Thursday 22 March 2012

Ketulusan Seorang Guru

 “Seperti hujan, dia menyirami setiap inci tanah yang dilewati awan
Seperti air, dalam diamnya dia membawa apapun yang ak diketahui…”

Dalam berbagai bahasa, guru diartikan seagai orang ang diutus untuk memberikan pencerahan. Hal ini terlihat dari kata mu’alim, ustadz atau resi yang berarti orang yang mampu melepaskan sebuah kondisi masyarakatnya dari gelap menuju terang. Jadi, sesungguhnya kata guru memiliki potensi nilai kesakralan dalam kehidupan kita.
Namun, sebuah pekerjaan atau profesi yang mulia tidak bisa didapat dengan mudah. Perjalanan menuju keahlian khusus adalah kenikmatan tersendiri ketika seorang telah yakin dengan keputusannya. Tidak terkecuali profesi seorang guru, keihklasan dalam menjalani proses adalah kunci dalam mencari jati diri. Bahwa tak ada proses yang sedemikian mulusnya untuk mencapai tujuan, tetapi penuh dengan jalan yang berliku.
Profesi guru menjanjikan amalan-amalan yang banyak hingga semua orang sepakat bahwa guru adalah pekerjaan yang sangat mulia. Setiap hari dan setiap saat dalam hidupnya di sekolah dilalui dengan memberi ilmu. Perkembangan ilmu anak itu sendiri tidak akan terputus pada satu orang saja. Satu orang bisa menyebar pada orang lain. Sehingga menjadi guru berpotensi menabung berkuadrat-kuadrat amalan.
Sehingga, tidak heran jika posisi guru sangat dicari, most wanted. Begitu menariknya tantangan menjadi guru, bahkan pendaftar mahasiswa kedokteran pun bisa dikalahkan. Meski tujuannya bermacam-macam, hal ini setidaknya dipertimbangkan sebagai sebuah profesi yang tidak biasa. Harapannya adalah kenyataan ini terjadi karena meresapi perkataan suci, bahwa sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
 Namun, tidak semua orang menjadi guru tidak datang dari dalam hatinya yang tulus. Banyak juga yang masuk karena dipaksa, karena kondisi atau karena orang tua menghendaki. Memang sulit menerima kenyataan kalau kondisinya adalah demikian. Namun, seiring dengan waktu, setiap orang yang mempersiapkan diri menjadi seorang guru akan menyadari pentingnya proses. Bahwa tujuan itu memang terkadang harus dipaksa agar bisa keluar.
Tinggal, bagaimanakah seseorang memandang kenyataan sebagai sebuah keyakinan bahwa kita memang dibutuhkan. Bahwa anak-anak yang lucu di sekolah elah menanti wajah ceria ketika seorang guru masuk ke dalam kelas. Dengan membawa tas jinjing,anak dibawa ke alam mimpi. Anak dibawa ke alam cita-cita tertinggi dalam mencari kebenaran.
Menjadi guru memang beresiko menabung amalan yang sangat banyak. Akan tetapi, Salim A. Fillah dalam bukunya Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, menyatakan bahwa menyampaikan kebaikan itu nada dua kemungkinannya. Pertama adalah menabung amalan. Sungguh bisa dibayangkan sungguh mulianya jika seorang manusia bermanfaat bagi orang lain. Bisa membagikan ilmu yang dimiliki pada orang lain.
Kemungkinan kedua adalah mengkuadratkan dosa-dosa. Seorang guru yang memang berniat menebarkan keburukan, sudah dapat dipastikan bahwa dia akan mengkuadratkan dosa. Bahwa apa yang disampaikan pada anak-anaknya di sekolah akan diserap. Mungkin tidak akan terluapkan pada saat itu juga. Tetapi mengendap hingga menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Namun, tidak usah akut menjadi seorang guru. Bukankah kesalahan yang tidak disengaja dalam membaca Al Qur’an saja mendapatkan pahala satu ? Pada intinya, seorang guru adalah seorang pembelajar sejati. Dia tidak akan menyerah untuk menyaksikan senyum tulus anak-anaknya. Berusaha tetap tersenyum meskipun batinnya sedang menangis. Karena dia tahu, bahwa anak-anaknya telah menunggu kehadirannya. Sehingga anak-anak menyambutnya dengan kata-kata, “ Pak, hari ini kita akan belajar apa ? “
Isdiyono, Mahasiswa PGSD Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Kelas s8b

