Monday 24 December 2012

Modernisasi Pasar Tradisional sebagai Penyangga Perekonomian Nasional.


Boleh jadi, Amerika Serikat dan Eropa menjadi tolok ukur raksasa kapitalis dunia. Karena di sana terdapat berbagai macam pusatnya modernisasi, dan kebijakan monopoli dunia berpusat. Tentu saja, kita tidak bisa mengabaikan China sebagai pendatang baru yang diprediksi akan memimpin perekonomian dunia pada masa-masa mendatang. Jepang dengan kemajuan teknologinya, masih tetap tidak bisa diabaikan dalam perekonomian di tingkat Asia.
Akan tetapi, negara terkaya di dunia letaknya sebenarnya tidak jauh dari tempat kita tinggal. Ya, Indonesia kita inilah yang merupakan negara terkaya di dunia. Mulai dari barang tambang semua ada seperti timah, tembaga, besi, emas, perak hingga berlian ada di bumi kita ini. Dengan dua musim kemarau dan penghujan tanpa ada musim semi dan salju, membuat hampir semua jenis tanaman di dunia bisa tumbuh subur. Tidak heran jika Koes Plus sampai menukilperibahasa dalam lagunya : negeri yang kayu dan batu jika disentuhkan menjadi tanaman.
Akan tetapi, kekayaan potensi alam ini berbanding terbalik dengan kondisi kesejahteraan masyarakatnya. Di mana, sebanyak 29,89 juta orang pada September 2011 juta masyarakat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Padahal, beberapa orang kayanya masuk nominasi orang-orang terkaya versi Forbes Dengan kata lain, volume orang kaya semakin meningkat di tengah masyarakat menengah ke bawah yang selalu terengah-engah menyesuaikan diri dengan kebutuhan hidupnya.
Dengan potensi sumber daya alam melimpah dan didukung dengan sumber daya manusia yang banyak, seharusnya bisa menjadikan Indonesia maju melebihi negara-negara lain. Hanya karena tidak diiringi dengan pembangunan jumlah sekolah berkualitas, pemikiran tersebut belum bisa dilaksanakan. Jika kita lihat bersama, grafik jumlah sekolah di Indonesia dari jenjang sekolah dasar hingga perguran tinggi berbentuk kerucut. Artinya, jumlah anak yang memiliki kesempatan menimba ilmu tinggi lebih sedikit dibanding yang putus di tengah jalan.
Kualitas SDM yang tidak sebanding dengan jumlah kuantitasnya, membuat bangsa kita ini masih kesulitan untuk bersaing. Bahkan, hanya untuk mencetak enterpreneur-enterpreneur baru masih kesulitan. Ketidakmampuan SDM untuk bersaing ini, bisa jadi akan membuat kita menjadi penonton di negeri sendri. Berlakunya pasar bebas menjadi ancaman serius dalam mengimbangi produk-produk impor dengan produk dalam negeri. Kondisi ini bisa kita lihat dari seberapa banyak barang-barang yang kita gunakan hasil buatan anak bangsa.
Indonesia itu bukan hanya aku, kamu atau dia tetapi kita. Sesuai dengan amanat undang-undang 1945 pasal 33 yang intinya mengatakan bahwa semua sumber daya yang ada harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Jika perkembangan perekonomian tidak didasarkan pada persatuan dan kesejahteraan bersama,maka secara perlahan bangunan perekonomian nasional tingggal menunggu waktu keruntuhannya.
Untuk mengatasi ancaman pasar bebas ini, maka fokus kebijakan pemerintah seharusnya ditujukan untuk pengembangan sektor industri mikro. Dalam memasarkan produk, industri mikro memerlukan pasar sebagai tempat transaksi penawaran dan permintaan. Sistem yang cocok diterapkan dalam masyarakat Indonesia sebenarnya adalah melalui pasar tradisional. Dalam pasar tradisional, tidak ada monopoli oleh satu pihak saja. Semua pedagang adalah pelaku ekonomi yang memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang sama.
Dalam hal ini pedagang tidak saling mendominasi, tetapi saling melengkapi. Kondisi demikian sangat cocok dalam mengembalikan komunikasi pasar melalui asa kekeluargaan. Misalnya saja ada pembeli yang ingin membeli bahan-bahan pembuat mi. Mereka harus pergi ke toko telur, toko tepung dan toko rempah untuk memenuhi kebutuhan bahan. Dalam prosesnya, terjadilah interaksi kekerabatan yang ditimbulkan dari aktivitas transaksi tawar-menawar yang tidak ada dalam pasar-pasar modern dalam bentuk mini atau supermarket.
Dalam pasar tradisional, semua orang bisa menggelar lapak dengan harga sewa yang cukup terjangkau. Karena pengelolaan pasar tidak dipegang oleh satu orang saja, tetapi pengurus yang ditunjuk oleh pemerintah atau diusulkan oleh masyarakat. Sehingga, pembeli pun merasa bahwa pasar tersebut adalah miliknya juga dan perlu dilestarikan.
