Saturday 20 October 2012

Menulis sebagai Kesenangan tak Terkirakan

Selama ini, keterampilan menulis belum menjadi kebutuhan dalam dunia pendidikan kita. Terbukti dari jumlah judul buku yang terbit dalam waktu setahun. Sebagai perbandingan, di kawasan negara-negara Asia kita menempati posisi yang cukup rendah. Memang Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Cina, yang berpenduduk 1,3 miliar jiwa mampu menerbitkan 140.000 judul buku baru setiap tahunnya. Vietnam dengan 80 juta jiwa menerbitkan 15.000 judul buku baru per tahun, Malaysia berpenduduk 26 juta jiwa menerbitkan 10.000 judul, sedangkan Indonesia dengan 220 juta jiwa hanya mampu menerbitkan 10.000 judul pertahun (Enjang A.S,2011).
Kondisi demikian diperparah dengan kuantitas dan kualitas jurnal yang terbit di Indonesia yang lagi-lagi masih kalah dibandingkan dengan negara tetangga. Hal inilah yang kemudian mendorong Dikti melalui Mendiknas menerbitkan dua surat edaran perihal publikasi karya ilmiah. Pertama, surat edaran bertanggal 30 Desember 2011 (Nomor 250/E/T/2011) perihal kebijakan unggah karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dosen. Edaran kedua bertanggal 27 Januari 2012 (Nomor 152/E/T/2012) perihal publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 berlaku mulai kelulusan Agustus 2012.
Himbauan yang bersifat wajib ini, memberikan tantangan sekaligus ancaman bagi perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Untuk perguruan tinggi yang memiliki tradisi baca-tulis tinggi, himbauan ini bisa diartikan sebagai kesempatan untuk meningkatkan kinerja dan peringkat universitas. Tetapi, kebijakan ini menjadi pukulan berat bagi perguruan-perguruan tinggi yang belum mampu, terutama perguruan tinggi swasta.
Salah satu alasan utama penyebab kesulitan menulis yang dialami oleh para akademisi termasuk kita barangkali, tidak terlepas dari pola pembelajaran sejak dini. Seperti yang kita ketahui, ada pandangan yang kurang tepat dari guru dan orang tua yang sering menilai kesuksesan belajar anak dilihat dari nilai rapor dan nilai kelulusan. Di samping mudah dilihat (bentuk angka) juga memberikan kebanggaan tersendiri bagi mereka jika anaknya mendapatkan nilai bagus tanpa memperhatikan variabel lain. Dalam artian, kemampuan yang berkembang akan didominasi oleh kemampuan kognitif yang tinggi terpusat pada kemampuan menjawab pertanyaan bukan menjelaskannya. Apakah anda merasakannya?

