Saat ini, semakin banyak kompetisi
tulis-menulis yang diadakan di berbagai tempat dan institusi. Bahkan, mulai
dari SD, Sekolah Menengah, Mahasiswa dan tingkat umum, memiliki kesempatan
untuk berpartisipasi di dalamnya. Saya tidak ingin membahas sisi negatif dari
pelaksanaan kompetisi ini. Karena setiap hari dan setiap waktu, kita telah
dijejali dengan berita-berita negatif dari televisi maupun media cetak lainnya.
Artinya, aktivitas tulis-menulis pada
saat ini telah mendapatkan tempat yang terhormat. Tidak sekedar aktivitas
“kering” yang tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan, peserta yang kemudian
berpartisipasi pun meningkat dari waktu ke waktu. Pada era saya berkuliah,
setiap kali ada even tulis-menulis yang ikut bisa dihitung dengan jari. Semakin
hari, para peminat semakin bertambah. Di beberapa kompetisi yang saya ikuti,
rata-rata peserta yang ikut tidak kurang dari 100 naskah. Luar biasa!
Dengan semakin banyak peserta, tentu
saja prestis keikutsertaan (apalagi jika lolos dan menang) semakin meningkat.
Kalaupun masih ada orang yang mencibir, mereka orang yang tak tahu-menahu
tentang kenikmatan menulis. Terutama saat tulisan kita dihargai. Kata Syahrini
: “Sesuatu ya ... <3...”
Namun, sayangnya tidak semua panitia
mampu membedakan antara tulisan berupa esai dengan tulisan berupa karya tulis.
Keduanya sering dicampuradukkan menjadi satu. Yang menjadi korban, tentu saja
para penikmat esai. Yang kadang tambah menyebalkan adalah ketika juri tidak
mengetahui apa itu esai dan apa itu karya tulis.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya,
yang namanya esai itu tidak berbeda jauh dengan artikel. Perbedaan hanya
terletak pada jumlah halaman dan nilai berita yang disajikan. Kalau artikel
sekali baca, kemudian besok sudah tidak menarik lagi karena dianggap sudah
basi. Kalau esai, cukup lama waktu basinya.
Dengan bertebarannya kompetisi esai di
berbagai media institusi, ada baiknya kita belajar mengidentifikasi esai-esai
seperti apa yang harus kita buat. Tanpa strategi dan trik, tentu kita akan
selalu kalah ketika berkompetisi. Karena biasanya, esai yang masuk di meja juri
itu sangat banyak jumlahnya. Tidak mungkin juri memilih esai yang biasa-biasa
saja dan sangat umum.
Nah, sebelumnya saya ingin sedikit
cerita tentang esai di Unnes beberapa waktu yang lalu. Kebetulan, naskah saya
masuk ke dalam 15 besar finalis. Keikutsertaan saya, sebenarnya cuku terpaksa
karena sebenarnya sudah tidak terlalu berminat. Hanya karena dari UNY minim
yang berkirim, maka saya selesaikan satu naskah saya. Dan, Alhamdulillah bisa
lolos. Bayangan saya, tidak ada presentasi untuk menentukan esai terbaik, akan
tetapi ada presentasi yang saya kira sangat aneh untuk jurusan yang sebenarnya
mengenal esai lebih baik dari jurusan-jurusan yang lain.
Jika memang benar-benar paham, maka juri
akan mempertanyakan karya-karya esai yang berupa karya tulis. Pasalnya,
keduanya memiliki substansi dan nilai estetika yang berbeda. Kalau esai
cenderung pada konsep, tetapi kalau karya tulis terlihat dari struktur,
kekakuan bahasa dan keharusan solusi. Padahal, kalau esai setahu saya, adalah tulisan
yang disusun untuk memberikan apresiasi, kritik, opini dan harapan-harapan.
Terkait penilaian, biarkan saja pembaca yang menginterpretasikannya. Penulis
tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan esainya itu tentang apa.
Faktanya, justru juri sangat asyik
menikmati esai-esai yang berupa karya tulis tersebut. Ya, secara aplikasi,
karya tulis lebih unggul jika dibandingkan, sejelak-jeleknya karya tersebut.
Karena apa? Karena karya tulis lebih sistematis dan kurang mengedepankan
estetika. Sedangkan esai, kita menulis dan mengaduk-aduk pikiran pembaca
melalui art of writting. Bukan
kemudian saya mengecam kepanitiaan. Tetapi, saya ingin menjadikan ini sebagai
sebuah pelajaran berharga dalam memahami medan perang dunia esai.