Lomba Menulis KMIP : My Teacher, My Inspiration
2008



Wednesday 14 March 2012

Alangkah Lucunya Sekolahku

“Hari gini sekolah, apa kata dunia ? “

Akhir-akhir ini makin marak penggunaan plesetan slogan yang dikeluarkan promosi dinas perpajakan. Pertama adalah dengan mengurangi kata “nggak” menjadi , “hari gini bayar pajak, apa kata dunia ?” Plesetan ini tidak lepas dari kelakuan golongan aristokrat yang menyelewengkan kekuasaan. Kenyataan ini memang sangat lucu, orang-orang ini tidak bodoh, tidak pula sedang lalai. Sebagai kaum yang memiliki ilmu lebih, hal ini sangat memalukan.
Kemudian, ketika kita melihat fenomena ini pastilah menyalahkan pendidikan dahulu terkait dengan penokohan dan keteladanan. Bahwa dongeng kancil menjadi sumber semua bencana ini. Kecerdikan kancil dalam mengelabuhi musuh-musuhnya telah diterapkan dengan sungguh-sungguh. Bukan untuk diambil hikmahnya, tetapi untuk diambil kelicikannya.
Ya, pendidikan kita masih dalam taraf mengaplikasikan budaya lisan. Begitu kentalnya, hingga semua tayangan yang berbau gosip selalu laris di dalam program televisi maupun di surat-surat kabar.  Di saat koran-koran pendidikan kolaps, koran-koran gosip tumbuh subur menjadi santapan sehari-hari. Hampir semua orang begitu percaya pada hal-hal yang belum tentu kebenarannya. Nah, kebudayaan lisan ini jika tidak segera diimbangi dengan budaya tulis akan menjadi sangat berbahaya.
Pendidikan hanya akan menghasilkan penceramah, pendongeng, penggosip atau penipu saja tanpa mengedepankan aksi nyata. Seperti yang kita lihat sekarang, negeri kita ini baru bisa menghasilkan banyak peramal atau orang pintar daripada ilmuwan. Padahal, kemajuan sebuah bangsa adalah ketika memiliki banyak kader-kader yang siap untuk berpikir secara ilmiah dalam bidang kehidupan. Harapannya adalah agar mereka bisa mengembangkan keahliannya tersebut.
Namun, pada kenyataannya harapan itu tinggallah harapan kosong saja. Bahkan, perumusan konsep pendidikan yang pasti sesuai dengan kepribadian bangsa belum bisa dioptimalkan. Pendidikan karakter yang menjadi topik utama selalu dibahas di dalam forum-forum seminar. Namun, apa hasilnya ?
Pendidikan karakter yang diduga bisa mengatasi permasalahan bangsa masih sebatas wacana. Belum bisa terumuskan dengan baik apa yang disebut dengan karakter pendidikan. Kalaupun jika yang dimaksud adalah kepribadian yang matang dan berpandangan luas, hal ini tidak bisa dicapai dengan instan. Pendidikan adalah sebuah proses, bukan sekedar hasil instan.
Kalaupun pendidikan karakter berhasil digunakan untuk mengubah kepribadian seorang siswa di sekolah, maka ketahanannya tak akan berlangsung lama. Penddikan yang dirumuskan dan dipaksakan hanya akan menjadi angin lalu saja.Begitu bingungnya, sampai-sampai pendidikan karakter dijadikan sebagai muara pendidikan.
Permasalahan lain yang timbul adalah pertanyaan, jika pendidikan karakter menjadi solusi bagaimana pelaksanaannya di sekolah? Apalagi kalau di seluruh tanah air. Tentu saja hal ini akan semakin membebani tugas guru di sekolah. Guru harus memikirkan pembelajaran yang sesuai dengan karakter tanpa harus menghilangkan kenikmatan mereka dalam belajar.
Permasalahan semakin tambah rumit ketika sekolah bertaraf internasional (SBI) diterapkan. Pendidikan dilaksansakan dengan memperkenalkan budaya asing dengan memberikan sedikit porsi pada nilai-nilai lokal. Bukannya sekolah harus membentengi diri dari pengaruh budaya luar. Karena memang sudah bukan zamannya lagi sekolah sesuai dengan kebijakan para penguasa. Tetapi bagaimana menyelipkan nilai budaya lokal dalam memberikan kebanggaan diri untuk meningkatkan semangat nasionalisme dalam meningkatkan kapasitas pendidikan yang setara dengan pendidikan di negara lain.
Pendidikan adalah persiapan seorang anak untuk membangun peradaban dalam masyarakatnya. Dari pemikiran inilah sesungguhnya pendidikan karakter itu dibentuk. Tidak usah diperdebatkan tetapi diperdalam kajiannya sehingga dapat dirumuskan solusinya. Bagaimana memaksimalkan interaksi anak dalam kehidupan di luar sekolah dibawa ke dalam.
Di sinilah sebenarnya pentingnya seorang guru dalam membangun karakter bangsa. Bersemangat mendidik generasi penerus dengan program yang tidak menggurui atau membebani anak, tetapi menyelipkan pesan-pesan dalam pembelajaran. Sekaligus memberikan keterampilan kepemimpinan. Pemimpin bukan terbentuk instan tetapi bertahap dalam proses pendewasaan
Sekolah yang baik kelasnya tidak akan terlihat polos. Penuh dngan tempelan luapan ekspresi mereka. Inilah kunci agar sekolah selalu hidup dalam dunia anak-anak. Jadi, di sini anak tidak perlu untuk diberi tahu konsep penyelenggaraan sekolah, dalam pendidikan di sekolah dasar. Yang penting anak tahu dan mau untuk memahami sedikit demi sedikit.
Pentingnya pemberian porsi pembelajaran di setiap jenjang sekolah adalah agar anak menerima pengetahuan yang sesuai. Bagaimana sekolah dibentuk dengan cinta dan kebersamaan. Sudah bukan zamannya lagi sekolah dibangun dengan ambisi orang tua. Sekolah bukan lahan bisnis yang menguntungkan di kemudian hari. Sekolah adalah salah satu tempa yang berguna dalam penanaman nilai-nilai humanisme. Memanusiakan manusia.
Dalam artian, nilai humanisme itu telah mencakup semua aspek proses pendidikan. Pendidikan yang menyenangkan dan membuat nyaman siswa dalam pembelajaran di sekolah. Karena sekolah bukanlah kamp militer yang selalu diidentikkan dengan kewajiban. Hukuman fisik sebagai hadiah sudah tidak sesuai dengan zamannya, kecuali guru olahraga tentunya.
Anak bukanlah objek pendidikan, tetapi subjek pendidikan. Seorang pelaku pendidikan yang berhak mendapatkan pendampingan dalam membangun pengetahuannya sendiri. Dengan sedikit sentuhan dari seorang guru tentunya. Kita tidak ingin sekolah kita ditertawakan karena lucu kan ?
Isdiyono, Pengamat Pendidikan