Menulis itu Mudah
Dari setiap pertemuan awal saya memberi materi di komunitas-komunitas kepenulisan, hampir setiap orang mengatakan bahwa menulis itu sulit. Pertanyaan yang hampir selalu diajukan oleh para peserta ada dua macam yaitu : 1.) Bagaimana to menulis yang baik itu? Atau ini :  2.) Bagaimana sich mencari ide itu? Setelah pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada pertanyaan lanjutan yang saya kira juga akan anda tanyakan : bagaimana sih agar saya bisa istiqomah dalam menulis?
Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu kita jawab, ada baiknya kita pahami dulu sejarah tulisan dari masa ke masa. Tulisan pertama, dalam banyak buku sejarah pada awalnya ditemukan di sebuah kota mati di sekitar lembah Babilon yang bernama huruf Hieroglyf. Diduga, tulisan dibutuhkan oleh manusia untuk mempermudah komunikasi sosial yang berkembang sangat pesat pada masa itu yang menandai berakhirnya zaman batu.
Sehingga, bisa kita simpulkan bahwa fungsi tulisan dalam hal ini adalah untuk mempermudah komunikasi. Dalam perkembangannya, tulisan tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi saja, tetapi juga alat untuk mengingat pengetahuan baru. Bayangkan saja, misalkan kita ingin menyimpan data-data tentang macam tulang mamalia dari tulangnya. Perlu berapa luas ruang penyimpanannya? Berapa biaya perawatannya? Dengan tulisan, semua data tersebut bisa disimpan hanya dalam satu buah buku.
Berdasarkan sedikit cerita sejarah tersebut, maka pada dasarnya aktivitas menulis itu tidak terbatas pada aturan-aturan tertentu. Adanya aturan, pengelompokan atau genre sebenarnya diadakan untuk mempermudah identifikasi dan apresiasi tulisan. Jadi, tidak benar jika ada tulisan yang “ini” benar dan yang “itu” salah. Karena pada dasarnya, tulisan itu ditulis untuk menjelaskan pertanyaan, bukan menjawab pertanyaan. Sehingga, jawaban dari pertanyaan pertama adalah tulisan yang baik itu adalah tulisan yang baik menurut siapa atau menurut peraturan apa. Bahkan, seorang yang ahli menulis pun tidak bisa menentukan baik buruknya tulisan, tetapi hanya bisa memberikan apresiasi dan penilaian berdasarkan aspek-aspek tertentu saja.
Pertanyaan ini pun sebenarnya juga saya tanyakan ketika awal belajar menulis dulu. Saat itu saya bertemu dengan ustad Salim A. Fillah yang tentu saja teman-teman juga mengenalnya. Jawaban yang sampai saat ini saya pegang dan saya sampaikan adalah seperti ini : “Kita tidak perlu mengikuti EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) ketika menulis, tetapi menulislah dan biarkan EYD yang mengikuti tulisanmu.”
Sebagai latihan menulis karya tulis yang jumlah halamannya berlembar-lembar, maka ada baiknya kita mulai dengan menulis artikel. Tulisan-tulisan ringan dan pendek, akan mempermudah kita dalam mengkritisi tulisan-tulisan kita saat editing akhir. Karena pada dasarnya, tulisan terbaik kita bukanlah tulisan pertama kita, tetapi tulisan yang sudah kita “objektifkan”. Kata objektif yang dimaksud adalah memperkirakan bahwa tulisan kita enak dibaca dan penting bagi orang lain. Catatan yang perlu diingat, tidak ada tulisan yang objektif karena setiap tulisan sifatnya adalah subjektif menurut siapa penulisnya. Jadi, masih mau bilang kalau menulis itu susah?

Eksplorasi Ide
Menjawab pertanyaan kedua, sekiranya perlu saya berikan bagian khusus. Karena ide itu adalah sesuatu yang mudah, tetapi seringkali dibuat menjadi sulit oleh kebanyakan orang. Ide itu ada di setiap detik dalam kehidupan kita dan ada di dalam setiap tempat yang kita lalui atau benda yang kita indera. Kawan-kawan saya yang gemar menulis, ada yang sering mendapatkan ide bahkan ketika berada di kamar mandi. Kenapa? Karena pada dasarnya, ide menurut saya adalah gabungan dari ketenangan dan kepekaan yang dipadukan dalam kepentingan yang lebih besar.
Bukan berarti, saya menyarankan anda harus mencari ide di kamar mandi. Banyak orang mengatakan “saya mau mencari ide dulu” sebelum mulai menulis. Padahal, ide itu bukan untuk dicari karena ada di sekitar kita. Akan tetapi, ide itu harus dimunculkan dengan mengasah kepekaan kita. Gesekan kepekaan, jika diparodikan dengan hukum fisika bisa kita rumuskan bahwa besarnya koefisien gesekan yang terjadi pada benda, berbanding lurus dengan frekuensi gesekan tersebut. Dalam diri seseorang, yang perlu digesek bukan tangan atau kakinya, tetapi perasaannya.
Kepekaan akan semakin tinggi, apabila sering kita pakai nalar perasaan kita untuk berpikir. Penggesekan perasaan ini, bisa kita lakukan dengan lebih sering mengaktifkan seluruh panca indera dalam menghadapi permasalahan. Tidak hanya menggunakan mata dan peraba saja, dalam pepatah mata bisa menipu. Jika hanya mata yang kita gunakan dalam menghadapi sebuah masalah, maka bisa jadi yang keluar adalah pukulan atau tendangan. Beda jika kita gunakan perasaan, tangan bisa digunakan untuk mengidentifikasi masalah dan kaki untuk mempercepat langkah dalam menyelesaikan masalah.
Jalan-jalan ke tempat yang baru, mencari teman dengan keahlian berbeda, jurusan berbeda atau melihat fenomena dalam masyarakat, adalah beberapa hal yang bisa kita gunakan untuk menggesek perasaan kita supaya lebih peka. Tidak perlu jauh-jauh, karena pada dasarnya masalah itu selalu mengiringi perjalanan hidup setiap orang. Prinsip yang harus kita pegang adalah bahwa setiap orang memiliki keseharian yang berbeda. Tidak perlu berpikir tentang hal yang sama, karena perbedaan itulah yang akan membedakan ide kita dengan ide-ide orang lain. Nilai tawar ini, akan lebih memiliki nilai jual yang tinggi dalam pengkaryaan daripada ide-ide yang sejenis. So, masihkah anda bingung mencari ide?

