Guru dalam kitab-kitab
Hindu dituliskan sebagai seorang pembagi ilmu atau pemandu spiritual
murid-muridnya. Seiring dengan perkembangan zaman, istilah guru menyempit
menjadi seorang yang mengajar di lembaga formal. Dengan ilmu mendalam yang
dipelajari, maka guru pada saat ini lebih banyak perannya sebagai sebuahi
profesi daripada panggilan jiwa. Sehingga, tidak heran jika banyak guru
mengeluh ketika imbalan yang diterima dirasa kurang sesuai dengan
pengabdiannya.
Terlepas dari hak dan
kewajiban dari guru, ada beberapa hal yang perlu kembali dipahami oleh para
guru. Bahwa pada hakikatnya, seseorang bias mengajarkan kepada orang lain
karena ia sudah terlebih dulu belajar dan membaca. Usia dan pengalaman, memang
sudah sepantasnya membuat seorang guru lebih tahu dari muridnya. Tahu bukan
berarti lebih pandai, karena bisa jadi muridnya lebih pandai daripada yang
mengajarkannya.
Tidak sedikit contoh
seorang murid lebih pandai pada bidang-bidang tertntu daripada muridnya. Perkembangan
kepandaian seorang murid, setidaknya ditentukan oleh tiga hal yaitu kemauan
anak, dukungan orang tua dan bimbingan dari guru. Tidak mungkin seorang murid
akan menjadi cerdas jika salah satu dari 3 syarat tersebut tidak terpenuhi.
Kemauan anak merupakan
hal awal yang harus dimiliki setiap individu dalam bersaing. Target dan
kesadaran diri sendiri untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu adalah
pembeda antara anak satu dengan yang lain. Tingkat kesadaran yang berkaitan
dengan kedewasaan, bisa lekas muncul ketika terdapat arahan dan dukungan orang
tua. Sehingga, si anak bisa mandiri dan sedikit demi sedikit meningkatkan level
si anak. Guru sebagai pendidik, memiliki tugas yang penting dalam membentuk
pola piker anak. Frekuensi pertemuan yang tinggi, sangat memungkinka terjadinya
hal tersebut.
Sebagai seorang
pembimbing di bidang-bidang yang khusus, seorang guru memiliki tanggung jawab
dalam memahami keingintahuan anak. Hal inilah yang di beberapa kasus tidak
diperhatikan oleh guru. Begitu pentingnya memahami dan memfasilitasi keinginan
anak, maka seorang guru harus belajar dari tokoh-tokoh hebat yang ‘diusir’ dari
sistem persekolahan. Misalnya Edison, Einstein hingga Tetsuko Kuroyanagi alias
Totto-chan. Terkadang, bukan salah si anak jika mereka menjadi bodoh di
sekolah. Bisa jadi karena gurunya yang kurang memahami.
Sebagai seorang
pendidik, keinginan untuk selalu belajar mutlak dimiliki dan dikembangkan.
Tanpa adanya keinginan untuk selalu belajar, pendidikan ibarat naik sepeda
motor tanpa tahu kebutuhan bensin berapa, kapan harus ganti oli, kapan harus
diservis dan kebutuhan lainnya. Tanpa keinginan menginspeksi ‘kendaraan’, bisa
jadi seorang pengendara akan mengalami mogok di tengah jalan. Syukur jika mogok
di kawasan dengan bengkel banyak. Jika di tengah sabana atau di tengah hutan,
apa yang akan terjadi?
Maka, belajar harus
menjadi kebutuhan yang melekat di dalam pandangan guru. Termasuk belajar kepada
muridnya sendiri. Seorang guru professional, tidak bisa memenuhi 4 kompetensi
diri yakni kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian dan sosial tanpa
adanya murid. Murid membuat ilmu yang telah didapat oleh guru menjadi sangat
bermanfaat. Karakter anak yang berbeda dari waktu ke waktu secara tidak
disadari telah memupuk kemampuan analisa kebutuhan siswa.
Kepolosan dalam
berbicara dan berceloteh, terkadang sangat penting dan berguna dalam memaknai
hidup dan perkembangan si anak. Karena kejujuran anak, tidak selalu didapatkan
dari orang-orang dewasa. Belajar kepolosan, berarti belajar tentang kejujuran
dan tanggung jawab. Tugas seorang guru dalam hal ini adalah menjaga dan
mengembangkan sikap-sikap positif. Jangan sampai seorang guru memutus
perkembangan pemikiran anak dengan teriakan, makian dan cacian. Karena anak
akan merekam setiap apa yang diucapkan guru.
Pesan dari Nabi tentu
membenarkan bahwa belajar dari murid pun sangat dilakukan oleh seorang guru,
“dengarkan apa yang diucapkan, tapi jangan lihat siapa yang mengucapkannya.” Begitu
indah, jika seorang guru mampu belajar dari murid ketika sedang berada di
sampingnya. Karena guru merupakan subtitusi orang tua dalam lembaga yang formal
maupun non-formal. Jangan sampai guru malu belajar dari murid, guru pembelajar
selalu optimis terhadap tantangan-tantangan. Karena dari tangan merekalah, para
ahli dibentuk menjadi profesional. Selamat hari guru.
Isdiyono,
Alumnus Fakultas Ilmu Pendidikan UNY