Belajar dari Siasat Perang Sun Tzu


“Kemenangan adalah ketika kau menang tanpa perlu berperang…”
Kalimat di atas adalah salah kalimat siasat Sun Tzu yang terkenal. Di dalamnya terkandung nilai yang besar terkait dengan peperangan yang dimenangkan tanpa adanya pertumpahan darah. Bahwa di dalam setiap masalah, sekalipun pelik, maka selalu ada srategi untuk memenangkannya dengan cara yang anggun. Menyerang tanpa menyakiti, mencapai target tanpa mengesampingkan dan puncaknya adalah memenangkan peperangan tanpa harus mengeluarkan keringat untuk memenangkannya.
Nampaknya, siasat perang tersebut perlu diaplikasikan dalam mempertahankan bangsa saat ini. Di tengah gempuran dan pelecehan dengan beberapa pengklaiman, sudah saatnya Indonesia bangkit, bicara dan bertindak. Tentu saja tidak dengan aksi-aksi anarkis, tetapi dengan cara terhormat yang bisa mengembalikan kehormatan bangsa yang terkoyak ini.
Bangsa ini sedang membutuhkan strategi pertahanan kedaulatan sekaligus kehormatan. Karena kemerdekaan bangsa ini bukanlah hasil pemberian dari para penjajah, tetapi dari harga darah dan air mata yan elah disumbangkan para pahlawan bangsa. Mereka yang telah berjuang dan mempersembahkan kemerdekaan untuk kita semua. Maka, sudah sepantasnya kita mempertahankan harga diri itu. Karena harga diri bangsa kita ini terlalu sayang untuk disia-siakan.
Belajar dari kalmiat Sun Tzu, agaknya terlalu berharga ketika kita akan mengorbankan sesuatu yang berharga semisal nyawa hanya untuk hal-hal yang sebenarnya tida terlalu penting. Ada baiknya melihat dimensi penganiayaan itu dari sudut pandang sederhana untuk membalik keadaan. Melihat kondisi pertikaian dari sumber dan pusat permasalahan. Kemudian menyusun strategi pemenangan.
Permasalahan RI-Malaysia yang sudah berlarut-larut memang sangat sulit diuraikan dengan tidak merugikan salah satu pihak. Meskipun masih serumpun, kalau kita lihat berdasarkan latar belakang sejarah penjajahannya, kedua negara ini merdeka. Seperti yang kita tahu, Indonesia merdeka dengan memanggul senjata karena cara diplomasi sudah tidak bisa diharapkan lagi. Sedangkan tetangga kita merdeka dengan status persemamuran dengan Inggris. Artinya, Malaysia masih didukung pemerintah Inggris dalm perkembangan internal kenegaraaan mereka.
Jadi, sangat wajar bagi para demonstran meluapkan kegeraman dan kesabaran yang sudah habis ketika melihat perlakuan yang semena-mena. Karena pada dasarnya, kesemena-menaan itu tidak hanya terkait fisik saja tetapi telah menyentuh ranah psikis. Sikap semena-mena telah membakar jiwa-jiwa patriot yang telah lama terkubur. Meskipun terlihat anarkis, tetapi itulah wujud nyata kemarahan bangsa. Perasaan asli yang keluar dari sanubari terdalam.
Siasat Kesepahaman
Selama bertahun-tahun, negeri kita terinta ini terkenal dengan sikapnya yang selalu berprinsip non-blok dalam setiap sengketa. Meskipun pada saat yang bersamaan, Indonesia sebenarnya sedang membutuhkan bantuan. Prinsip inilah yang nampaknya terus melekat dalam setiap misi diplomatik. Pada awalnya, langkah ini merupakan langkah terbaik dalam menyelesaikan masalah. Tetapi, dalam perkembangannya kebijakan ini menjadi bumerang dalam kebijakan politik luar negeri. Bangsa ini seperti dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa lain dengan seperti tidak sadar.
Sudah saatnya Indonesia mengubah sedikit rel perjuangan dalam memperthankan kedaulatan ini. Bangsa ini harus bangkit dan memandang ke depan untuk kebijakan politiknya. Bahwa nada sedikit keras dapat diterapkan dalam menjaga kehormatan bangsa. Pada intinya, kesepahaman harus dicapai tanpa melukai, apapun caranya. Wallahu a’lam.
Isdiyono, 01 September 2010

Sumber gambar : http://westernrifleshooters.wordpress.com/2012/01/19/sun-tzus-art-of-war/


Sunday 11 March 2012

Menghargai Profesi, Belajar Anti-Korupsi


Selama ini, sekolah masih dianggap sebagai tempat seorang anak belajar tentang kehidupan. Atau bisa jadi, malah dipersepsikan secara lebih sempit bahwa tujuan sekolah adalah untuk mencari nilai.Hal ini tidak terlepas dari terbukanya pikiran para orang tua tentang pentingnya sekolah bagi masa depan anaknya. Berbeda dengan sekitar dua puluh tahun yang lalu. Sekolah adalah tempat orang yang punya uang, untuk anak-anak miskin tempatnya adalah bekerja sebagai kuli, pembantu rumah tangga atau yang lebih beruntung sedikit bisa berwiraswasta.
Akan tetapi, dalam perkembangannya sekolah sudah tidak lagi murni ditujukan untuk mengembangkan bakat anak, memberikan soft skill untuk bekal hidup, membentuk kepribadian baik, mendewasakan diri dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sekolah mulai dicampuri oleh berbagai macam kepentingan mulai dari kepentingan politis hingga kepentingan orang tua yang ingin anaknya menjadi yang terbaik
Alasan utama yang sering dikemukakan berbagai ahli pendidikan dalam menyusun pondasi pendidikan adalah bahwa pendidikan harus linear dengan kebutuhan masyarakat. Pendidikan yang demikian, diartikan secara sempit sebagai salah satu cara untuk mempertahankan nilai-nilai yang sudah ada. Dalam artian, mempertahankan nilai tanpa melihat kesesuaian dan konsep benar-salahnya.
Merubah paradigma tradisional pada paradigma modern, bukan berarti ditujukan untuk merubah tatanan nilai-nilai tradisional. Bukan pula untuk mempelajari bahasa internasional seperti yang terjadi pada kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang dianggap sebagai kegagalan. Tetapi, bagaimana kemudian membentuk paradigma siswa yang berpandangan global tetapi tetap bertindak lokal (Think global, Action locally).
Selama ini, bentuk pendidikan berstandar internasional diartikan sebagai sebuah sistem persekolahan yang menggunakan bahasa asing (Inggris) sebagai pengantarnya. Padahal, pendidikan global itu dibatasi oleh sekat batas negara. Tidak ada standar pendidikan internasional ataupun kurikulum internasional. Karena memang demikianlah yang akan membuat perbedaan di setiap negara.
Jepang, sebagai negara maju pun tidak memiliki dasar ideologi, tetapi mereka memiliki nilai-nilai semangat nasionalisme. Dalam konteks ke-Indonesiaan, ideologi sebenarnya malah membatasi arahan tujuan pendidikan nasional kita. Sebagai contoh, Pancasila sebagai ideologi  tidak bisa memberikan jaminan bahwa Pancasila bisa membentuk karakter manusia Indonesia yang berkualitas tinggi. Bahkan, pelaksanaan P4 pada masa orde baru lalu malah menjadikan ideologi kita sebagai bahan teori, bukan praktik. Sehingga, tidak perlu heran jika banyak orang pandai dan berpendidikan tinggi di negara kita tetapi masih juga mau melakukan korupsi.
Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat oleh-oleh berharga dari teman yang baru saja melaksanakan Student Exchange ke negeri Sakura tersebut. Belajar dari Jepang, berarti belajar untuk memunculkan tokoh-tokoh yang diteladani betul oleh para siswa. Para pendidik lah yang memiliki peran dalam mengantarkan anak didiknya dalam menemukan jati diri. Bahkan, para guru tidak mengarahkan siswwanya untuk menjadi tentara, dokter, PNS dan lainnya. Tetapi, siswa diminta untuk menyebutkan pekerjaan yang ingin dilakukannya kelak kalau sudah besar.
Guru mengarahkan pandangan mereka pada “manfaat” profesi tersebut bagi orang banyak. Misalnya saja tukang sampah, yang di Indonesia dianggap sebaga pekerjaan rendahan. Di dalam persekolahan di Jepang, siswa memiliki keinginan menjadi tukang sampah dihargai setinggi langit. Karena dengan adanya tukang sampah, maka ada yang membersihkan jalanan atau tempat umum jika kotor (meskipun kenyataannya tidak). Hal inilah yang belum ada dalam karakter pendidikan kita.
Dengan pandangan yang demikian, maka tidak ada profesi di Jepang yang dianggap sebagai profesi rendahan. Secara tidak langsung, para pendidik telah mengajarkan bagaimana menghargai profesi dan pendapatan. Bahwa tingkat kesejahteraan diri bukan dilihat dari seberapa banyak uang yang kita miliki. Tetapi, seberapa tinggi seseorang menghargai profesinya sendiri. Jika konsep tersebut bisa diadobsi dalam pendidikan, bukan tidak mungkin kita bisa melihat tata kelola negara kita ini menjadi “bersih”.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber gambar : http://123mulai.wordpress.com/2010/03/27/proses-eksekusi-tikus/

