Negeri kita tercinta
ini sedang dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan, yakni terancam menjadi
negara gagal. Hal ini sebagai akibat dari semakin banyaknya perilaku asli para
anggota dewan sebagai lembaga legislatif yang “menyelewengkan” kekuasaannya.
Sehingga, tidak mengherankan jika angka Golput dalam pemilihan kepala daerah
ataupun pemilihan umum semakin meningkat dari tahun ke tahun. Seharusnya, ini
menjadi catatan yang penting bagi anggota-anggota DPR untuk intropeksi diri.
Belum sampai kembali
percaya kepada para anggota dewan, publik kembali digemaskan dengan anggaran
kunjungan ke luar negeri yang mencapai 23 triliun rupiah pada tahun 2012 ini.
Jumlah ini hampir dua kali lipat dari jumlah dana yang dianggarkan untuk
kepentingan Daerah Otonomi Khusus (DOK) yang hanya mencapai angka 13,2 triliun
rupiah untuk 4 Provinsi. Rinciannya, Aceh mendapatkan sebesar 6,3 triliun
rupiah, Provinsi Papua sebesar 4,3 triliun rupiah dan Provinsi Papua Barat 1,8
triliun ruiah plus i triliun untuk pengembangan infrastruktur (detik, 20/08).
Jika ditambah dengan anggaran DIY setelah disahkan UU Keistimewaan pun hanya
bertambah sekitar 1 triliun rupiah saja.
Beberapa kunjungan DPR
ke beberapa negara bahkan disanksikan kebermanfaatannya, meskipun tidak semua.
Karena pada dasarnya, kebijakan-kebijakan yang ada di negara lain tidak bisa
begitu saja dicontoh. Atau, malah dijadikan sebagai pembenaran atas pemikiran
tentang kebijakan yang akan diterapkan di negara kita. Karena ketidakproporsionalan
antara kepentingan yang urgen dan tidak penting, harus dipilah agar tidak
semakin membuat rakyat geram.
Jika proporsi ini tidak
segera diperbaharui, kita perlu khawatir bahwa rencana percepatan pembangunan
daerah-daerah terdepan dan terluar dari negara kita ini akan terbengkalai.
Sebagai contoh pengembangan percepatan daerah ini adalah dengan revitalisasi
perbatasan-perbatasan Indonesia yang berada di darat. Karena sangat lucu ketika
perbatasan Kalimantan-Malaysia yang membutuhkan dana sekitar 200 miliar rupiah
tak juga disetujui. Bandingkan dengan rencana pembangunan jembatan selat sunda
yang mencapai 250 triliun berdasar rincian Bappenas dan pihak swasta.
Keutuhan NKRI
seharusnya mendapatkan prioritas yang lebih sebelum menjalin hubungan dalam
kebijakan pembangunan. Karena dengan pemerataan pembangunan, maka kemajuan
ekonomi mikro maupun makro dapat berkembang seiring dan sejalan. Dari
perbandingan dua anggaran (jalan-jalan dan pengembangan DOK), seharusnya
pemerintah harus lebih bijak dalam mengesahkan anggaran dan pelaksanaannya.
Sehingga, kebijakan yang diambil bisa menangguk keuntungan tanpa harus
menciderai rakyat Indonesia.
Isdiyono,
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas
Negeri Yogyakarta