Kontinuitas
Tentang keberlanjutan dari energi untuk mengeksplorasi diri, merupakan dasar dari sebuah kesenangan. Sedangkan kesenangan itu akan muncul ketika kita sudah menemukan tentang pentingnya hal tersebut bagi kita dan lingkungan sekitar. Bahwa peran seorang mahasiswa di dalam masyarakat, tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar materi yang sudah diberikan kepada masyarakat. Tetapi, seberapa banyak pemikiran-pemikiran kecil yang sudah kita eksplor kepada masyarakat.
Misalnya saja, ketika di daerahnya terjadi kekeringan maka kita bisa memikirkan cara bagaimana bisa mengantisipasi hal tersebut. Atau bagaimana memisahkan padi dari kotoran yang mengikutinya, pemanfaatan limbah kebutuhan sehari-hari, bagaimana mengkombinasikan perikanan untuk menambah income para petani. Karena ujung-ujungnya, karya tulis yang kita hasilkan secara global harus memberikan kemanfaatan baik teori maupun praktik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Semakin berguna inovasi yang kita ajukan, maka peluang untuk meraih prestasi dalam berbagai kompetisi maupun penghargaan pasti akan mengiringinya.
Jadi, kita tidak perlu berpikir bahwa karya kita akan memenangkan sebuah kompetisi. Tetapi, bagaimana apa yang kita tuliskan ini bisa bermanfaat dan dapat dipertanggungjawabkan. Plagiasi bukan solusi untuk mencapai prestasi yang instan. Karena plagiasi menunjukkan kepicikan pemikiran kita. Untuk mencegah plagiasi, maka kita perlu mempublikasikan tulisan-tulisan kita pada masyarakat luas. Media massa, elektronik maupun web atau blog merupakan solusi media publikasi yang terjangkau. Jika setiap orang yang membacanya merasakan manfaat, maka secara otomatis akan disebarkan. Secara tidak langsung, kita telah menebarkan kebaikan bagi umat. Bahkan, ketika kita sudah meninggal pun orang lain masih bisa menikmati pemikiran-pemikiran kita. Wallahu a’lam.
Referensi :
Enjang A.S. 2011. Menguak Belantara Bacaan. Diambil dari http://ikapijabar.com/menguak-belantara-bacaan/ pada hari Rabu, 22/02/2012 pukul 12.04.
Joko Santoso. 2011. Perihal : Kenaikan Pangkat Dosen. Diambil dari Surat Edaran Dirjen Dikti tertanggal 30 Desember 2011.
Joko Santoso. 2012. Perihal : Publikasi Karya Ilmiah. Diambil dari Surat Edaran Dirjen Dikti tertanggal 27 Januari 2012.

Menulis sebagai Kesenangan tak Terkirakan


Selama ini, keterampilan menulis belum menjadi kebutuhan dalam dunia pendidikan kita. Terbukti dari jumlah judul buku yang terbit dalam waktu setahun. Sebagai perbandingan, di kawasan negara-negara Asia kita menempati posisi yang cukup rendah. Memang Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Cina, yang berpenduduk 1,3 miliar jiwa mampu menerbitkan 140.000 judul buku baru setiap tahunnya. Vietnam dengan 80 juta jiwa menerbitkan 15.000 judul buku baru per tahun, Malaysia berpenduduk 26 juta jiwa menerbitkan 10.000 judul, sedangkan Indonesia dengan 220 juta jiwa hanya mampu menerbitkan 10.000 judul pertahun (Enjang A.S,2011).
Kondisi demikian diperparah dengan kuantitas dan kualitas jurnal yang terbit di Indonesia yang lagi-lagi masih kalah dibandingkan dengan negara tetangga. Hal inilah yang kemudian mendorong Dikti melalui Mendiknas menerbitkan dua surat edaran perihal publikasi karya ilmiah. Pertama, surat edaran bertanggal 30 Desember 2011 (Nomor 250/E/T/2011) perihal kebijakan unggah karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dosen. Edaran kedua bertanggal 27 Januari 2012 (Nomor 152/E/T/2012) perihal publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 berlaku mulai kelulusan Agustus 2012.
Himbauan yang bersifat wajib ini, memberikan tantangan sekaligus ancaman bagi perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Untuk perguruan tinggi yang memiliki tradisi baca-tulis tinggi, himbauan ini bisa diartikan sebagai kesempatan untuk meningkatkan kinerja dan peringkat universitas. Tetapi, kebijakan ini menjadi pukulan berat bagi perguruan-perguruan tinggi yang belum mampu, terutama perguruan tinggi swasta.
Salah satu alasan utama penyebab kesulitan menulis yang dialami oleh para akademisi termasuk kita barangkali, tidak terlepas dari pola pembelajaran sejak dini. Seperti yang kita ketahui, ada pandangan yang kurang tepat dari guru dan orang tua yang sering menilai kesuksesan belajar anak dilihat dari nilai rapor dan nilai kelulusan. Di samping mudah dilihat (bentuk angka) juga memberikan kebanggaan tersendiri bagi mereka jika anaknya mendapatkan nilai bagus tanpa memperhatikan variabel lain. Dalam artian, kemampuan yang berkembang akan didominasi oleh kemampuan kognitif yang tinggi terpusat pada kemampuan menjawab pertanyaan bukan menjelaskannya. Apakah anda merasakannya?

