat, maka tidak ada
masalah ketika AFTA sudah diterapkan. Tentu saja, pada saat itu pergerakan
perekonomian kita bisa melakukan ekspansi ke negara-negara mitra yang tergabung
di dalamnya.
Isdiyono,Mahasiuswa
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas
Negeri Yogyakarta