Transaksi yang tidak dilakukan dalam partai besar, membuat persebaran ekonomi bisa terdistribusi secara merata. Krisis yang melanda dunia pun tidak memiliki dampak signifikan terhadap aktivitas perdagangan. Efek terbesar hanyalah adanya kenaikan harga barang dagangan jika terjadi penurunan rupiah. Dalam berbagai kesempatan, barter masih mungkin terjadi dalam memenuhi kebutuhan masing-masing penjual atau pembeli. Jadi, meskipun barang yang ditawarkan tidak laku bisa mereka siasati dengan menukar barang lain sesuai dengan kualitas atau kesepakatan bersama. Dengan cara inilah semua orang mulai dari level atas hingga ke bawah bisa melakukan transaksi tanpa harus mengandalkan uang.
Tantangan pasar tradisional pada saat ini adalah pasar-pasar modern berbentuk mall  supermarket atau minimarket. Bahkan, minimarket pun saat ini sudah mampu menjangkau daerah-daerah yang jauh dari perkotaan. Dengan harga yang relatif miring, pelayanan ramah dan tempat yang bersih membuat masyarakat mulai beralih dari pasar tradisional ke minimarket. Di kota-kota besar, berbelanja di mall bahkan sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Orang tidak lagi peduli pada kebutuhan hanya sekedar mengejar gengsi.
Aspek terbesar dan mencolok penyebab berpindahnya pembeli di pasar tradisional ke pasar-pasar modern  adalah tentang tata letak dan kebersihan tempat. Sudah menjadi rahasia umum, jika kondisi pasar tradisional yang ada di sekitar kita kurang memperhatikan kebersihan lingkungan. Biaya sewa yang murah, turut mempengaruhi kesadaran para pedagang untuk menghargai lingkungannya. Tingkat pendidikannya yang relatif rendah menjadi salah satu penyebabnya. Tidak heran jika musim penghujan tiba pasar menjadi sedemikian baunya dengan beberapa drainase yang tersumbat.
Menyadari permasalahan ini, beberapa pemerintah daerah mulai merevolusi pasar-pasar tradisional yang ada dengan tampilan yang lebih dinamis. Bahkan di daerah Bantul, pemerintah daerah mengesahkan kebijakan melarang pendirian mall. Karena potensi pasar tradisional adalah dalam konsep kebersamaan, berbeda dengan pasar modern yang berorientasi pada monopoli tunggal. Padahal, jika pemerintah mau menyetujui pembangunan mall bisa saja Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diterima semakin besar.
Kita perlu gerakan-gerakan serupa yang serentak dilakukan di seluruh tanah air. Dengan semangat membangun bangsa yang mandiri, pasar-pasar tradisional perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Fasilitas yang bersih dan terawat, akses yang mudah dengan bentuk transaksi yang sama dengan pasar tradisional akan memberikan pesona deja vu. Mereka serasa kembali dalam aktivitas perekonomian yang sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Perawatan fasilitas-fasilitas secara berkala, tentu saja akan menarik minat konsumen untuk kembali lebih memilih pasar tradisional sebagai tujuan utama.
Sehingga, aktivitas perekonomian mikro bisa kembali menggeliat. Karena pada dasarnya, kemajuan perekonomian kita tidak dapat diukur hanya menurut perkembangan sektor-sektor makro. Para pelaku di sektor mikro, justru lebih banyak daripada sektor makro. Karena di sinilah letak perekonomian Indonesia yang sebenarnya. Akan sangat bermanfaat ketika sektor-sektor mikro ini terus didorong untuk berkembang. Karena sektor mikro menyerap tenaga-tenaga kerja yang terampil dan bisa mengembangkan diri.
Berbeda dengan para pekerja di perusahaan-perusahaan besar yang hanya bisa melakukan pekerjaannya secara dikotomi. Mereka hanya tahu proses produksi di satu bagian, tanpa mengetahui proses produksi bagian lainnya. Kestabilan pembayaran gaji, membuat suatu gap atau jarak yang memisahkan antara pemilik dengan karyawan. Pada akhirnya, karyawan tidak dapat mengembangkan keterampilannya secara mandiri. Sehingga, pada masanya pensiun, banyak karyawan mengalami gejala stres yang akut karena tidak lagi mendapatkan sumber pendapatan.
Modernisasi pasar-pasar tradisional sangat diperlukan dan cocok dikembangkan untuk merangsang terciptanya perekonomian nasional yang kuat. Karena pasar tradisional merupakan tempat perekonomian mikro tumbuh dan berkembang. Ketika perekonomian mikro kokoh, maka krisis global yang sekarang sedang terjadi tidak akan mampu meruntuhkan perekonomian nasional. Karena setiap orang memiliki kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri. Berbeda dengan ketika perekonomian dimonopoli oleh sebagian orang. Maka setiap orang tidak akan mampu bertahan ketika sektor tersebut runtuh. Wallahu a'lam.