Menulis itu Mudah
Dari setiap pertemuan awal saya memberi materi di komunitas-komunitas kepenulisan, hampir setiap orang mengatakan bahwa menulis itu sulit. Pertanyaan yang hampir selalu diajukan oleh para peserta ada dua macam yaitu : 1.) Bagaimana to menulis yang baik itu? Atau ini :  2.) Bagaimana sich mencari ide itu? Setelah pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada pertanyaan lanjutan yang saya kira juga akan anda tanyakan : bagaimana sih agar saya bisa istiqomah dalam menulis?
Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu kita jawab, ada baiknya kita pahami dulu sejarah tulisan dari masa ke masa. Tulisan pertama, dalam banyak buku sejarah pada awalnya ditemukan di sebuah kota mati di sekitar lembah Babilon yang bernama huruf Hieroglyf. Diduga, tulisan dibutuhkan oleh manusia untuk mempermudah komunikasi sosial yang berkembang sangat pesat pada masa itu yang menandai berakhirnya zaman batu.
Sehingga, bisa kita simpulkan bahwa fungsi tulisan dalam hal ini adalah untuk mempermudah komunikasi. Dalam perkembangannya, tulisan tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi saja, tetapi juga alat untuk mengingat pengetahuan baru. Bayangkan saja, misalkan kita ingin menyimpan data-data tentang macam tulang mamalia dari tulangnya. Perlu berapa luas ruang penyimpanannya? Berapa biaya perawatannya? Dengan tulisan, semua data tersebut bisa disimpan hanya dalam satu buah buku.
Berdasarkan sedikit cerita sejarah tersebut, maka pada dasarnya aktivitas menulis itu tidak terbatas pada aturan-aturan tertentu. Adanya aturan, pengelompokan atau genre sebenarnya diadakan untuk mempermudah identifikasi dan apresiasi tulisan. Jadi, tidak benar jika ada tulisan yang “ini” benar dan yang “itu” salah. Karena pada dasarnya, tulisan itu ditulis untuk menjelaskan pertanyaan, bukan menjawab pertanyaan. Sehingga, jawaban dari pertanyaan pertama adalah tulisan yang baik itu adalah tulisan yang baik menurut siapa atau menurut peraturan apa. Bahkan, seorang yang ahli menulis pun tidak bisa menentukan baik buruknya tulisan, tetapi hanya bisa memberikan apresiasi dan penilaian berdasarkan aspek-aspek tertentu saja.
Pertanyaan ini pun sebenarnya juga saya tanyakan ketika awal belajar menulis dulu. Saat itu saya bertemu dengan ustad Salim A. Fillah yang tentu saja teman-teman juga mengenalnya. Jawaban yang sampai saat ini saya pegang dan saya sampaikan adalah seperti ini : “Kita tidak perlu mengikuti EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) ketika menulis, tetapi menulislah dan biarkan EYD yang mengikuti tulisanmu.”
Sebagai latihan menulis karya tulis yang jumlah halamannya berlembar-lembar, maka ada baiknya kita mulai dengan menulis artikel. Tulisan-tulisan ringan dan pendek, akan mempermudah kita dalam mengkritisi tulisan-tulisan kita saat editing akhir. Karena pada dasarnya, tulisan terbaik kita bukanlah tulisan pertama kita, tetapi tulisan yang sudah kita “objektifkan”. Kata objektif yang dimaksud adalah memperkirakan bahwa tulisan kita enak dibaca dan penting bagi orang lain. Catatan yang perlu diingat, tidak ada tulisan yang objektif karena setiap tulisan sifatnya adalah subjektif menurut siapa penulisnya. Jadi, masih mau bilang kalau menulis itu susah?

