" ...Jika kau menulis kebaikan, mengapa kau sibuk mencari inspirasi?"
F. Adzim
Menulis,
satu hal yang dilupakan dalam dunia pendidikan kita selama ini. Dari TK, SD,
SMP, SMA, hingga perguruan tinggi kita diajarkan bermacam teori tentang
menulis. Tetapi, yang sering dilupakan adalah, kenapa tidak semua lulusan
sekolah di Indonesia memunculkan tulisannya?
Kalau
secara kultural, memang masyarakat kita masih masyarakat verbal, berkomunikasi
dari mulut ke mulut. Semua pengetahuan pun disalurkan melalui kata-kata.
Sehingga, akan sulit memberikan pembelaan terhadap sebuah hasil pemikiran. Yang
lebih menyesakkan adalah kenyataan bhwa kita belum menjadi bangsa yang
menjadikan aktivitas menulis sebagai sarana untuk meruntutkan pola pikir.
Sehingga,
kita terbiasa mempelajari tanpa bisa mengaplikasikannya. Seperti kasus dalam
olimpiade dunia. Bukankah Indonesia selalu menyabet medali emas ? Tetapi kenapa
rata-rata ilmuwan kita kalah dengan bangsa-bangsa lain? Karena kita masih
berkutat dalam hal membuktikan dan mempelajari teori, belum sampai pada proses
membuat dan mengaplikasikannya. Nah, kapan bangsa kita akan maju? Ketika kita
mau berpikir dan bertindak. Kapan?
Nah,
memang kita semua tidak akan menemukan arti pentingnya menulis manakala kita
tidak tahu manfaatnya.Nah, untuk menulis maka seharusnya kita memiliki tujuan.
Apakah itu tujuan pragmatis, ataukah tujuan teoritis. Semua tergantung dari
masing-masing individu. Yang jadi pertanyaan adalah, maukah kau menulis?
Ketika
sedang berjalan di kampus, seringkali ada teman yang menyapa, terus bertanya
bagaimana caranya menulis. Hmm, dengan sedikit tersenyum kujawab seadanya.
Bukankah dari kecil kita diajarkan untuk menulis? Berhakkah saya memberitahu
orang yang lebih tahu dari saya? Bukankah nilai Bahasa Indonesia saya lebih
rendah dari mereka saat UN?
Kalau
saya perhatikan, keinginan menulis sebagian besar-maksudnya tidak semua-
hanyalah emosi sesaat. Padahal, seharusnya keinginan yang sesaat ini dapat kita
jadikan momentum untuk memulai. Bukankah menulis tidak membutuhkan waktu yang
lama? Cukup satu jam saja kita bisa menulis minimal dua lembar naskah utuh.
Apapun bentuknya, itu adalah sebuah tulisan.
Kalau
kata Pak Hendra, " Kita tidak membutuhkan teori untuk menulis, tetapi
praktik..." Memang, terlalu membosankan ketika kita ingin menulis tetapi
di kelas hanya diceramahi tentang bagaimana tulisan yang baik. Seorang dosen
(Hidden Name), yang master bahasa selalu menekankan mahasiswanya untuk
mempelajari tulisan yang baik dan tidak menyesatkan. Tetapi, beliau sendiri
tidak menghargai tulisan mahasiswa. Padahal, tujuan utama belajar bukankah untuk
menumbuhkan potensi baik?
Hidup
bukan hanya untuk berteori, tetapi mengembangkan teori untuk tujuan yang baik.
Untuk menjunjung tinggi aspek intelektual ummat, media dakwah, pesan moral,
hiburan atau tujuan-tujuan yang lain. Bahkan, banyak temen-temen penulis senior
yang sudah melanglang buana di dalam dunia tulis menulis seperti Kang Anton
atau Pak Beni bisa menghidupi diri sendiri dengan menulis.
Adalah
sebuah dosa yang besar ketika mahasiswa tidak mau mengembangkan derajat
keilmuannya. Lalu, di mana harus diletakkan status itu jika tidak disebarkan
untuk masyarakat luas? Bukankah setiap masuk kuliah untuk pertama kali, para
aktivis selalu meneriakkan yel,"Mahasiswa adalah agen of
change?"Kalau menurut saya, sungguh berdosa ketika seorang
aktivis mengatakan apa yang tidak diucapkannya. Jadi, apa yang ingin kau
lakukan untuk pendidikan? Untuk masyarakat? Untuk Bangsa? Untuk negara? Untuk
agama? Untuk perbaikan diri?
Wallahu
a'lam
Ayo
goreskan pena!!!
Isdiyono,
10 Juli 2010
With
full of hope to writting an uses article...