Dalam masyarakat, status ekonomi
menjadi satu hal yang amat mudah digunakan sebagai alat ukur kekuasaan. Orang
dengan penghasilan terbesar, acap kali memiliki kekuasaan yang tidak terbatas.
Termasuk, tidak perlu berbaur dengan masyarakat umum dan melakukan
gotong-royong untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Perbandingannya terletak
pada konsep tidak adanya sanksi bagi mereka yang berduit, sedangkan yang tidak
berduit hanya bisa bermimpi untuk mendapatkan porsi yang sama.
Padahal, katanya masyarakat kita
dibentuk dalam dasar demokrasi. Yang terjadi adalah fleksibilitas sistem yang
dipakai. Jika apa yang dilakukannya benar, maka dengan lantang meneriakkan
bahwa demokrasi sudah ditegakkan. Jika salah, maka adat-istiadat menjadi
rujukan utama dalam menyikapi sebuah persoalan. Intinya, penguasa tidak pernah
salah dan jika mereka salah, kembali lagi ke komentar awal. Entahlah,
barangkali masyarakat kita ini masih berada pada tahapan perkembangan “alay”.
Padahal, kita berada di ujung jaman. Seperti yang telah dipesankan pada Nabi
untuk ummatnya termasuk kita. Bahwa kita akan selamat ketika kita berpegang
pada dua tali (Al Qur’an dan As-Sunnah).
Nah, kali ini saya ingin membahas
sebuah kesalahkaprahan yang harus diluruskan. Karena untuk saat ini belum
memungkinkan mengutarakannya, setidaknya tulisanku ini bisa mewakilinya. Jadi,
perbedaan pekerjaan di masyarakat itu sangat terlihat dalam pengejawantahan
tanggung jawab di dalam masyarakat.
As you know, hari-hari kerja
aktif pegawai negeri adalah Senin-Sabtu. Untuk yang lima hari kerja adalah
Senin-Jumat. Bahkan, tidak berangkat bekerja pun mereka masih bisa mendapatkan
gaji. Sedangkan seorang wiraswasta memiliki kalender yang semua tanggalnya
berada di hari Senin. Tidak ada Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, atau malah
Minggu. Tidak ada. Dispensasi yang didapat pun berbanding lurus dengan keringat
yang dicucurkan dan waktu yang disuguhkan. Jika hanya tidur-tiduran di rumah
saja, maka jangan berharap dapur akan mengeluarkan asap.
Nah, jika hari Sabtu dan Minggu
adalah hari beristirahat bagi pegawai negeri, maka justru pada hari-hari itulah
yang dinamakan hari “Senin”. Pada waktu-waktu tersebut, mereka bisa menjual
dagangannya lebih banyak atau mendapatkan pelanggan yang lebih dari hari-hari
biasanya. Sehingga, akan sangat tidak adil jika ada pertemuan kampung diadakan
pada hari Sabtu-Minggu.
Repotnya lagi, kepemimpinan di
masyarakat biasanya dipegang oleh pegawai-pegawai negeri, pengurus
pemerintahan, pengangguran (yang memiliki aset besar) dan selebihnya terkadang
preman berdasi. Otomatis, tidak ada tempat untuk berinteraksi bagi masyarakat
bawah. Ujung-ujungnya mereka akan mendapatkan sanksi jika tidak berangkat pada
pertemuan-pertemuan tersebut. Meskipun, mereka telah meminta ijin. Tetap saja,
para pemimpin yang tidak bertanggung jawab pasti menyalahkannya, bukan mencari
solusi waktu yang tepat untuk keduanya berinteraksi.
Logikanya, orang-orang terdidik
lebih mampu berpikir sehingga sudah sepantasnya mampu memikirkan solusi dan
sikap-sikap ksatria dalam menanggapi situasi ini. Karena lebih banyak waktu
santai yang dimiliki serta terbiasa berpikir sistematis dan logis. Namun,
terkadang kseombongan dan ketamakan telah merasuk ke dalam hati. Sehingga,
terkadang mereka tidak sempat berpikir bahwa bisa jadi apa yang sedang mereka
jalani itu salah.
Golongan terakhir adalah para
pengangguran. Meskipun pada dasarnya orangnya santai, tetapi justru sebenarnya
mereka adalah korban sesungguhnya. Dengan statusnya sebagai “unemployee” person,
maka mereka membutuhkan pekerjaan serabutan untuk tetap hidup. Nah, ketika ada
proyek, mereka memang selalu mendapatkan pekerjaan yang memang mereka butuhkan.
Itu yang terlihat oleh mata.
Akan tetapi, sebenarnya mereka
adalah pihak yang paling dirugikan dan dijadikan kambing hitam. Karena tidak
terlalu pusing memikirkan konsep-konsep, maka secara otomatis mereka akan
merasa berguna ketika bisa mengerjakan suatu tindakan. Nah, jika ada sebuah
proyek besar katakanlah dan terjadi tarik ulur dalam pelaksanaan mau dikerjakan
swadaya atau lelang maka para penguasa akan menggunakan akalnya untuk
menegosiasi bentuk pelaksanaan.
Misalnya saja jika swadaya maka
masyarakat tidak mendapatkan upah atau kalau lelang juga tidak mendapatkan upah
sekaligus tidak dilibatkan. Maka, keputusan fifty-fifty adalah ketika
masyarakat menghendaki swadaya berbayar. Nah, urusan akan semakin menjadi
bertambah pelik ketika para penguasa menginginkan “bagian” dari proyek. Ketika
dilakukan lelang atau swadaya full, maka mereka tidak akan bisa bergeming. Akan
tetapi, masyarakat terbungkam ketika menyadari bahwa para pengangguran tersebut
dapat terberdayakan. Repotnya lagi, hukum adat (yang tidak jelas dan tidak
tertulis) dijadikan sebagai alat ampuh dalam meruntuhkan segala bentuk perlawanan.
Wallahu a’lam.
02 Juni 2012
No comments:
Post a Comment