Eksplorasi Ide
Menjawab pertanyaan kedua, sekiranya perlu saya berikan bagian khusus. Karena ide itu adalah sesuatu yang mudah, tetapi seringkali dibuat menjadi sulit oleh kebanyakan orang. Ide itu ada di setiap detik dalam kehidupan kita dan ada di dalam setiap tempat yang kita lalui atau benda yang kita indera. Kawan-kawan saya yang gemar menulis, ada yang sering mendapatkan ide bahkan ketika berada di kamar mandi. Kenapa? Karena pada dasarnya, ide menurut saya adalah gabungan dari ketenangan dan kepekaan yang dipadukan dalam kepentingan yang lebih besar.
Bukan berarti, saya menyarankan anda harus mencari ide di kamar mandi. Banyak orang mengatakan “saya mau mencari ide dulu” sebelum mulai menulis. Padahal, ide itu bukan untuk dicari karena ada di sekitar kita. Akan tetapi, ide itu harus dimunculkan dengan mengasah kepekaan kita. Gesekan kepekaan, jika diparodikan dengan hukum fisika bisa kita rumuskan bahwa besarnya koefisien gesekan yang terjadi pada benda, berbanding lurus dengan frekuensi gesekan tersebut. Dalam diri seseorang, yang perlu digesek bukan tangan atau kakinya, tetapi perasaannya.
Kepekaan akan semakin tinggi, apabila sering kita pakai nalar perasaan kita untuk berpikir. Penggesekan perasaan ini, bisa kita lakukan dengan lebih sering mengaktifkan seluruh panca indera dalam menghadapi permasalahan. Tidak hanya menggunakan mata dan peraba saja, dalam pepatah mata bisa menipu. Jika hanya mata yang kita gunakan dalam menghadapi sebuah masalah, maka bisa jadi yang keluar adalah pukulan atau tendangan. Beda jika kita gunakan perasaan, tangan bisa digunakan untuk mengidentifikasi masalah dan kaki untuk mempercepat langkah dalam menyelesaikan masalah.
Jalan-jalan ke tempat yang baru, mencari teman dengan keahlian berbeda, jurusan berbeda atau melihat fenomena dalam masyarakat, adalah beberapa hal yang bisa kita gunakan untuk menggesek perasaan kita supaya lebih peka. Tidak perlu jauh-jauh, karena pada dasarnya masalah itu selalu mengiringi perjalanan hidup setiap orang. Prinsip yang harus kita pegang adalah bahwa setiap orang memiliki keseharian yang berbeda. Tidak perlu berpikir tentang hal yang sama, karena perbedaan itulah yang akan membedakan ide kita dengan ide-ide orang lain. Nilai tawar ini, akan lebih memiliki nilai jual yang tinggi dalam pengkaryaan daripada ide-ide yang sejenis. So, masihkah anda bingung mencari ide?