Monday 10 December 2012

Suporter Sejati, Bisa Mengendalikan Diri


             Pada tahun tujuh puluhan, sepakbola kita bisa berbangga diri mengingat tim nasional kita disegani di kawasan Asia. Bahkan, kualitasnya lebih baik daripada Jepang waktu itu. Kenangan itu berbanding terbalik dengan tim nasional saat ini. Tidak pernah menjadi juara dan yang terakhir dikalahkan Bahrain dengan skor 10-0. Sebuah hasil yang sangat menyesakkan dada.
            Tak ada asap jika tidak ada api, pepatah ini saya kira cocok untuk menggambarkan kualitas tim nasional kita. Lemahnya tim nasional kita, secara langsung dipengaruhi oleh dualisme kepemimpinan PSSI di bawah Arifin Djohar dan KPSI di bawah La Nayla Mattaliti. Sikap keras kepala yang ditunjukkan oleh kedua kubu, menunjukkan bahwa dunia persepakbolaan kita sedang terserang penyakit kronis bernama politik.
            Akibatnya, tim nasional yang membutuhan dukungan dari PSSI dan masyarakat Indonesia tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Secara de fakto, perseteruan di tingkat kepengurusan PSSI berpengaruh terhadap dukungan suporter terhadap dunia persepakbolaan kita. Bahkan di forum-forum sepakbola online, para suporter mulai saling mengejek. Bahkan, tidak jarang perseteruan ini terjadi di antara para suporter itu sendiri. Di antaranya berujung pada kejadian konyol yang sia-sia seperti jatuhnya korban yang luka-luka hingga meninggal dunia..
            Tidak perlu jauh-jauh, tewasnya satu suporter PSIM dikarenakan bentrok sesama pendukung beberapa waktu yang lalu tentu masih membekas dalam pikiran kita. Belum sempat dijadikan pembelajaran, tiga orang suporter The Jack pun menyusul ketika bentrok terjadi di sela pertandingan Persija Jakarta dengan Persib Bandung. Padahal, adanya supporter juga menunjukkan bahwa sebuah pertandingan memiliki nilai kemenarikan yang tinggi. Sungguh sangat ironis, ketika para pemain membutuhkan dukungan dari suporter mereka malah disuguhi oleh drama bentrokan-bentrokan yang sebenarnya tidak perlu.
            Untuk menyelamatkan persepakbolaan di Indonesia, suporter sebenarnya memiliki andil yang sangat besar dalam pelaksanaan kompetisi. Karena tanpa suporter, sebuah pertandingan tidak akan enak ditonton dan membosankan. Di samping itu, suara suporter seharusnya memiliki kekuatan dalam menekan pihak-pihak yang sedang bersengketa.Karena pendapatan terbesar klub dan kompetisi sepakbola sebagian besar berasal dari kontribusi suporter.
            Tentu saja, kita sebagai suporter harus belajar untuk menjadi suporter yang baik. Kita bisa melihat glamournya Liga Inggris yang setiap pekan bisa kita nikmati di televisi kita. Jarak antara penonton dengan lapangan begitu dekatnya hingga para pemain bisa berbaur dengan suporter ketika mereka mencetak gol. Selain itu, meski ada pertandingan derby (antar tim sekota) yang panaspenonton bisa mengendalikan dirinya untuk tidak meluapkannya dalam aksi-aksi yang tidak terpuji. Tidak tinggi hati jika menang dan tidak bersedih ketika kalah secara berlebihan.
            Seperti yang dikatakan oleh ketua APPI Indonesia saat ini, Ponaryo Astaman, bahwa sepakbola itu adalah sebuah hiburan. Tujuan hiburan sendiri adalah untuk mendapatkan tontongan yang menyenangkan. Bagaimana seorang suporter berteriak bebas ketika timnya menang. Bagaimana para pemain begitu dekat dengan suporter sehingga terjadi saling pengertian dalam mendukung tim yang sedang bertanding. Nampaknya kita semua merindukan suporter sejati, suporter yang berteriak bebas, menyuarakan keadilan, memberi dukungan yang meluap-luap dan menyajikan tontonan yang menarik. Bukan suporter yang menambah kisruh persepakbolaan kita.