Tidak
perlu idealis
Pendapat ini cocok saya alamatkan pada
kompetisi-kompetisi esai yang diadakan oleh lembaga mahasiswa. Alasannya?
Booming edaran kewajiban mahasiswa menulis karya tulis ilmiah sebagai syarat
kelulusan, bberbanding lurus dengan tuntutan birokrasi kampus dala meresponnya.
Bak kebakaran jenggot, jurusan-jurusan, fakultas hingga universitas-universitas
pun bergegas memperbaiki jenjang kaderisasi kepenulisannya. Dampaknya, alokasi
dana untuk kegiatan kepenulisan ilmiah pun menggembung.
Dulu, sebelum ada edaran ini, banyak
mahasiswa bingung mencari dana untuk memuaskan kemampuan menulisnya. Setelah
disyahkan, mahasiswa seolah digiring dan dipaksa berpikir secara ilmiah.
Hasilnya, seminar-seminar dan kepelatihan kepenulisan pun menjamur. Tidak
tanggung-tanggung, kaderisasi kepenulisan sudah dimulai dari sejak pertama
kalinya mahasiswa mengingjakkan kaki di almamater secara resmi.
Selain dampak positif sebagai bagian dari
tergugahnya semangat mahasiswa untuk menulis, dampak negatif pun mengiringi.
Pemikiran mahasiswa, pada akhirnya digiring untuk berpikir seperti karya tulis.
Seolah, tidak ada bentuk lain tulisan yang bisa mereka tuliskan. Cerpen, esai,
novel, resensi, diary hingga memoar pun ditinggalkan. Semua tertuju pada satu
titik : karya tulis.
Alhasil, tulisan-tulisan mahasiswa itu
terpusat pada tulisan sistematis yang tidak ada unsur seni sedikitpun. Semua
kaku, seragam dan berakhir dengan kata-kata : “ini masih prototipe...ini masih
kami kembangkan...di tempat kami seperti ini...atau kata-kata ‘mungkin’ yang
saya sampe sedikit mual mendengarnya.” Lalu, di mana unsur ilmiahnya? Unsur
kepastian, jika semua karya tersebut dihiasi dengan kata mungkin dan “dalam
pengembangan.” Meskipun saya pernah juga menyatakan frasa kedua, tetapi cukup
kali itu saja. Dalam tulisan-tulisan selanjutnya, saya paksa tulisan saya agar
tidak membosankan seperti yang saya bilang tadi.
Berpikir trik, kita tidak boleh
mengabaikan pendapat di atas. Untuk alasan-alasan yang lebih praktis, kita
dituntut untuk menyesuaikan tulisan kita dengan kebutuhan pasar. Bukan menolak,
tetapi seorang penulis yang bertekad kuat, tentu tidak akan terlalu
mempermasalahkan hal ini. Yah, meskipun bisa jadi dalam hati dongkolnya minta
ampun.
Saran saya, untuk esai-esai berujung
presentasi yang aneh bin ajaib ini, tidak ada salahnya kawan-kawan menulis dengan
gaya karya tulis. Jika perlu, bawa prototipe atau alat-alat pendukung lain jika
teman-teman lolos. Karena kemenangan itu akan diraih, hanya dengan persiapan
yang matang. Tanpa persiapan, nonsen jika teman-teman menargetkan juara. Cukup
satu even ini yang saya ikuti, selanjutnya saya tak akan menyentuh esai yang
seperti itu. Bukan saya mencegah teman-teman, tetapi menyemangati diri dan
orang lain untuk kembali menikmati esai sesuai dengan “fitroh”nya. Bukan esai
gaya cangkokkan karya tulis yang bebal dan menurut saya, merusak citra esai.
Jika dalam kompetisi esai umum, yang
diadakan organisasi di luar kampus, seperti yang saya katakan bahwa kita harus
menunjukkan art of essay. Bahwa esai,
memiliki makna yang lebih mendalam. Saya sangat berharap, esai-esai generasi
penerus tidak membosankan seperti gaya karya tulis. Saya masih ingin terus membaca
getaran-getaran luapan emosi tulisan Goenawan Mohammad, kritik cerdik
berpolitik ala Efendi Ghozali, nilai budaya dalam balutan politik kontemporer
ala Bandung Mawardi atau tulisan-tulisan Cak Nun yang lucu dan menggelitik.
Ikutilah kompetisi lebeeh hasil perkosaan mahasiswa terhadap citra esai
berbasis karya tulis, tetapi jangan gadaikan seni esai dalam setiap nafas
tulisanmu. Karena ia yang akan memanjangkan kata-katamu!
Isdiyono, 08 November 2012
Materi untuk kampus Wates, saat saya tak
bisa datang...
Semangattttttt ...