Saturday 10 March 2012

Mengatasi Kegalauan Massal


Masih jelas dalam ingatan kita, beberapa waktu yang lalu presiden kita menciptakan lagu dan menulis beberapa buku memoar. Bahkan, beberapa buku tersebut beredar di dunia pendidikan sebagai buku penunjang. Bagi saya, masuknya buku tersebut di sekolah tidak masalah sebagai referensi asalkan yang bersangkutan sudah tidak lagi menjabat. Jadi, tidak etis jika yang bersangkutan masih aktif sudah beredar. Hal ini jelas akan mengingatkan kita kembali pada bayang-bayang otoriterisme yang melanda republik ini pada awal berdirinya.
 Jika pemimpinnya saja sudah mengalami “kegalauan”, maka bisa dipastikan hal ini akan menjalar kepada rakyatnya. Jadi, tidak perlu heran jika kemudian lembaga-lembaga di bawahnya pun mengalami kegalauan. KPK yang galau menangani bejibun kasus korupsi dari yang teri hingga kakap. Polisi yang galau karena merasa serba salah dalam menciptakan keamanan nasional. Buruh tembakau yang menggalau karena pekerjaannya mendapat tekanan dari UU terbaru. Lagu-lagu remaja yang bernada galau, ibu-ibu galau sinetron hingga anak-anak pun ikut-ikutan galau dengan menyanyikan lagu orang-orang dewasa.
Kegalauan-kegalauan inilah yang selama ini sebenarnya sedang dialami oleh bangsa Indonesia. Tantangan terbesar tidak dari luar negeri, tetapi dari dalam diri republik ini sendiri. Seperti kegelisahan yang dirasakan oleh Bung Karno di saat senja kepemimpinannya, “ Musuh bangsa ini setelah kemerdekaan bukanlah penjajahan, tetapi diri mereka sendiri.”
Secara tersirat, bahwa beliau sebenarnya memberikan kita pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pasca kemerdekaan. Bahwa perjuangan melawan penindasan itu tidak akan pernah berakhir. Kondisi yang tenang dan nyaman, bukan berarti masalah penindasan ini telah berakhir. Meskipun penindasan dewasa ini dikaitkan dengan ekspansi produk asing, tetapi sebenarnya penindasan terbesar sedang dilakukan oleh bangsa ini kepada bangsanya sendiri.
Kita berikan contoh, dalam berbagai proyek penambangan hasil bumi nusantara, konflik selalu pecah. Keuntungan hasil pengerukan kekayaan alam, sering kali tidak sebanding dengan laju pertumbuhan kesejahteraan penduduk sekitar. Bahkan, tidak jarang pula penduduk asli diusir dari tanah yang seharusnya adalah milik mereka. Terakhir, tragedi Mesuji tentu akan membuat kita semakin miris terhadap penindasan yang dilakukan oleh bangsa sendiri kepada saudaranya.
Masalah ekonomi sering kali dijadikan kambing hitam dalam setiap peristiwa yang menyangkut pro-kontra kebijakan pemerintah. Padahal, kalau kita lihat secara holistik (menyeluruh) permasalahan ini begitu kompleks penyebabnya. Muara dari segala penyebab kegalauan ini adalah masuknya politik dalam segala lini kehidupan tanpa adanya proses pendidikan politik yang cerdas. Tingkat pendidikan yang tinggi tidak semakin mencerdaskan para pelaku politik, tetapi meningkatkan pola dan cara dalam menimbulkan kegaduhan politik. Nyatanya, pendidikan calon yang tinggi tidak berkorelasi positif terhadap politik uang (money politic). Masyarakat masih saja ditipu dengan berbagai motif politik uang ini.
Politik yang didasarkan pada nilai-nilai material seperti ini, tidak akan mampu bertahan lama. Uang tidak akan mampu mengabadikan kepemilikan rakyat terhadap pemerintah. Bahwa keduanya merupakan dua pihak yang berbeda dan tidak memiliki ikatan emosional yang kuat. Maka, yang kemudian menjadi panutan rakyat dalam ikut serta membangun Indonesia hanya sikap pragmatis pemimpinnya saja. Hal ini tentu memberikan dampak kegalauan massal ketika pemimpinnya mengalami kegalauan.
Untuk memutus “generasi galau” ini, maka diperlukan ketegasan pemimpin dalam mengarahkan aparaturnya. Jangan sampai, pemimpin mengingkari pesan undang-undang dasar kita. Bahwa kesejahteraan rakyat dari hasil kekayaan alam Indonesia harus digali dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Menyusun Kisah Kita