Tulisan lama...

Sunday 9 December 2012

Menulis Karya Tulis Part 2


Mengurai judul menjadi latar belakang masalah

Setelah pada episode sebelumnya kita berbicara tentang penentuan judul, maka langkah berikutnya adalah bagaimana menguraikan judul menjadi sebuah penjabaran yang berbobot. Kesalahan yang biasanya terjadi dalam menyusun latar belakang adalah aktivitas menyamakan persepsi bahwa latar belakang masalah itu menguraikan judul. Sehingga, terkadang banyak kutipan yang mendefinisikan variabel dicantumkan dalam bagian ini. Sehingga, latar belakang yang disusun pun lebih mirip kajian pustaka daripada latar belakang masalah pada umumnya.
 Paradigma utama yang harus dibangun dalam menyusun latar belakang masalah adalah bahwa latar belakang disusun untuk menjabarkan betapa pentingnya masalah itu untuk dibahas dan ditangani. Tidak perlu menjabarkan definisi variabel dengan menggunakan teori-teori yang sudah ada. Dalam latar belakang, pentingnya permasalahan yang akan diangkat ini harus bisa langsung dilihat dan disajikan berdasarkan fakta-fakta terbaru yang muncul di masyarakat.
Sebagai contoh misalnya kita ingin membahas tentang pengelolaan sampah rumah tangga untuk dijadikan pupuk organik cair. Kita tidak perlu menjabarkan definisi tentang sampah dan limbah organik cair. Atau mencari data-data yang bersifat rinci. Dalam kasus demikian, latar belakang bisa didahului dengan menceritakan fakta pengeluaran sampah suatu daerah tiap harinya, pengelolaan sampah organik dan an-organik hingga peran serta masyarakat dalam mereduksinya. Data yang diperoleh bisa dari sumber kedua yang bersifat terikat misalnya dari dinas pekerjaan umum bagian pengelolaan sampah, data kementerian nasional dan jangan lupa sumber langsung.
Di samping sumber kedua yang valid, sumber langsung diperlukan untuk menunjang fakta yang terjadi di lapangan. Sumber langsung ini fungsinya adalah memperkuat betapa pentingnya masalah yang akan diangkat itu untuk dibahas. Meskipun anggapan masyarakat kebanyakan masalah tersebut sudah basi, tetapi bisa kita uraikan kembali menjadi sesuatu hal yang “penting” dan “mendesak” untuk dicarikan solusinya.
Adapun jumlahnya terserah pada penulis, tentu saja dengan menyesuaikan jumlah halaman minimal dan maksimal yang menjadi persyaratan latar belakang masalah yang berkisar antara 15-20% (2-3 halaman) dari keseluruhan karya tulis. Jika keseluruhan karya tulis ditentukan maksimal 10-15 halaman, sangat bijaksana kalau menyusun latar belakang sejumlah 2 halaman saja. Hindari penyusunan 1 halaman karena terkesan terlalu sedikit dan menunjukkan bahwa kita sebenarnya tidak tahu tentang karya tulis. Jika naskah lebih dari 15 halaman, 3 halaman bisa diterapkan jika memang uraian yang akan disusun sangat padat, efektif, efisien dan memang benar-benar diperlukan.
Kembali pada pengutipan sumber langsung, jika halaman yang ditentukan sedikit maka 1-2 narasumber saya kira sudah cukup untuk memperkuat argumentasi. Jika banyak, tentu kita bisa menyaring lebih banyak sumber. Tetapi jangan terlalu banyak, berkisar antara 2-4 orang narasumber saja. Hal ini digunakan sebagai langkah antisipasi jika di dalam analisis atau hasil karya tulis nanti bersifat deskriptif kualitatif. Jika jenis data kualitatif, maka pengutipan sumber langsung menurut hemat saya, tidak perlu terlalu banyak.
