Tuesday 28 February 2012

Menyambut Suara Angin

Angin, yang selalu berada dalam sajak-sajak sang penyair, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari simbol keindahan kata. Ia ada, tetapi kita tak bisa melihatnya. Ia mengalir, sedangkan kita sendiri tak sanggup untuk mengikuti alirannya. Dan di sepanjang yang manusia ketahui, angin tak bisa kita definisikan sebagai sebuah bentuk. Bahkan, untuk melukiskannya pun tak sanggup. Hanya mampu menyimbolkannya sebagai garis-garis yang saling berkejaran.

Jika sendiri, ia tak bersuara. Barulah kalau hal lain mengikutinya, maka ia akan bergemuruh. Seluruh alam takut dibuatnya. Pepohonan dengan mudah diterbangkannya. Rumah tinggal fondasinya dan mobil-mobil simbol kekuasaan dan kesombongan itu hanya seperti mainan saja. Maka, masih pantaskah kita menyombongkan, karena bahkan kita tak mampu untuk melawan kekuatan yang tidak bisa kita lihat dengan mata kepala kita sendiri.

Masih jelas dalam ingatan ini, bagaimana pak khotib kemarin menyampaikan makna tahun baru. Tahun masehi yang terkadang lebih dinanti dengan tahun baru lainnya ini, dirayakan dengan semarak. Lihatlah, sebulan sebelum hari yang ditunggu tiba, di sepanjang jalan raya sudah berjajar para penjaja terompet. Petasan dari yang berukuran kecil sampai besar dengan mudah ditemukan. Pesta dimulai menjelang pukul 00.01.

Namun, pernahkah kita berpikir, sebenarnya apakah makna tahun baru itu? Sebelumnya, orang sah saja untuk merayakannya. Akan tetapi, kita harus tahu sedikit tentang latar belakang kenapa orang merayakan tahun baru ini. Seperti yang kita duga sebelumnya, perayaan tahun baru bukanlah tradisi Indonesia. Kalau tidak salah dari tradisi dari negeri-negeri Eropa. Bahwa bulan Desember merupakan puncak dari suhu terendah di musim dingin. Pada masa ini, mereka tidak bisa beraktivitas secara maksimal karena kondisi salju yang turun.

Kehadiran musim panas selalu dinanti-nanti. Ibarat seorang tawanan, musim dingin itu adalah ibarat seorang tawanan yang sedang menjalani hukumannya di dalam penjara. Berhari-hari ia menunggui hari kebebasannya, hari di mana ia merasa terlahir kembali. Maka, datangnya musim panas disambut dengan sangat antusias. Pesta pun dimulai.

Seperti tahun baru-tahun baru lainnya, refleksi tetap harus dilakukan untuk memperbaiki diri. Tidak harus dilakukan dengan menggelar pesta yang sedemikian meriahnya. Apalagi, bangsa kita ini sedang dirampas, dijarah habis-habisan oleh orang-orang pribumi sendiri. Masih dengan kondisi ketika VOC masih berkuasa di nusantara seratus tahun lalu: KORUPSI. Bahwa kehancuran kongsi dagang paling termashyur dalam sejarah penjajah dunia itu, harus hancur di tangan para pemiliknya sendiri. Lalu, apakah hal ini bisa kembali terjadi di negeri kita tercinta ini.

Tentu saja, saya ingin berita yang berbeda pada tahun berikut. Bahwa penjajahan terbesar itu sebenarnya bukan dari orang asing, tetapi dari dalam orang-orang kita sendiri. Seperti pesan Bung Karno pasca kemerdekaan republik ini : Saudara-saudara, kemerdekaan telah kita genggam. Akan tetapi, perjuangan belum usai. Musuh generasi berikut lebih besar, yaitu diri kalian sendiri! Yah, diri sendiri, merupakan musuh kita saat ini. Musuh yang ada, tetapi tidak terlihat, seperti angin. Berapa kali dalam setahun ini kita telah kalah terhadap diri kita sendiri? Bandingkan dengan kemenangan yang telah kita raih dalam tahun ini.