Pada suatu masa, panglima Thoriq bin Ziyad dalam perjalanan membebaskan sebuah daerah. Dengan beberapa kapal perang, ia datangi markas musuh dengan tanpa rasa takut. Akan tetapi, ketakutan justru menghinggapi wajah para prajuritnya. Ketakutan tersebut tertangkap oleh sang panglima. Dalam kondisi demikian, bukannya ia membesarkan hati para prajuritnya tetapi malah membakar seluruh kapal dan perbekalannya. Prajurit bertanya,” Wahai panglimaku, kenapa engkau bakar seluruh kapal kita?” Sang panglima menjawab,” Aku menangkap kegelisahan di wajah kalian, sekarang seluruh kapal dan perbekalan kita sudah habis. Tak ada jalan lagi untuk pulang.”
Dan ketika mereka membunuh keraguan, maka kemenangan pun dapat diraih. Sehingga, kita masih bisa mengenang kepahlawanannya dari nama sebuah selat kecil di Eropa bernama selat Gibraltar. Bukan kepahlawanannya yang ingin saya sampaikan, tetapi esensi dari hubungan antarlini dalam organisasi perang. Jika diasumsikan, mari kita anggap organisasi kita ini adalah pasukan panglima Thoriq. Di dalamnya, ada nakhoda, ada prajurit, ada juru masak, ada navigator, ada tukang kayu, ada teknisi dan mungkin seorang penyair yang membakar semangat para prajurit dengan syair-syair penuh maknanya.
Masing-masing anggota, memiliki peran dan keahliannya masing-masing. Dan semua saling membutuhkan, tidak bisa tidak. Coba bayangkan, seandainya navigator tidak mau menavigasi kapal, apakah kapal-kapal tersebut akan sampai pada musuh? Atau ketika tanpa juru masak, mau makan apa mereka? Tentu saja, masing-masing anggota kapal sudah memikirkan jauh-jauh hari resiko apa yang harus ditanggungnya untuk mencapai tujuan yang mulia tersebut. Jika tidak mengetahui resiko dan betapa mulianya job tersebut,maka kita akan memandang sinis seorang kelasi kapal yang tugasnya hanya mengelap kapal. Tetapi, bagi panglima, kemilaunya kapal menunjukkan salah satu dari bagian wibawanya.
Dan sebuah perjalanan, akan mencapai tujuan ketika para awak kapal mampu secara konsisten berjuang. Badai, karang, terik matahari hanyalah penghalang kecil dalam menempuh perjalanan panjang. Jika tidak memiliki keyakinan dan keteguhan hati, maka kapal akan oleng meskipun hanya menabrak sebuah karang kecil. Atau ketika datang badai dan seluruh awak diperintahkan untuk masuk ke dalam kabin oleh panglima. Satu orang membangkang, maka sama saja dengan ia membiarkan dirinya sendiri celaka. Hilang ditelan oleh badai dan ditelan oleh gelombang pasang.
Melanjutkan Perjuangan
Sebagai UKM berbasis riset, organisasi kita ini tersusun atas berbagai latar belakang jurusan. Di sini, saya ingin agar sekat jurusan itu tidak membatasi kinerja kita. Karena ketika fanatisme jurusan masuk ke dalam tubuh Reality akan merusak organisasi kita ini dari dalam. Bukan berarti saya melarang teman-teman untuk tidak mengikuti kegiatan lain. Tetapi, saya berharap kepada teman-teman untuk peduli terhadap organisasi kita ini. Karena tanpa kalian, maka dengan sekali sentuh saja pasti kapal kita akan tenggelam.
Tidak seperti organisasi lainnya yang memang memusatkan diri pada pengembangan diri atau event organizer saja, Reality memiliki ranah ganda dalam bergerak : organisasi dan pengkaryaan. Dua hal yang harus diseimbangkan dan tidak boleh ditinggalkan salah satunya. Reality tanpa karya, maka akan menjadi organisasi yang hidup tapi tak memiliki gairah. Sedangkan ketika Reality tanpa organisasi, maka akan runtuh ditiup angin dari sebatang seruling. Karena dalam organisasilah pengkaderan, peningkatan dan kontinuitas karya dan pengembangannya dalam berlangsung secara terus-menerus. Ketika dua hal ini dihilangkan, tunggu saja kehancurannya. Dan tugas ini ada di dalam setiap dada pengurus Reality sebagai garda terdepan gerakan intelektualitas mahasiswa.
Menjadi pengurus Reality, berarti bersiap untuk mengkonsistenkan diri sendiri. Karena tanpa konsistensi, maka kita akan kehabisan waktu berkarya hanya untuk berpikir saja. Tugas kuliah, uang saku yang terlambat datang, mobilitas yang terbatas, sakit, malu, merasa rendah diri pasti akan datang pada kalian. Menjadikannya alasan untuk lepas dari organisasi, adalah bukti ketidakmampuan kalian. Tetapi, kemampuan kalian akan terbukti ketika kalian mampu bertahan dari awal hingga akhir. Karena dalam pendidikan, kita mengenal adanya proses. Tidak sekedar melihat nilai apa yang keluar.
Satu karya yang diikuti dengan puas diri, akan menumpulkan pikiran kita. Sebagai seorang periset, kita tidak diperkenankan untuk melakukannya. Seorang periset harus selalu haus akan pertanyaan. Bahkan, masih saja bisa menyusun pertanyaan meskipun sepertinya pertanyaan tersebut sudah habis. Ketika seorang periset tidak memiliki pertanyaan, maka hilanglah dia dari peradaban. Diawali dengan pemisahan diri dari BEM pada 2007, Reality ada untuk menjawab para mahasiswa yang haus akan ilmu pengetahuan. Berkembang lebih jauh, mbak Endah sudah memberikan pondasi dalam menerapkan kultur ilmiah di FIP. Pada tahun lalu, saya coba untuk berkarya, membuka mata para awak kapal Reality untuk berani berkarya. Dan sekarang adalah saatnya kalian yang melanjutkan perjuangan kita. Jangan takut gagal, karena ketika gagal itulah sebenarnya kita dekat dengan kesuksesan. Berpikir cerdas, berwawasan luas!