Nah, satu hal yang perlu diperhatikan dalam pengutipan data di dalam latar belakang masalah adalah bentuknya. Terkadang, penulis pemula memasukkan data pendukung secara langsung. Misalnya, tabel, diagram, grafik, chart, poligon secara langsung. Saran saya, hindari penggunaan bentuk-bentuk tersebut dalam menyajikan data di latar belakang masalah. Alasannya, dengan adanya ruang untuk data tersebut maka akan semakin berkurang space untuk menuliskan argumentasi.
Akibatnya, jumlah uraian latar belakang masalah pun terlihat menggelembung. Bagi penulis, penggunaan sumber secara utuh akan memudahkan dalam mengembangkan kalimat dalam paragraf. Tetapi, bagi dewan juri bentuk seperti ini akan terlihat bahwa penulis belum mampu mengembangkan gagasannya secara komprehensif. Jika reviewer sudah berpikiran demikian, maka secara otomatis karya kita akan terlihat biasa saja (baca: tidak menarik untuk dibahas lebih lanjut). Tentu, ini merupakan satu kerugian bagi penulis sebelum karyanya dibahas. Beruntung jika reviewer kurang berkompeten dalam bidang karya tulis ilmiah.
Di samping kebiasaan-kebiasaan tersebut, hal pertama yang dialami oleh para penulis adalah sindrom “bingung pada paragraf pertama”. Sindrom ini tidak hanya menghinggapi pikiran penulis pemula saja, tetapi penulis yang sudah berkali-kali menyusun karya tulis. Padahal, kalimat pertama dalam menyusun sebuah latar belakang ini sebenarnya merupakan hal yang sangat mudah dan memberikan peluang sebuah karya yang berbeda sebagai ciri khas seseorang. Jadi, sebelum saya berikan contoh-contoh satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa reviewer cenderung kurang tertarik mengomentari awalan yang biasa-biasa saja.
Coba perhatikan contoh paragraf pembuka berikut:
Tahukah anda jika permukaan laut naik setinggi 1 meter, ada 200 juta penduduk dunia yang akan kehilangan rumah tinggalnya. Seperlima luas wilayah Bangladesh akan tenggelam, dan itu berarti ada 35 juta penduduk Bangladesh yang harus bermigrasi ke lokasi pemukiman yang lebih tinggi (Stern, 2007)...”
[Billy K.S. 2011. Perubahan Iklim dan Dampaknya. Hal 12. Disajikan dalam Konferensi Komunikasi UI 2011]
            Dalam kutipan di atas, penulis mengarahkan langsung pembicaraan tentang dampak perubahan iklim melalui kalimat tanya. Untuk meyakinkan pembaca, maka dia menggunakan kata-kata ancaman “...200 juta penduduk dunia akan kehilangan tempat tinggalnya”. Begitu mengerikan seandainya saja benar-benar terjadi. Pada kalimat selanjutnya, penulis menggunakan kutipan dari sumber kedua dengan memberikan kalimat “pengandaian” terhadap satu fakta unik. Bahwa Bangladesh adalah satu negara yang kecil dan akan menjadi seperti apa negeri itu jika sebagian besar wilayahnya terendam banjir?
            Pada contoh yang lainnya, M. Amiruddin dkk (2011:03) menuliskan : “Kemajuan era global ditandai oleh perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi yang secara masif hadir dalam berbagai bentuk kehidupan masyarakat. Manusia dan teknologi menjadi entitas yang tidak terpisahkan. Keduanya mempunyai hubungan simbiosis dan saling berpengaruh.” Penggalan paragraf pertama karya tulis ini disajikan dalam Communication Student Summit 2011 di Unair, Surabaya. Kutipan ini merupakan kutipan paling sederhana yang biasanya dituliskan.
            Ciri khas tulisan sederhana yang biasanya lolos penjurian adalah yang selalu berusaha menuliskan fakta umum (dalam hal ini tentang pentingnya komunikasi maya) tentang sebuah gagasan dengan dampaknya terhadap masyarakat. Kenapa? Karena pada dasarnya, ilmu pengetahuan yang dikembangkan pada saat ini adalah untuk mempermudah mobilitas dan pola hidup masyarakat. Hal ini sesuai dengan kodrat bahwa subjek dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah manusia itu sendiri. Tanpa adanya keterkaitan gagasan dengan masyarakat, mustahil sebuah ide menjadi menarik.