Kontinuitas
Tentang keberlanjutan dari energi untuk mengeksplorasi diri, merupakan dasar dari sebuah kesenangan. Sedangkan kesenangan itu akan muncul ketika kita sudah menemukan tentang pentingnya hal tersebut bagi kita dan lingkungan sekitar. Bahwa peran seorang mahasiswa di dalam masyarakat, tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar materi yang sudah diberikan kepada masyarakat. Tetapi, seberapa banyak pemikiran-pemikiran kecil yang sudah kita eksplor kepada masyarakat.
Misalnya saja, ketika di daerahnya terjadi kekeringan maka kita bisa memikirkan cara bagaimana bisa mengantisipasi hal tersebut. Atau bagaimana memisahkan padi dari kotoran yang mengikutinya, pemanfaatan limbah kebutuhan sehari-hari, bagaimana mengkombinasikan perikanan untuk menambah income para petani. Karena ujung-ujungnya, karya tulis yang kita hasilkan secara global harus memberikan kemanfaatan baik teori maupun praktik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Semakin berguna inovasi yang kita ajukan, maka peluang untuk meraih prestasi dalam berbagai kompetisi maupun penghargaan pasti akan mengiringinya.
Jadi, kita tidak perlu berpikir bahwa karya kita akan memenangkan sebuah kompetisi. Tetapi, bagaimana apa yang kita tuliskan ini bisa bermanfaat dan dapat dipertanggungjawabkan. Plagiasi bukan solusi untuk mencapai prestasi yang instan. Karena plagiasi menunjukkan kepicikan pemikiran kita. Untuk mencegah plagiasi, maka kita perlu mempublikasikan tulisan-tulisan kita pada masyarakat luas. Media massa, elektronik maupun web atau blog merupakan solusi media publikasi yang terjangkau. Jika setiap orang yang membacanya merasakan manfaat, maka secara otomatis akan disebarkan. Secara tidak langsung, kita telah menebarkan kebaikan bagi umat. Bahkan, ketika kita sudah meninggal pun orang lain masih bisa menikmati pemikiran-pemikiran kita. Wallahu a’lam.
Referensi :
Enjang A.S. 2011. Menguak Belantara Bacaan. Diambil dari http://ikapijabar.com/menguak-belantara-bacaan/ pada hari Rabu, 22/02/2012 pukul 12.04.
Joko Santoso. 2011. Perihal : Kenaikan Pangkat Dosen. Diambil dari Surat Edaran Dirjen Dikti tertanggal 30 Desember 2011.
Joko Santoso. 2012. Perihal : Publikasi Karya Ilmiah. Diambil dari Surat Edaran Dirjen Dikti tertanggal 27 Januari 2012.

Menulis sebagai Kesenangan tak Terkirakan


Selama ini, keterampilan menulis belum menjadi kebutuhan dalam dunia pendidikan kita. Terbukti dari jumlah judul buku yang terbit dalam waktu setahun. Sebagai perbandingan, di kawasan negara-negara Asia kita menempati posisi yang cukup rendah. Memang Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Cina, yang berpenduduk 1,3 miliar jiwa mampu menerbitkan 140.000 judul buku baru setiap tahunnya. Vietnam dengan 80 juta jiwa menerbitkan 15.000 judul buku baru per tahun, Malaysia berpenduduk 26 juta jiwa menerbitkan 10.000 judul, sedangkan Indonesia dengan 220 juta jiwa hanya mampu menerbitkan 10.000 judul pertahun (Enjang A.S,2011).
Kondisi demikian diperparah dengan kuantitas dan kualitas jurnal yang terbit di Indonesia yang lagi-lagi masih kalah dibandingkan dengan negara tetangga. Hal inilah yang kemudian mendorong Dikti melalui Mendiknas menerbitkan dua surat edaran perihal publikasi karya ilmiah. Pertama, surat edaran bertanggal 30 Desember 2011 (Nomor 250/E/T/2011) perihal kebijakan unggah karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dosen. Edaran kedua bertanggal 27 Januari 2012 (Nomor 152/E/T/2012) perihal publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 berlaku mulai kelulusan Agustus 2012.
Himbauan yang bersifat wajib ini, memberikan tantangan sekaligus ancaman bagi perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Untuk perguruan tinggi yang memiliki tradisi baca-tulis tinggi, himbauan ini bisa diartikan sebagai kesempatan untuk meningkatkan kinerja dan peringkat universitas. Tetapi, kebijakan ini menjadi pukulan berat bagi perguruan-perguruan tinggi yang belum mampu, terutama perguruan tinggi swasta.
Salah satu alasan utama penyebab kesulitan menulis yang dialami oleh para akademisi termasuk kita barangkali, tidak terlepas dari pola pembelajaran sejak dini. Seperti yang kita ketahui, ada pandangan yang kurang tepat dari guru dan orang tua yang sering menilai kesuksesan belajar anak dilihat dari nilai rapor dan nilai kelulusan. Di samping mudah dilihat (bentuk angka) juga memberikan kebanggaan tersendiri bagi mereka jika anaknya mendapatkan nilai bagus tanpa memperhatikan variabel lain. Dalam artian, kemampuan yang berkembang akan didominasi oleh kemampuan kognitif yang tinggi terpusat pada kemampuan menjawab pertanyaan bukan menjelaskannya. Apakah anda merasakannya?

