Wednesday 30 May 2012

Pendidikan, antara Kesadaran dan Keteladanan



Sudah lebih dari enam dekade, sejak proklamasi dideklarasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Dari penjajah, kita belajar untuk bersatu dan mempertahankan harga diri dan martabat. Dari pemberontakan, kita belajar tentang indahnya saling memahami. Dan dari kegagalan reformasi, kita belajar tentang kejujuran.
Alasan kelemahan bangsa kita saat ini dikarenakan oleh ketidakjelasan arah pendidikan dalam mewujudkan Indonesia yang cerdas dan bermartabat.  Sehingga, tidak mengherankan jika pelaksanaan pendidikan kita masih banyak yang jauh dari harapan. Terutama, jika kita memperbandingkan kenaikan anggaran pendidikan dengan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai.
Kalau tidak percaya, lihatlah proses pembelajaran di kelas dan bisa kita tanyakan kepada para guru. Bahwa, kenaikan biaya untuk menggaji guru belum tentu membuat kinerja dan kesadarannya meningkat. Kebijakan pemenuhan 24 jam mengajar dalam seminggu sebagai syarat sertifikasi misalnya. Telah membuat para guru lebih mementingkan pemenuhan jam daripada kualitas pembelajarannya.
Pemecahan permasalahan administratif akan lebih ditonjolkan daripada apa yang terjadi di dalam kelas. Guru lebih memilih menyelesaikan administrasi, daripada mengembangkan diri dengan berdiskusi atau membaca buku dan literasi dalam menyediakan pembelajaran yang berkualitas. Menurut Maasaki Sato (03/04), “Guru di Indonesia dalam menyampaikan penjelasan terlalu panjang lebar. Selain itu durasi pembelajaran yang 80 menit membuat guru kurang cermat  dalam merancang pembelajaran.”
Hampir semua guru yang pernah saya temui dan saya ajak ngobrol mengaku kesulitan untuk membaca. Waktu yang dimiliki di rumah, tercurahkan semuanya untuk keluarga. Padahal, di sekolah terkadang pun guru melakukan korupsi waktu. Kalau berangkat terlambat, belum selesai waktunya disudahi dan tidak melakukan inovasi-inovasi dalam menampilkan performa mengajarnya. Belum lagi, guru enggan untuk melakukan penelitian untuk keperluan peningkatan potensi, prestasi dan sikap peserta didik.
Kondisi demikian, tentu saja membuat kita merasa prihatin terhadap masa depan bangsa Indonesia. Ketika sekolah mengalami kelesuan dalam pembaharuan, maka bisa dipastikan output yang dihasilkan pun tidak jauh dari hasil-hasil yang sudah ada sebelumnya. Bahkan, bisa jadi mengalami penurunan terutama penurunan dalam sikap siswa dikarenakan tidak adanya keteladanan oleh para pendidik.
Contoh kecil yang sebenarnya sangat akut dan membutuhkan perawatan segera adalah kebiasaan menasehati siswa tetapi sang guru sendiri tidak melaksanakan apa yang diucapkannya. Salah satunya adalah kebiasaan merokok, guru yang suka merokok tentu nasehatnya tidak akan merasuk ke dalam pemahaman siswa. Apalagi jika dilaksanakan di sekolah, tentu saja seperti peribahasa “menelan ludah sendiri” atau bahasa gaulnya plin-plan.
Meskipun kesalahan seperti banyak ditimpakan pada guru, bukan berarti kita menyalahkan para guru yang telah berjuang dalam mencerdaskan anak bangsa. Buktinya, meskipun sekolah kita belum ideal menurut teori-teori pendidikan akan tetapi sudah mampu melahirkan tokoh-tokoh sekelas BJ Habibie yang menemukan teori Crack dalam keselamatan pesawat terbang. Atau kita bisa menengok kiprah seorang Soekarno yang suaranya mampu menggetarkan negara-negara adidaya.
Hanya saja, untuk memajukan pendidikan kita membutuhkan peran guru sebagai pasukan terdepan dalam mengawal kebangkitan pendidikan kita. Kesadaran untuk berinovasi baik ketika dituntut maupun tidak dan keteladanan dalam berperilaku, memegang peranan yang sangat penting. Karena kedua hal inilah yang sebenarnya membedakan pendidikan kita dengan pendidikan di negara-negara asing.
Sehingga, pada dasarnya kita tidak perlu mendirikan sekolah-sekolah berstandar internasional untuk mengawali pendidikan yang berkualitas global. Tetapi bagaimana cara para praktisi pendidikan mulai dari guru, masyarakat dan pemerintah mampu mengglobalkan pendidikan lokal kita. Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi partisipan dalam pendidikan global, tetapi menjadi pemain yang menentukan nasibnya sendiri dan memiliki nilai tawar yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Wednesday 23 May 2012