            Secara umum, latar belakang masalah terdiri dari 3 bagian penting yaitu : pembuka (basa-basi), alasan pentingnya masalah tersebut diangkat dan solusi yang ditawarkan. Empat paragraf di atas, menyajikan bagian dari pembuka. Pembuka biasanya diawali dengan hal-hal yang paling umum dan bersifat filosofis. Bagian ini memiliki fungsi untuk mengantarkan pada kesenjangan idealitas-realitas yang ada.
Bagian kedua dari sebuah latar belakang, menyajikan betapa pentingnya permasalahan tersebut untuk dibahas. Perhatikan contoh di bawah ini :
“([par 1. akhir]...Fenomena ini tentunya membuat Korea Selatan menjadi salah satu negara yang sukses menyebarkan budayanya melalui industri kreatif selain Amerika Serikat dan Jepang.
[par 2. awal]Terpaan budaya pop Korea utamanya menyentuh sebagian kaum remaja di beberapa negara walaupun orangtua juga tidak luput terkena demam Korea ini. Fenomena Korean Wave ini pun tidak luput menjangkiti para remaja di Indonesia...”[Bayu S. & Deasy C. 2011. Korea di Indonesia dan Dampaknya terhadap Remaja dan Perilakunya. Halaman 109. Disajikan pada CFP Komunikasi Budi Luhur 2011]
Pada contoh di atas, meskipun di judul terdapat penghubung tidak efektif yakni dobel “dan”, tetapi terdapat satu penghubung yang menarik. Pada awal, penulis memberikan gambaran Korean Wave secara umum di negeri asalnya. Pada paragraf kedua, penulis berusaha untuk menyajikan dampak dari gelombang budaya ini bagi para remaja di Indonesia. Fakta yang kurang efektif ditunjukkan pada kutipan : “...walaupun orangtua juga tidak luput terkena demam Korea ini”. Kenapa? Karena yang ingin dibahas dari judul ini adalah dampaknya bagi para remaja.
Pada paragraf terakhir, harus ada solusi yang ditawarkan. Dalam beberapa paper, solusi tidak harus disajikan secara tersurat. Bisa saja penulis menyajikan solusi ini dengan mengajak pembaca berfikir dengan kalimat-kalimat tanya-retoris. Perhatikan contoh berikut : “ ... Selama ini, meunasah menjadi identitas bagi masyarakat dan oleh karenanya berbicara mengenai budaya dan peradaban masyarakat Aceh berarti berbicara mengenai Meunasah sebagai wadah proses pengembangan budaya dan sosial keagamaan masyarakat.”[Umaimah W. 2011. Peran Meunasah Sebagai Simbol Budaya Dalam Proses Komunikasi Sosial Masyarakat Aceh. Hal 142. Disajikan dalam Konferensi Komunikasi UI 2011].
Penggalan kutipan paragraf terakhir dalam karya tulis tersebut merupakan salah satu bentuk pertanyaan retoris, atau saya menyebutnya sebagai ajakan melalui pertanyaan tersirat. Karena dalam kutipan tersebut, penulis berusaha untuk meyuarakan aspirasi bahwa Meunasah sebagai pusat pengembangan budaya di Aceh. Dalam prediksi kita, secara umum Meunasah ini belum dikenal atau belum diketahui sebagai “roh” D.I. Aceh sebagai pusat budaya Timur yang sudah berperadaban maju.
Demikian ulasan mengenai trik menyusun latar belakang masalah dalam sebuah karya tulis. Dari uraian di atas, pada intinya latar belakang masalah memiliki 3 hal pokok yang harus ada yaitu : idealita, realita dan solusi pemecahan masalahnya. Pengembangannya bermacam-macam, tergantung pada ketentuan yang telah disepakatai, atau bisa juga menyesuaikan dengan gaya penulis itu sendiri. Semoga bermanfaat... ^_^