Menulis itu Mudah
Dari setiap pertemuan awal saya memberi materi di komunitas-komunitas kepenulisan, hampir setiap orang mengatakan bahwa menulis itu sulit. Pertanyaan yang hampir selalu diajukan oleh para peserta ada dua macam yaitu : 1.) Bagaimana to menulis yang baik itu? Atau ini :  2.) Bagaimana sich mencari ide itu? Setelah pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada pertanyaan lanjutan yang saya kira juga akan anda tanyakan : bagaimana sih agar saya bisa istiqomah dalam menulis?
Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu kita jawab, ada baiknya kita pahami dulu sejarah tulisan dari masa ke masa. Tulisan pertama, dalam banyak buku sejarah pada awalnya ditemukan di sebuah kota mati di sekitar lembah Babilon yang bernama huruf Hieroglyf. Diduga, tulisan dibutuhkan oleh manusia untuk mempermudah komunikasi sosial yang berkembang sangat pesat pada masa itu yang menandai berakhirnya zaman batu.
Sehingga, bisa kita simpulkan bahwa fungsi tulisan dalam hal ini adalah untuk mempermudah komunikasi. Dalam perkembangannya, tulisan tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi saja, tetapi juga alat untuk mengingat pengetahuan baru. Bayangkan saja, misalkan kita ingin menyimpan data-data tentang macam tulang mamalia dari tulangnya. Perlu berapa luas ruang penyimpanannya? Berapa biaya perawatannya? Dengan tulisan, semua data tersebut bisa disimpan hanya dalam satu buah buku.
Berdasarkan sedikit cerita sejarah tersebut, maka pada dasarnya aktivitas menulis itu tidak terbatas pada aturan-aturan tertentu. Adanya aturan, pengelompokan atau genre sebenarnya diadakan untuk mempermudah identifikasi dan apresiasi tulisan. Jadi, tidak benar jika ada tulisan yang “ini” benar dan yang “itu” salah. Karena pada dasarnya, tulisan itu ditulis untuk menjelaskan pertanyaan, bukan menjawab pertanyaan. Sehingga, jawaban dari pertanyaan pertama adalah tulisan yang baik itu adalah tulisan yang baik menurut siapa atau menurut peraturan apa. Bahkan, seorang yang ahli menulis pun tidak bisa menentukan baik buruknya tulisan, tetapi hanya bisa memberikan apresiasi dan penilaian berdasarkan aspek-aspek tertentu saja.
Pertanyaan ini pun sebenarnya juga saya tanyakan ketika awal belajar menulis dulu. Saat itu saya bertemu dengan ustad Salim A. Fillah yang tentu saja teman-teman juga mengenalnya. Jawaban yang sampai saat ini saya pegang dan saya sampaikan adalah seperti ini : “Kita tidak perlu mengikuti EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) ketika menulis, tetapi menulislah dan biarkan EYD yang mengikuti tulisanmu.”
Sebagai latihan menulis karya tulis yang jumlah halamannya berlembar-lembar, maka ada baiknya kita mulai dengan menulis artikel. Tulisan-tulisan ringan dan pendek, akan mempermudah kita dalam mengkritisi tulisan-tulisan kita saat editing akhir. Karena pada dasarnya, tulisan terbaik kita bukanlah tulisan pertama kita, tetapi tulisan yang sudah kita “objektifkan”. Kata objektif yang dimaksud adalah memperkirakan bahwa tulisan kita enak dibaca dan penting bagi orang lain. Catatan yang perlu diingat, tidak ada tulisan yang objektif karena setiap tulisan sifatnya adalah subjektif menurut siapa penulisnya. Jadi, masih mau bilang kalau menulis itu susah?