Isdiyono, disampaikan dalam up-grading Reality
Pantai Goa Cemara, 11 Maret 2012


Monday 5 March 2012

Belajar dari Padi


“Semakin berisi, maka ia semakin merunduk. Begitulah padi itu mengajarkan kehidupan pada kita...”
 
Dalam perspektif umum, setiap orang ingin mengalami kesuksesan dan tidak ingin merasakan kesulitan-kesulitan. Hal ini merupakan sebuah kewajaran yang setiap orang pasti pernah memikirkannya. Bahkan, pengembangan teknologi yang saat ini sudah semakin canggih pun tidak terlepas dari pemikiran dari kesulitan menjadi sebuah kemudahan. Secara tidak langsung, tindakan ini akan mengarahkan kita pada sebuah kerumitan-kerumitan berpikir.
Satu hal yang tidak bisa dihindari dari seseorang yang menginginkan kesuksesan adalah kegagalan-kegagalan. Sebagai sebuah perjalanan, ada kalanya seseorang mengalaminya (kegagalan). Bahkan, memang kesuksesan itu berawal dari sebuah kegagalan. Jika tidak pernah mengalami kegagalan, maka kita tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya kesuksesan. Hanya saja, seorang sukses adalah mereka yang mampu untuk berjalan dan melewati kegagalan-kegagalan itu tanpa kehilangan semangat.
Maka, tidak perlu disesali ketika pada suatu usaha kita tidak mendapatkan kesuksesan. Bukannya Alloh tidak mengabulkan do’a kita, tetapi Dia menguji apakah kita sebenarnya sudah pantas menerima kesuksesan itu, ataukah belum. Karena kesuksesan hanya akan terjadi sebentar saja, ketika seseorang belum siap menjalani kehidupan pada level itu.
Sehingga, kegagalan tidak perlu kita sesali sedemikian rupa. Banyak para ilmuwan yang mengawali penemuan besarnya dari kegagalan-kegagalan. Bahkan, di antara mereka harus merelakan hidupnya demi kesejahteraan umat manusia. Dalam perkembangan teknologi modern, ada Marry Currie yang menerima radiasi nuklir hanya untuk menemukan satu buah unsur saja. Atau Galileo yang harus dipancung ketika pendapatnya berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Dan apa yang terjadi pada malam hari kita ketika Thomas Alva Edison menyerah ketika percobaannya gagal dalam membuat bola lampu?
Dalam sejarah awal perjuangan Islam pun, para sahabat tidak kalah heroik. Bahkan, mereka memang sengaja menjual jiwa mereka kepada jalan kebenaran yang diyakininya. Dengan gagah berani, mereka hadapi sabetan pedang dari musuh-musuhnya. Bayangkan, kalau para tokoh tersebut berhenti dan menyerah dua detik menjelang kesuksesannya. Apa yang akan terjadi? Tentu, kita tidak akan menikmati teknologi kedokteran modern, tidak mampu melihat luar angkasa dan tidak merasakan kedamaian dalam keyakinan kita.
Kalau kita masih saja mengeluh terhadap usaha kita yang terus mengalami kegagalan, maka kita harus malu kepada Imam Hambali. Terkadang, kita mengeluh karena waktu yang kita miliki begitu sempit. Atau kita tidak cukup memiliki dana untuk memperjuangkan keyakinan kita. Atau mengeluh karena tidak ada yang membimbing. Padahal, tahukah kalian Imam Hambali itu?
Ya, beliau adalah seorang ilmuwan, sastrawan, filsuf dan seorang yang selalu haus akan ilmu pengetahuan. Hanya untuk menemui Imam Syafi’i, jarak yang begitu jauh tidak mampu menaklukkan keteguhan hatinya. Bahkan, tak segan berbagi dengan orang lain meskipun sebenarnya dirinya sendiri sedang membutuhkan bantuan. Dan bisa kita rasakan, bagaimana beliau harus berjalan begitu jauh hanya untuk menyongsong ilmu?
Kita seharusnya malu, karena segala fasilitas yang kita butuhkan sudah ada dan tersedia. Kendaraan, komunikasi, media untuk menulis dan lainnya. Kita tinggal memakainya saja, lalu, kenapa kita harus mengeluh hanya karena ini? Kutipan yang paling berkesan dari Imam Hambali bagi saya adalah “belajar akan terasa nikmat ketika dilakukan dalam kondisi yang serba kekurangan...”
Analogi saya adalah, ketika seseorang dalam keadaan kekurangan (baca:terjepit) maka akan muncul ambisi yang kuat. Nah, permasalahannya adalah karena sebagian besar dari kita terlahir dalam kondisi yang serba berkecukupan. Cukup sulit untuk mengubah kondisi ini dari kondisi “aman” menjadi kondisi “menantang”. Tetapi, kita harus menghadirkan kondisi “kekurangan” ini sebagai pendorong yang kuat. Bukan berarti kita memposisikan diri kita sebagai orang yang kekurangan dan merasa tergantung pada orang lain. Tetapi, mengkondisikan diri untuk selalu lapar dalam menyerap ilmu pengetahuan.
Tetap Merunduk
Yang menjadi pedoman penting ketika kita sudah berada dalam kesuksesan adalah : bagaimana menghadirkan ambisi dengan tetap menjaga kerendahan hati? Pertanyaan ini begitu sederhana, tetapi sulit untuk dilaksanakan. Karena kebanyakan dari kita pasti pernah berpikir kalau yang kita cari adalah kesuksesan. Sehingga, terkadang kita lupa siapa kita, dari mana asal kita, untuk apa kita mencari kesuksesan dan akan diberikan ke mana kesuksesan kita ini?
Dalam perjalanan kesuksesan kita, ada orang-orang yang entah sebentar atau lama berperan dalam jalan itu. Coba kita pikirkan kembali, bahwa mereka membantu kita tanpa berusaha untuk menerima balasannya kembali. Meskipun misalnya hanya meminjami kita pulpen misalnya. Itu akan menentukan kesuksesan kita ketika kita hanya memiliki waktu satu menit, padahal kita lupa tidak membawanya. Atau ketika kita lupa membawa mantel hujan dan kita sedang membawa kerta dokumen, padahal dokumen-dokumen tersebut harus segera dikumpulkan. Kita tidak bisa meremehkan bahwa itu hanyalah sebuah hal kecil.
Atau ketika kita sedang dalam proses, sering kita minta arahan, ilmu, teknik, strategi atau pemecahan masalah. Bukankah kita akan melakukan segala cara yang memungkinkan kita untuk mendapatkannya? Dan apakah orang lain menolak kita dengan mentah-mentah? Tidak bukan?
Maka, sudah seharusnya kita tetap menjaga asal-usul kita dan bagaimana kebersamaan hadir dalam perjalanan kesuksesan. Karena kita tidak bisa sukses tanpa orang lain, karena kita membutuhkan mereka. Berbagi, meskipun sedikit akan lebih bermakna daripada tidak kita bagi sama sekali. Ilmu yang kita punyai, tidak akan pernah berkurang ketika kita menyampaikannya pada orang lain. Karena dengan kita mengajarkannya, kita menjadi tahu kekurangan kita.
Melupakan kawan yang telah berjuang bersama dari sejak pertama kita mengawali perjuangan, adalah sebuah kesalahan terbesar. Karena kesuksesan bersama, akan mengawali kesuksesan besar dalam kehidupan berbangsa kita. Sayangnya, jaman kita sekarang ini memang mendukung bagi kesuksesan individu. Coba kita berkunjung ke toko buku, tidak akan sulit menemukan buku yang menceritakan kesuksesan seseorang sebagai enterpreneur. Tetapi, kata seorang guru, sulit sekali menemukan buku yang menceritakan tentang kesuksesan seorang guru. Paling terkenal mungkin tetralogi Laskar Pelangi. Dan itupun bukan ditulis oleh guru.
Padahal, untuk membangun bangsa yang kuat maka dibutuhkan kesuksesan bersama. Kita bisa belajar dari bangsa Jepang yang mampu maju secara kolektif. Dari cerita seorang teman yang berkunjung ke sana, buku-buku yang dipamerkan di pameran buku kebanyakan ditulis oleh para guru. Hal ini berbanding terbalik dengan di Indonesia yang buku pelajaran pun ditulis bukan oleh guru. Bahkan, terkadang oleh orang yang bukan ahlinya. Pengalaman, di SMA guru matematika malah tidak bisa menuliskan buku tentang pelajaran matematika. Yang menyusun malah seorang guru bahasa Inggris. Alangkah lucunya negeri kita ini ya?
Maka, menjadi sukses adalah sebuah pilihan dan mengamalkan ilmu padi adalah kesuksesan bagi seorang yang sukses. Berbagi tidak akan mengurangi kedalaman ilmu kita. Peduli tidak akan mengurangi wibawa kita dan tidak akan mengeraskan hati kita. Berbagi, memberikan kelapangan hati. Mengingat perjalanan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan kesuksesan kita. Karena tanpa orang-orang di sekitar kita, baik yang hanya sekedipan mata atau yang bisa dipandang mata selama mungkin, kita tidak akan pernah sukses. Bukankah begitu?
06 Maret 2012