Kritik & saran bisa dialamatkan di :
Isdiyono89@gmail.com atau fb : Isdiyono Pak Guru
10 Desember 2012

Saturday 8 December 2012

Menulis Karya Tulis Part 1


Menghitung Peluang Judul

Menulis, begitu pentingnya sampai-sampai Umar bin Khatab mengatakan satu nasihat “ikatlah ilmu dengan menulis”. Nampaknya, ungkapan ini benar mengingat bahwa menulis merupakan salah satu aspek penting dalam sebuah peradaban. Bisa dikatakan bahwa semakin tinggi peradaban suatu kaum itu berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas tulisan yang dihasilkannya.
Bahkan, dimulainya zaman sejarah pun ditandai dengan ditemukannya tulisan. Diduga, tulisan pertama kali ditemukan di lembah Sumeria (Irak) oleh bangsa Babylon dengan tulisan terkenalnya : hieroglif atau tulisan paku. Dinamakan demikian karena memang bentuk hurufnya seperti paku dan masing-masing merupakan suatu perlambang komunikasi yang sangat terbatas.
Seiring dengan perkembangan zaman, tulisan pun semakin leluasa menemukan bentuk universalnya. Satu bentuk tulisan atau beberapa jenis tulisan yang bisa dipakai siapapun, dimanapun dan kapanpun berada. Tentu saja, bisa dimengerti oleh komunikan atau dalam hal ini masyarakat tertentu. Sampai saat ini, tulisan memiliki arti penting dalam merangkum komunikasi oral yang dalam situasi tertentu tidak efektif dan memiliki sifat ambigu. Jadi, jika anda tidak mau menulis bisa saya duga kalau anda memang belum pantas untuk masuk zaman sejarah ini. So, mari belajar menulis ...
***
Pertanyaan yang muncul di kepala saya ketika pertama kali belajar menulis adalah : apa yang harus saya tulis? Dari mana saya harus mulai menulis? Untuk apa saya menulis? Dapat apa saya menulis? Pertanyaan itu saya yakin juga muncul di pikiran teman-teman. Dalam kondisi yang demikian, kalau saya ibaratkan orang yang sedang melamar kerja adalah tahap fase interview. Pada fase ini, seseorang dihadapkan pada dua pilihan : melanjutkan menulis atau melupakan aktivitas menulis.
Pilihan untuk tidak menulis, kalau saya boleh menebak sebab utamanya adalah karena berpikir itu berat. Berpikir membutuhkan energi, ketenangan, inspirasi dan kemauan yang kuat. Tanpa hal-hal yang demikian, jarang-jarang seseorang bisa lancar dalam menulis. Meskipun, perlu disadari bahwa gaya seorang penulis dengan penulis lain itu berbeda.
Apalagi, kalau sudah berkaitan dengan menulis yang namanya “karya tulis”. Saya pastikan hampir semua orang akan merasa alergi. Belum membuat sudah banyak mendapat intimidasi : sulit loh...buat apa sih? Kurang kerjaan... Emangnya penting ya? Apalagi, salah satu syarat untuk lulus program S1 ataupun kenaikan pangkat guru harus menyusun karya tulis. Nah, jadi, istilahnya “prevent is better than aid” atau kalau saya tidak salah maksudnya adalah mencegah lebih baik daripada mengobati. Belajar dari awal, memberikan keleluasaan dalam membentuk paradigma berpikir ilmiah di dalam kepala kita.
***
Satu bagian paling penting dan vital dari karya tulis yang menunjukkan bahwa “this is my paper!” adalah judul. Ya, satu bagian kecil, singkat yang terletak di halaman terdepan karya tulis adalah judul. Institusi boleh bonafit, tetapi judul merupakan “raja” dari wajah karya tulis. Kalau kata sebuah iklan, pandangan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda.
Nampaknya hal ini berlaku pula pada penyusunan karya tulis. Seberapapun menarik, canggih, shohih-pun isi sebuah karya tulis belum tentu bisa menarik reviewer ataupun dewan juri. Saya kasih satu contoh misalnya dalam satu even, ditentukan tema karya tulis tentang pendidikan karakter. Jika anda menulis judul dengan diawali “pendidikan karakter...bla...bla...bla...” tanpa diiringi “sesuatu” variabel yang “wah”, bisa saya pastikan karya anda akan langsung tereliminasi. Kenapa bisa begitu?
Bisa saja, karena yang menulis sebuah karya tulis dengan judul demikian tidak hanya anda saja. Tetapi, ada puluhan, ratusan atau bahkan ribuan orang yang menulis hal yang sama. Di sinilah seorang yang ingin menulis karya tulis diuji “keunikan” gagasannya. Semakin unik dan spesial atau khusus, semakin membuat reviewer terpesona. Orang tentu akan lebih tertarik pada sesuatu yang “unik” dan berbeda. Kalau tidak, mana mungkin buku JK Rowling, Harry Potter, bisa menjadi buku terlaris dan filmnya paling dinanti se-dunia.
Semakin khusus dan mendalam sesuai dengan keilmuan kita, maka karya tulis itu akan “terpaksa ” dianggap bagus meskipun baru dibaca judulnya saja. Meskipun tema yang ditentukan sebuah majalah ilmiah atau even ilmiah agak tidak sesuai dengan keilmuan kita, tidak perlu patah semangat. Karena pada dasarnya, sangat jarang karya tulis yang sesuai dengan keahlian kita. Padahal, kita selalu merasa tertantang untuk menuliskan gagasan-gagasan kita.
