Secara historis, kita
semua tahu bahwa Pancasila menjadi landasan ideologi bangsa tidak melalui
perjalanan yang ringan. Butuh energi yang cukup banyak untuk menyusunnya
menjadi satu kesatuan yang utuh. Setiap bagian dari usulan rumusan,
masing-masing harus mampu merepresentasikan keseluruhan nusantara sebagai satu
kesatuan. Bukan terpisah-pisah dalam memperjuangkan hak dan kewajibannya.
Negara
kita ini bukanlah negara homogen yang memiliki satu kesamaan budaya. Bahkan,
bahasa yang digunakan dalam satu daerah dengan daerah yang lain pun memiliki
ciri khasnya tersendiri. Misalnya saja, logat yang dipakai di Yogyakarta ada
perbedaan yang mencolok dengan logat dari karesidenan Banyumas. Belum yang
berada dipulau yang berbeda. Bahkan, ada lebih dari 500 bahasa dimiliki oleh
bangsa kita ini. Sungguh, sebuah kekayaan yang tak ternilai harganya.
Saya tidak menuliskannya
sebagai bahasa daerah, karena bahasa-bahasa tersebut merupakan kepunyaan bangsa
Indonesia. Sedangkan kedudukan bahasa Indonesia dalam sumpah pemuda sudah jelas
berkedudukan sebagai bahasa persatuan. Sehingga, kita perlu menjaga dan
melestarikan bahasa yang ada di daerah kita supaya tidak punah. Hal ini tidak
terlepas dari adanya urbanisasi, globalisasi kebudayaan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Jika
pengguna bahasa tersebut hanya tinggal
sedikit, maka menghilangnya bahasa tersebut
dari bumi pertiwi tinggal menunggu waktu.
Jika
kita bicara tentang persatuan maka tidak bisa dilepaskan dari kutipan sila
ketiga yakni
Persatuan Indonesia .
Persatuan terwujud karena adanya pelaksanaan
dan penghayatan ketuhanan
dan kemanusiaan. Ketuhanan mencakup kebutuhan dan kewajiban manusia kepada
Tuhan-nya. Sedangkan kemanusiaan memberikan gambaran kepada kita semua bahwa
setelah beriman kepada Tuhan, kita harus menjalankan bukti keimanan kita
terhadap sesama manusia.
Secara nalar, sumsi dari idealisme ini sangat
bertentangan dengan kekerasan, kecacatan hukum dan pengkhianatan terhadap
bangsa ini. Maraknya aksi main hakim sendiri baik yang berlatarbelakang
chauvinisme, premanisme, fanatisme tidak sesuai dengan fitrah dalam menyangga
tiang persatuan bangsa. Hukum yang memihak kepada yang bayar dan lancip ke
bawah dan tumpul ke atas, telah menodai
cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab. Pertanyaan kita adalah satu, ke
mana bentuk kesopanan bangsa kita yang selalu disebutkan turis ketika bicara
tentang Indonesia? Apakah mereka dibayar untuk mengatakan bahwa kita adalah
bangsa yang sopan?
Kondisi demikian
diperparah dengan pengkhianatan para pemimpin bangsa melalui tindak pidana
korupsi. Berbagai kasus yang melibatkan para elit politik di negeri ini, telah memunculkan rasa
frustrasi masyarakat. Kenaikan harga-harga pangan akibat kontrol subsidi BBM
yang salah arah, membuat rakyat menjerit tanpa suara.
Ketika rakyat disuruh
berhemat, para pejabat berlomba-lomba memperbanyak dan memperbarui kendaraan
mereka dengan yang lebih mewah. Tidak jarang pula banyak dari mereka
berdampingan dengan tetangga yang hanya sekedar mencari sesuap nasi saja susah.
Seolah, mereka tidak melihat jika orang yang
meminta-minta di perempatan itu adalah tetangga dekatnya sendiri.
Jika konsep persatuan Indonesia saja tidak mampu
diwujudkan, bagaimana permusyawaratan dan keadilan sosial yang demikian dapat dilaksanakan dan
dirasakan?
Mengutip kata-kata
komedian Raditya Dika bahwa struktur perkembangan manusia Indonesia yang
melewati tahap “alay” sebelum dewasa pun berlaku dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara kita. Setelah melewati tahap kanak-kanak dalam balutan proklamasi
1945, negeri ini belum juga beranjak dewasa. Kondisi kehidupan kita masih
sangat alay, di mana konsep baik-buruk tertukar. Sesuatu yang memiliki nilai
baik dalam mewujudkan kesejahteraan sosial bisa saja kemudian dicurigai sebagai
kedok dalam menancapkan popularitas. Kita lihat kasus ini muncul dari opini
sebagian kecil masyarakat yang mengecilkan Jokowi dengan dukungan mobil
Esemka-nya atau Dahlan Iskan dalam merevolusi stakholder organisasinya dengan darah muda.
Sedangkan tidak sedikit
para pesakitan yang telah banyak mencuri banyak uang rakyat tidak mendapat
proses hukum. Kalaupun diproses dan sempat ditahan, fasilitas yang didapat pun
sekelas hotel bintang empat yang full AC. Aktivitas bisnis pun masih tetap
berjalan, kendati yang bersangkutan sedan dalam masa tahanan. Barangkali, hal
ini yang membuat para tersangka tidak pernah kapok dalam melakukan kejahatan
yang sama. Peningkatan angka kriminalitas dari tahun ke tahun, membuat kita
bertanya,”Apa bedanya Pancasila dengan system
lain?”
Bukan
berarti kita berhenti berharap bahwa suatu saat Pancasila yang menjadi landasan
idiil bangsa ini lekas dewasa. Sudah
terlalu lama, rakyat merasakan ketidakadilan di
negeri ini. Ketika persatuan dan kesatuan yang dilandasi keimanan dan kemanusiaan bangsa
ini sudah kokoh, maka tidak akan sulit bagi kita semua untuk mulai menyusun
permusyawaratan yang dipimpin secara adil bagi kehidupan sosial seluruh
masyarakat Indonesia.
Isdiyono, Pemerhati Pendidikan
Tinggal di Yogyakarta
Sumber gambar : http://feryntina.blogspot.com/2012/03/45-butir-butir-pengamalan-pancasila.html
No comments:
Post a Comment