Sunday 4 March 2012

Kapan Mau Mulai Menulis ?


Ada yang bilang menulis itu susah, takut salah dan takut dituntut. Tetapi, apa yang akan kita dapat dari sebuah tulisan yang menginspirasi, mencerahkan dan membawa pesan-pesan perdamaian? Silahkan mencoba untuk dijawab sendiri. Bukankah menulis untuk kebaikan adalah kewajiban kita sebagai insan akademia? Menyampaikan kebenaran, salah satu dari esensi pendidikan.
Begitu gencar dalam setiap diskusi, mulai dari bawah pohon, gedung seminar hingga hotel berbintang lima. Yang dibicarakan sama : bagaimana caranya menulis? Hanya tempatnya saja yang sedikit berbeda. Kelas gurem dengan kelas kakap. Tetapi, mulailah dari forum-forum di bawah pohon, karena imbas yang besar itu selalu dimulai dari level bawah.
Nyambung lagi ke topik utama, kapan mau menulis?
Mungkin benar, kalau kita takut salah dalam menuliskan sesuatu karena memang dari tingkat SD sampai perguruan tinggi, kita hanya menganalisis bahasa saja. Karya yang dihasilkan dari sebuah tulisan memang tak begitu dihargai, kecuali oleh beberapa guru dan dosen yang memang mengerti betapa menulis lebih banyak membutuhkan pemikiran daripada membuat makalah. Kalau membuat makalah tinggal kopi paste, tetapi kalau membuat sendiri harus memeras otak untuk mendapatkan pemikiran yang orisinil.
Banyak yang mengatakan bahwa, nanti kalau tulisanku kontroversial bagaimana? Jangan takut kawan, bukankah tulisan sehari-hari tentang pengecaman terhadap kinerja pemerintah itu lebih tajam daripada tulisan kita? Jadi mengapa kita mesti takut? Mengapa kau menunda kebaikan, sedangkan kau menginginkan diri menjadi orang yang baik? Kenapa tidak dimulai dari diri sendiri? Kenapa harus menyerahkan kebaikan pada orang lain?
Apakah engkau rela jika kebaikan dan hikmah itu dimiliki orang lain? Apakah engkau rela ilmu yang bermanfaat itu orang lain yang memiliki? Sedangkan engkau hanya tertegun melihat orang lain menyampaikan ilmunya? Kenapa engkau diam saja? Kenapa tak engkau pegang pena itu? Kenapa engkau takut untuk emnggoreskan kisahmu di atas lembaran suci kertas itu? Kenapa? Apakah karena engkau tidak lagi peduli lagi pada sekolahmu? Pada gurumu? Pada tetanggamu? Pada keluargamu? Pada bangsamu? Pada agamamu?
Tak inginkah engkau menyiram mawar yang tumbuh di dalam dadamu? Dan ketika telah berbunga, engkau membagikannya pada orang lain? Ah, betapa nikmatnya hidup saling berbagi. Kenapa engkau masih bengong? Kenapa engkau mencari inspirasi, sedangkan engkau ingin menuliskan kebaikan?* Kenapa kau merasa berat meluangkan waktu untuk menulis, padahal masih banyak penulis yang merelakan sedikit waktu di antara padatnya jadwal mereka?
Jika engkau menitikkan air mata, jangan biarkan ia mengering melainkan jika kau sudah menuliskan kegelisahanmu. Jangan ragu untuk menyuarakan kata hatimu. Dengarkan kejujurannya, dengar apa yang sebenarnya membuat ia kecewa, rasakan, dengarkan, kemudian tulislah. Ingat, bangsa ini, rakyat ini menunggu tulisan-tulisan inspiratifmu...
Isdiyono, 24 Juli 2010
With full of the spirit...
*Dikutip dari ust. Faudzil Adzim