Membantu Anak Berkesulitan Membaca dengan Teknik DRTA


Dalam pembelajaran di kelas, seorang siswa tidak bisa terlepas dari aktivitas empat keterampilan berbahasa yaitu kegiatan menyimak, berbicara, membaca kemudian menulis (Depdiknas, 2006:23 ). Dengan empat keterampilan ini, anak bisa menyerap sebuah  informasi, mengolah, disesuaikan dengan pengetahuan yang sudah baru dan menjadi sebuah pengetahuan baru. Pada awal sekolah, keempat keterampilan ini dibutuhkan oleh anak dalam menentukan pola belajarnya.
Salah satu hal yang sering dialami oleh anak pada kelas tinggi adalah disleksia, yaitu kesulitan dalam aktivitas membaca. Disleksia mempengaruhi kemampuan seseorang untuk belajar, mengolah, dan mengerti suatu informasi dengan baik. Sehingga, memiliki potensi dalam menghambat penyerapan ilmu pengetahuan dan konsep baru yang diterima oleh anak. Secara khusus Rustinah (2009), anak yang mengalami problem disleksia mempunyai kesulitan mengenali dan mengartikan suatu kata, mengerti isi suatu bacaan, dan mengenali bunyi.
Kesulitan dalam membaca ini, oleh sebagian guru sekolah dasar kurang diperhatikan. Guru terlalu banyak mengurusi siswa dalam satu kelas, sehingga perhatian terhadap mereka yang memiliki problem disleksia berkurang. Hal ini banyak terjadi di sekolah-sekolah reguler. Kurangnya kemampuan guru dan keengganan untuk membantu anak yang mengalami disleksia secara intens, membuat kemampuan mereka dalam menyerap materi tertinggal jauh dengan teman-temannya.
Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan meningkatkan aktivitas membaca pemahaman dalam pembelajaran. Membaca pemahaman akan memberikan latihan secara bertahap dan terus-menerus bagi anak untuk belajar mengeja, membaca kemudian memahami. Setelah bisa memahami, anak bisa belajar menulis dengan baik.
Salah satu teknik yang bisa memfasilitasi anak untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulisnya adalah melalui teknik belajar Direct Reading-Thinking Activities (DRTA). Secara umum, teknik ini terdiri dari tiga tahapan yaitu kegiatan pra-baca, saat baca dan pasca-baca.
Kegiatan pra-baca adalah pengelompokan anak ke dalam kelompok kecil 2-3 orang. Pengelompokan tidak dilakukan dengan cara konvensional, misalnya saja dengan berhitung dan mendapatkan kelompok yang sama, membentuk kelompok bebas dengan waktu yang terbatas dan dengan variasi lain. Kegiatan saat baca, anak membaca dalam hati kemudian mencocokkannya dengan temannya. Kegiatan pasca baca memberikan kesempatan bagi anak untuk menyimpulkan materi dan melakukan evaluasi terhadap ketercapaian belajarnya.
Sehingga, teknik belajar Direct Reading-Thinking Activities (DRTA) tidak hanya melatih siswa dalam meningkatkan kemampuan baca-tulisnya saja. Teknik ini memiliki keunggulan dalam meningkatkan pemahaman anak terhadap materi pembelajaran. Dengan demikian, problem disleksia bisa diatasi tanpa menambah jam atau pun repot guru.
Dalam aplikasi terhadap sejumlah siswa yang mengalami disleksia, teknik ini mampu meningkatkan kemampuan membaca anak hingga 60% pada tahap awal. Dengan pengembangan lebih lanjut, teknik ini bisa diterapkan dalam berbagai mata pelajaran yang menggunakan bacaan. Bahkan, bisa diterapkan dalam meningkatkan pemahaman membaca siswa dalam memahami kalimat-kalimat matematika.

Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Monday 14 May 2012

PSSI Perlu Belajar dari Total Football


Bagi para penggila bola, Belanda merupakan satu tim yang selalu ditunggu kiprahnya di berbagai turnamen sepak bola internasional. Popularitasnya selalu melebihi negeri penemu sepak bola, Inggris. Pertandingan yang menyuguhkan permainan atraktif, kerja sama tim yang solid dan stabilitas irama permainan yang tinggi selalu mengundang decak kagum para penggila bola.
Jika kita bicara tentang gaya sepak bola Belanda yang mendunia, total Football, tidak bisa dilepaskan dari tangan dingin arsitek pengenal total Football yakni Rinus Mitchel (1974). Gaya sepakbola sederhana dengan konsep menyerang dan bertahan secara serentak dengan tempo tinggi yang dikomandoi Johan Cruiff, mampu mendobrak keindahan pertahanan gerendel cattenacio Italia ataupun keindahan liukan tubuh ala joga bonito, Brazil. Hal ini menunjukkan bahwa Negeri Kincir Angin ini memiliki cita rasa unsur kreativitas yang tinggi. Gaya total football  merupakan salah satu contoh konkrit selain pembangunan polder (dam), kincir angin hingga arsitektur bangunan-bangunannya yang bergaya futuristik.
Meskipun selalu menyajikan permainan yang menawan, tetapi Belanda belum pernah merasakan manisnya trofi piala dunia. Trofi terakhir yang hampir saja digenggam, harus lepas dari permainan tiki-taka ala Spanyol yang sedang dihuni oleh para pemain terbaiknya. Tidak heran, jika kesebelasan Belanda biasa dijuluki sebagai juara tanpa mahkota.
Kalau kita melihat lebih dalam, konsep permainan sepakbola tim Oranye ini terbangun secara bertahap, berkesinambungan dan tidak diraih dengan mudah. Munculnya pemain-pemain berlevel internasional terbangun dari akademi-akademi yang sangat kuat. Para pemain besar seperti Frank De Boer, Dennis Berkgamp atau Marco van Basten lahir dari akademi-akademi seperti milik Ajax Amsterdam, PSV Eindhoven, Feyenoor dan sebagainya.  Di samping sebagai tempat bermunculannya bakat-bakat pemain dunia, Belanda merupakan pintu masuk para pemain yang akan menjadi besar di Eropa. Sebut saja Park Ji Sung (PSV Eindhoven) atau Zlatan Ibrahimovic (Ajax Amsterdam).
Dari manajemen akademi sepakbola yang kuat inilah, kemudian menjadi kiblat standar pembentukan manajemen sepakbola di Eropa, bahkan di dunia. Karena membangun sebuah tim sepakbola yang dinamis dan berkelanjutan, memerlukan pondasi gaya permainan dan kesinambungan dalam melestarikan tradisi. Meski pada piala dunia 2010 di Afrika Selatan lalu gaya tootal football sudah sedikit mengikuti gaya sepakbola dunia, tetapi tetap dapat diterapkan oleh para pemain sekaliber Arjen Robben, Robin Van Persie, Klass-Jan Hunteelar atau Wesley Sneidjer.
Pembangunan manajemen tootal football yang kompak demi kemajuan persepakbolaan Belanda oleh KNVB (PSSI-nya Belanda) inilah yang sejatinya mampu menginspirasi PSSI. Bahwa sepakbola itu bukan masalah menang atau kalah. Tetapi, bagaimana mampu mempertahankan gaya dan ciri khas permainan hingga meresap sampai pada perangkat pengurus sepakbola terkecil. Selain kesatuan permainan, di dalamnya terdapat kesatuan emosi antara pemain, pelatih dan seluruh official tim. Tidak sekedar agenda rutin yang tercampuri oleh praktik politik.
Meskipun belum pernah mencicipi manisnya trofi piala dunia, KNVB tidak pernah berputus asa dalam mengelola sepakbola di negeri Belanda. Semua persiapan dan kebutuhan pengembangan, dilaksanakan dengan sepenuh hati dan dengan optimisme akan memenangi pertandingan demi pertandingan. Inilah semangat yang saya sukai dari timnas Oranye. Lebih dari itu, tootal football mengajarkan pada kita arti tentang kemenangan, perjuangan, kesatuan dan semangat pantang menyerah. Karena mereka yakin, bahwa mahkota mereka yang hilang akan segera ditemukan.


Isdiyono
Penulis, sedang belajar di Yogyakarta State University

Sumber gambar :
http://www.football-bible.com/soccer-info/total-football-strategy.html
http://www.worldcupblog.org/world-cup-moments/world-cup-moments-the-bittersweet-brilliance-of-totaalvoetbal-1974.html



MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...