Eksplorasi Ide
Menjawab pertanyaan kedua, sekiranya perlu saya berikan bagian khusus. Karena ide itu adalah sesuatu yang mudah, tetapi seringkali dibuat menjadi sulit oleh kebanyakan orang. Ide itu ada di setiap detik dalam kehidupan kita dan ada di dalam setiap tempat yang kita lalui atau benda yang kita indera. Kawan-kawan saya yang gemar menulis, ada yang sering mendapatkan ide bahkan ketika berada di kamar mandi. Kenapa? Karena pada dasarnya, ide menurut saya adalah gabungan dari ketenangan dan kepekaan yang dipadukan dalam kepentingan yang lebih besar.
Bukan berarti, saya menyarankan anda harus mencari ide di kamar mandi. Banyak orang mengatakan “saya mau mencari ide dulu” sebelum mulai menulis. Padahal, ide itu bukan untuk dicari karena ada di sekitar kita. Akan tetapi, ide itu harus dimunculkan dengan mengasah kepekaan kita. Gesekan kepekaan, jika diparodikan dengan hukum fisika bisa kita rumuskan bahwa besarnya koefisien gesekan yang terjadi pada benda, berbanding lurus dengan frekuensi gesekan tersebut. Dalam diri seseorang, yang perlu digesek bukan tangan atau kakinya, tetapi perasaannya.
Kepekaan akan semakin tinggi, apabila sering kita pakai nalar perasaan kita untuk berpikir. Penggesekan perasaan ini, bisa kita lakukan dengan lebih sering mengaktifkan seluruh panca indera dalam menghadapi permasalahan. Tidak hanya menggunakan mata dan peraba saja, dalam pepatah mata bisa menipu. Jika hanya mata yang kita gunakan dalam menghadapi sebuah masalah, maka bisa jadi yang keluar adalah pukulan atau tendangan. Beda jika kita gunakan perasaan, tangan bisa digunakan untuk mengidentifikasi masalah dan kaki untuk mempercepat langkah dalam menyelesaikan masalah.
Jalan-jalan ke tempat yang baru, mencari teman dengan keahlian berbeda, jurusan berbeda atau melihat fenomena dalam masyarakat, adalah beberapa hal yang bisa kita gunakan untuk menggesek perasaan kita supaya lebih peka. Tidak perlu jauh-jauh, karena pada dasarnya masalah itu selalu mengiringi perjalanan hidup setiap orang. Prinsip yang harus kita pegang adalah bahwa setiap orang memiliki keseharian yang berbeda. Tidak perlu berpikir tentang hal yang sama, karena perbedaan itulah yang akan membedakan ide kita dengan ide-ide orang lain. Nilai tawar ini, akan lebih memiliki nilai jual yang tinggi dalam pengkaryaan daripada ide-ide yang sejenis. So, masihkah anda bingung mencari ide?

Kontinuitas
Tentang keberlanjutan dari energi untuk mengeksplorasi diri, merupakan dasar dari sebuah kesenangan. Sedangkan kesenangan itu akan muncul ketika kita sudah menemukan tentang pentingnya hal tersebut bagi kita dan lingkungan sekitar. Bahwa peran seorang mahasiswa di dalam masyarakat, tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar materi yang sudah diberikan kepada masyarakat. Tetapi, seberapa banyak pemikiran-pemikiran kecil yang sudah kita eksplor kepada masyarakat.
Misalnya saja, ketika di daerahnya terjadi kekeringan maka kita bisa memikirkan cara bagaimana bisa mengantisipasi hal tersebut. Atau bagaimana memisahkan padi dari kotoran yang mengikutinya, pemanfaatan limbah kebutuhan sehari-hari, bagaimana mengkombinasikan perikanan untuk menambah income para petani. Karena ujung-ujungnya, karya tulis yang kita hasilkan secara global harus memberikan kemanfaatan baik teori maupun praktik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Semakin berguna inovasi yang kita ajukan, maka peluang untuk meraih prestasi dalam berbagai kompetisi maupun penghargaan pasti akan mengiringinya.
Jadi, kita tidak perlu berpikir bahwa karya kita akan memenangkan sebuah kompetisi. Tetapi, bagaimana apa yang kita tuliskan ini bisa bermanfaat dan dapat dipertanggungjawabkan. Plagiasi bukan solusi untuk mencapai prestasi yang instan. Karena plagiasi menunjukkan kepicikan pemikiran kita. Untuk mencegah plagiasi, maka kita perlu mempublikasikan tulisan-tulisan kita pada masyarakat luas. Media massa, elektronik maupun web atau blog merupakan solusi media publikasi yang terjangkau. Jika setiap orang yang membacanya merasakan manfaat, maka secara otomatis akan disebarkan. Secara tidak langsung, kita telah menebarkan kebaikan bagi umat. Bahkan, ketika kita sudah meninggal pun orang lain masih bisa menikmati pemikiran-pemikiran kita. Wallahu a’lam.
Referensi :
Enjang A.S. 2011. Menguak Belantara Bacaan. Diambil dari http://ikapijabar.com/menguak-belantara-bacaan/ pada hari Rabu, 22/02/2012 pukul 12.04.
Joko Santoso. 2011. Perihal : Kenaikan Pangkat Dosen. Diambil dari Surat Edaran Dirjen Dikti tertanggal 30 Desember 2011.
Joko Santoso. 2012. Perihal : Publikasi Karya Ilmiah. Diambil dari Surat Edaran Dirjen Dikti tertanggal 27 Januari 2012.

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...