Alamat email                                       jml halaman                 genre               nama rubrik

redaksi@harianjogja.com                                 2halaman                             tematik                  suara mahasiswa (selasa)
bernasjogja@gmail.com                                    2halaman                             bebas                     ruang publik (tiap hari)
swara.kampus@gmail.com                               1,5-1,7 hal                             bebas                     suara mahasiswa (selasa)
koranmerapi_jogja@yahoo.com                    2,5hal                                     bebas                     Nguda Rasa (tiap hari)
kampus_sm@suaramerdeka.info                   1halaman                             tematik                  Debat (Sabtu)
redaksi@seputar-indonesia.com                      1,5 halaman                         tematik                  suara mahasiswa
pewaradinamika@uny.ac.id                             tergantung rubrik

Disampaikan oleh Isdiyono
 Wates, 02 Maret 2012


Thursday 1 March 2012

Menggugat Nurani Mahasiswa

Mahasiswa adalah golongan eksklusif dari masyarakat Indonesia. Kalau tidak percaya, silahkan dihitung dari jumlah teman-teman kita di sekolah dasar yang mampu mengenyam bangku perkuliahan.  Saya kira, kita semua sepakat bahwa yang mampu mencapai level pendidikan tinggi tidak lebih dari 50% pada setiap angkatan.
Secara logis, maka hanya orang-orang yang memiliki taraf hidup yang tinggilah yang mampu mencapai level pendidikan ini. Hal ini berkaitan dengan biaya nyata pendidikan di jenjang perguruan tinggi sangatlah mahal. Jika tidak ada berbagai macam bentuk bantuan, maka mahasiswa yang berasal dari  keluarga kurang mampu, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Sehingga, jika pemerintah sudah tidak mampu lagi menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau, akan sulit kita mendapati para ahli di bidangnya yang berasal dari keluarga kurang mampu. Padahal, saat ini paham komersialisasi telah menjadi kata kunci dalam pergaulan dunia. Ketika pendidikan hanya dikuasai kaum-kaum elit saja, maka ke depannya kebijakan-kebijakan yang direalisasikan pun pada akhirnya tak menyentuh kebutuhan rakyat kecil.
Jika hal ini tidak segera ditanggulangi, maka ke depannya kemiskinan di negeri ini tidak akan pernah dapat terpecahkan. Kemiskinan mungkin saja bisa hilang, tetapi bukan karena mereka menjadi semakin terpelajar. Tetapi, karena terjerat berbagai macam permasalahan hukum hanya mungkin dikarenakan mencuri sandal, mencuri bibit atau mengambil ranting-ranting kering di kebun.
Jika demikian, maka kondisi ini bertolak belakang dengan harapan masyarakat bahwa mahasiswa adalah pembawa perubahan dalam masyarakat. Dari pemikiran-pemikiran merekalah, lahir praktik ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mahasiswa bukanlah seorang kaum lemah yang hanya bisa berteori, makan enak, jalan-jalan dan tidur sepuasnya.
Saat ini, kondisi seputar dunia kampus cenderung aman-aman saja. Kalaupun ada konflik, lebih disebabkan pada permasalahan internal saja. Selebihnya, berlomba-lomba untuk menjadi mahasiswa teoritik. Jika kondisi “damai” yang demikian hanya dipakai untuk studi oriented, maka ada kejahatan sistematis yang sedang dilakukan oleh para mahasiswa. Bahwa menjadi mahasiswa bukanlah pilihan mendapatkan nilai sempurna di tiap mata pelajaran, tetapi enggan untuk sekedar mengabdi pada lingkungan sekitar. Nilai sempurna, tetapi memiliki nilai kepekaan sosial D dalam praktik. Lebih baik, tidak usah menyatakan diri sebagai mahasiswa.
Sudah saatnya mahasiswa kembali bergerak memenuhi kewajiban akademis, prestatif, literasi, kemauan baca tinggi dan kepekaan sosial yang berkorelasi dalam praktik. Jika mahasiswa tidak mempersiapkan diri mengembangkan nilai praktik sosial, kapan lagi kita akan belajar? Bahwa menumpas korupsi tidak hanya dilakukan dengan mendapatkan nilai A di setiap mata kuliah etika. Untuk menegakkan keadilan, tidak perlu membuat bagan-bagan bersilang yang membingungkan. Dan untuk membentuk persatuan, kita tidak bisa memiliki nilai A dalam mata kuliah kewarganegaraan, tetapi tidak akur dengan teman berbeda daerah. Untuk merefleksikan kritik ini tentu teman-teman mahasiswa, memiliki jawabannya di dalam hati masing-masing.
Isdiyono, Mahasiswa PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta




MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...