Menjelang pergantian rezim, berbagai peristiwa menarik
dan tak terduga bermunculan satu demi satu. Pada tahun 2013 ini, berita
penurunan elektabilitas partai berkuasa (baca: Demokrat) sepertinya mengawali
peristiwa besar lainnya. Kasus-kasus korupsi yang menjerat para kader, secara
perlahan menjadi semacam kanker yang tidak terlihat tetapi mematikan. Dukungan
media kita yang bahkan lebih bebas daripada pers di Amerika sekalipun, turut
memberikan pembelajaran yang sangat berharga pada masyarakat.
Dari sepuluh partai
baru yang lolos verifikasi partai politik (parpol) peserta pemilu 2014, hanya
satu partai yang sempat menggebrak yaitu Nasdem atau Nasional Demokrat. Pada
awalnya, harapan publik tentang keraguan terhadap kepemimpinan bangsa yang
dipimpin oleh para ‘orang tua’ mendapat titik terang. Dengan semangat
perubahan, partai bentukan Surya Paloh ini mengikrarkan diri sebagai partai
perubahan. Meskipun, kemudian pada akhirnya mesin partai ikut terpecah menyusul
kengototan Surya Paloh yang mengarah untuk dicalonkan sebagai calon presiden.
Di saat PDIP pimpinan
Megawati sedang ‘galau’ memilih dan memilah capres yang diusung, berita paling
mengejutkan tentu saja berasal dari partai yang berslogan ‘bersih’, PKS. Entah
terlibat ‘permainan’ politik atau tidak, kasus kuota impor daging sapi tentu
menjadi perbincangan yang sampai saat ini saya kira masih layak
diperbincangkan.
Pasalnya, partai yang
semula menjadi ‘harapan’ publik dalam penegakan pengadilan korupsi pun pada
akhirnya tersandung daging sapi. Tentu sangat disayangkan, mengingat
elektabilitas partai ini dalam dua kali pemilihan umum menunjukkan grafik
peningkatan Perolehan suara. Partai lain? Masih belum terdengar gaungnya.
Peristiwa ini, seolah
melengkapi prediksi para pengamat politik bahwa 67 persen politikus di negeri
ini terlibat korupsi. Korupsi telah menjadi kanker kronis yang telah
menginfeksi negeri ini sejak pertama kali dibentuk. Bahkan, kalau kita menengok
kembali pada sejarah para ‘imperialis’ barat dahulu pun tidak lepas dari
perilaku ini. Kita tentu masih ingat,
bahwa korupsi mampu meluluhlantakkan kongsi dagang terbesar di dunia pada
zamannya, VOC.
Sejarah kita tidak
pendek bung! Terlalu panjang bahkan jika diajarkan sejak seorang warga negara
Indonesia masuk ke sekolah di tingkat PAUD. Sejarah terlalu sayang untuk
dilupakan, karena ia memiliki banyak kisah baik dan buruk perjalanan bangsa.
Seharusnya, kita lebih mendalami kembali sejarah kita. Bukankah Soekarno pernah
berpesan dengan idiom ‘jas merah’ (jangan sekali-kali melupakan sejarah)?
Berbicara tentang masa
depan bangsa ini untuk 5 tahun ke depan, tentu sangat tepat jika kita mulai
berpikir sedari awal. Sebagai pemilih ataupun calon pemilih yang cerdas, kita
harus menentukan pilihan yang ‘benar’. Jangan sampai kita menyesali pilihan
kita pada 2014. Memang sulit jika kita harus membela satu partai politik.
Meskipun, itu sudah menjadi hak setiap warga negara kecuali para anggota
TNI-Polri yang memang kehilangan hak suaranya. Karena fakta-fakta telah
menunjukkan kita pada kondisi partai politik yang masing-masing memiliki noda.
Kalaupun kita memilih
berdasarkan figur, saya kira kita semua akan memicingkan mat. Bagaimana
partai-partai sudah berani ‘menjual diri’ dengan merekrut para artis. Bahkan,
Bang Haji Rhoma Irama yang pada awalnya diguraukan menjadi capres 2014 pun
malah sudah benar-benar menyiapkan mesinnya. Belum lagi, ekspansi para artis
ibukota ke Senayan telah membuat kita harus sering-sering mengelus dada.
Bagaimana pelawak Eko Patrio yang berhasil masuk Senayan. Atau Wanda Hamidah
yang beberapa waktu lalu terpeleset kasus Rafi Ahmad.
Sepertinya, Senayan
saat ini sudah menjadi panggung hiburan. Sehingga, tidak heran jika polah
tingkah mereka pun penuh dengan kepalsuan artis atau tenggelam dalam
bayang-bayan partai. Tentu saja, kita memberikan beberapa pengecualian seperti
pada Rieke Dyah yang memang bekerja di lapangan dan mengawal
kebijakan-kebijakan.
Sekali lagi, sadar atau
tidak saat ini kita sedang dihadapkan pada dilema yang sangat pelik. Di satu
sisi, sebagai warga negara kita harus menentukan pilihan kita untuk pemimpin
bangsa. Di sisi lain, kita dihadapkan pada pilihan golput setelah melihat polah
tingkah ‘pilihan’ kita lima tahun yang lalu. Partai sebagai aktualisasi
kebersamaan rakyat Indonesia, sekarang ini tak ubahnya tinggal menjadi mesin
usang yang berkarat.
Dibuang sayang, mau
diperbaiki sudah terlanjur terkorosi di sana-sini. Yang jelas, sebagai warga
negara yang baik kita harus tetap berpartisipasi. Meskipun pelik dan menyedihkan,
kepemimpinan harus kita serahkan kepada orang-orang yang mampu mengembannya.
Jadi, jangan sampai kita salah memilih pemimpin untuk masa depan. Karena kalau
bukan kita, siapa lagi yang harus membenahi bangsa ini?
Termuat di Nguda rasa Koran Merapi edisi Senin, 11 Februari 2013
Isdiyono, Mahasiswa FIP
Universitas Negeri Yogyakarta