Ada rahasia, yang tentu saja saya bagikan pada teman-teman semua dalam menyikapi fenomena ini. “Bahaslah suatu permasalahan berdasarkan sudut pandang keilmuan kita”, itu kata-kata yang selalu saya ucapkan ketika diminta mengisi berbagai macam forum kepenulisan. Jika kita orang dengan keahlian pendidikan, akan kalah jika membuat karya tulis tentang Sains berdasarkan sudut pandang Sains. Buatlah judul yang memungkinkan kita membahas Sains dari sudut pandang pendidikan. Jika kita dari sains, cobalah membahas tema fenomena interaksi sosial berdasarkan Sains.
Dua alasan yang cocok untuk menjawab pertanyaan why?, adalah: 1. Reviewer biasanya diambil dari para ahli di bidang yang berkaitan dengan tema tersebut, sehingga mereka tidak terlalu menguasai materi dari sudut pandang kita dan akan memancing “keheranan” mereka dan 2. Kita akan lebih menguasai materi dan menjadi “pembeda” di antara keseragaman pemikiran. Dua alasan ini, saya kira cukuplah dijadikan alasan kenapa kita harus membahas sebuah permasalahan dari sudut pandang keahlian kita. Itung-itung hemat energi dalam “menawarkan” betapa pentingnya karya tulis yang kita buat untuk masyarakat luas.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah panjang judul. Dua sampai tiga variabeldengan kata-kata hubung yang efektif dan efisien saya kira lebih baik daripada banyak tetapi bertele-tele. Saya kira 4-10 kata sudah cukup untuk menuliskan judul yang “menjual”. Lebih dari itu, judul akan terlalu hambar, apalagi jika penulis tidak paham akan masalah tersebut. Tentu akan menjadi sebuah karya tulis yang tidak nyambung.
Jadi, daripada menuliskan 3 atau lebih variabel saya kira 2 variabel sudah cukup untuk membuat judul yang bagus. Misalkan judul “Pemanfaatan cana edulis (ganyong) sebagai katalisator penderita maag”. Kalau kita hitung, ada 8 kata yang menyusun judul tersebut. Kadangkala, para penulis pemula berpikir bahwa judul yang menarik harus bagus dan panjang. Maka, bisa jadi mereka menuliskan “Pemanfaatan tepung pati ganyong (cana edulis) sebagai solusi penyembuh penderita maag”. Memang, hanya bertambah 3 kata tetapi kalau dilihat penambahan itu merupakan suatu hal yang sia-sia. Karena pada dasarnya, yang di bahas di dalam karya tulisnya adalah satu hal yang sama. Sebuah karya tulis yang bagus, dimulai dari sebuah judul yang sederhana, ringkas, efektif dan efisien.
Judul yang terlalu umum, judul yang bertele-tele, penggunaan kata hubung yang tidak tepat dan penggunaan variabel yang tidak diperlukan adalah hal-hal yang dihindari dalam penulisan judul. Hindari pula penggunaan variabel yang tidak banyak diulas dalam berbagai buku, karena akan menjadikan kita kesulitan dalam mencari referensi pada tahap selanjutnya. Kalaupun ingin mencantumkan variabel yang baru, usahakan ada variabel umum yang sudah ada.
Saya berikan contoh misalnya kita ingin mengulas keterampilan membaca langsung (Direct reading), bisa kita ubah-sesuaikan dengan judul kita. Misal sasaran subjek kita adalah kelas-kelas di sekolah dasar. Bisa kita tambah “Early direct reading”. Secara ke-khususan, kata ini memiliki nilai tawar yang tinggi karena orang jarang mendengarnya. Untuk mencari referensi pun tidak terlalu sulit, karena kita bisa menelusuri asal-muasalnya.
Ke atas, keterampilan ini merupakan bagian dari “keterampilan membaca mendalam”. Semakin ke atas, ini merupakan salah satu bentuk strategi dalam keterampilan berbahasa kategori keterampilan membaca. Di level tertinggi, keterampilan bahasa adalah referensi utamanya. Jadi, kita tidak akan kesulitan untuk menemukan berbagai macam teori dan pendapat yang dibutuhkan dalam menjabarkan ide kita tersebut.
Kesimpulan, judul merupakan satu hal terpenting yang harus diperhatikan. Judul, meskipun cuma sedikit, tetapi memiliki kedalaman dan menunjukkan kemampuan pengolahan karya tulis si penulis di dalamnya. Semakin sederhana dan khusus judul disusun, maka akan semakin memiliki nilai “jual” yang tinggi. Sesuaikan judul dengan keahlian kita, karena ini akan menjadi kredit poin tertinggi yang membuat ciri khas dari karya kita. Jika masih saja kesulitan menemukan judul, awali dengan perbanyak membaca buku, eksperimen judul kemudian dikonsultasikan pada mentor yang sudah berpengalaman dan sering-seringlah membuka jurnal untuk mendapatkan inspirasi judul. Semoga bermanfaat.
Isdiyono, 09 Desember 2012

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...