Setiap hari adalah hari yang spesial. Tergantung dari bagaimana kita berpikir tentang hal yang baik di hari ini. Kekuatan pikiran, bahkan mampu membuat Stephen Hawking tetap bisa berpikir. Meskipun, saya tidak begitu sependapat dengan berbagai macam pemikirannya. Ketika seorang sudah tak memiliki apapun lagi untuk dikalahkan, kita cenderung untuk mencari pembenaran terhadap suatu hal yang kita yakini benar. Inilah yang kita namakan egois, salah satu hal yang menjadi penyakit akut dalam diri.

Terkadang, diri ini memang egois, tak peduli pada urusan orang lain. Meskipun, terkadang juga orang tak tahu apa yang dilakukan mereka menyakitkan bagi kita. Kemauan untuk menyembunyikan pelakuan diskriminatif tanpa menampakkannya inilah yang kusebut sebagai ikhlas, ksatria tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.

Ada banyak hal fantastis dimulai pada tahun ini. Bahwa apa yang telah menjadi tekad dan tertulis di sepucuk kertas itu, kini sudah tercapai. Hanya beberapa saja yang belum tercapai. Sungguh, keberanian untuk bermimpi telah membawa diri ini ke dalam sebuah tatanan yang membayangkannya pun tak berani. Yah, bagi seorang yang hanya berbekal semangat, apa yang telah terjadi selama tahun ini merupakan sebuah hal yang sangat luar biasa. Mengawali mimpi dan mengajak orang lain untuk berani meneguhkan mimpi-mimpinya.
Meskipun, terkadang ada dua hal yang sering dilupakan oleh mereka : mengajak lebih banyak orang dan tetap menunduk. Inilah kegagalanku, di tengah-tengah keberhasilan yang telah diraih bersama. Meskipun tidak terasa, fakta ini telah mencoreng sedikit alur kisah yang ingin kusampaikan kepada adik-adikku. Jangan lupa, bahwa keberhasilan sebuah era bukanlah ketika era yang dikuasai itu berhasil. Tetapi, ketika era setelahnya lebih berhasil lagi. Itulah keberhasilan yang kudambakan.

Hal serupa pernah kualami ketika diri ini menjadi seorang ketua OSIS di sekolah yang tidak terkenal. Akademik kupinggirkan, hanya untuk memperbaiki tatanan yang ada di dalam OSIS. Perombakan pengurus kulakukan dengan tidak pandang bulu terhadap kinerja. Roda perjalanan organisasi diperbaharui, orang-orang muda yang menjadikan OSIS sebagai tantangan direkrut. Meskipun mereka belum mengenal organisasi sebelumnya. Memang, terasa berat, tetapi hasil yang kemudian didapat memuaskan. Nilai 5,9 di dalam rapor pun menghiasi perjalanan ini.

Tahun berikutnya, kepengurusan luar biasa. Even besar digelar di tengah-tengah bukit. Seluruh personil bekerja dengan hati dan keprofesionalitasan mereka. Senyum tersungging dari bibir ini. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ku kembali ke sekolah penuh kenangan itu. OSIS hancur total, penyebabnya adalah tidak adanya keberlanjutan generasi, dan kepuasan terhadap kinerja diri sendiri. Terlalu bangga dengan hasil yang sedang dicapai. Tidak begitu peduli terhadap internal organisasi dalam berkarya, tetapi mengembangkan sayap tanpa mementingkan intern. Akankah ini terulang kembali? Kuharapkan kesalahan ini tidak pernah terulang kembali. Organisasi yang telah dibangun dengan pengorbanan yang tidak sedikit kali ini, tidak akan hancur kembali.

Hmm..,
Ini merupakan tahun terakhir keaktifanku di organisasi. Begitu banyak kisah sedih dan senang yang silih berganti. Sungguh sulit, mengatur organisasi yang berada dalam empat wilayah. Sulit berkumpul, padahal aku ingin sekali membagi secara adil di tempat-tempat itu. Hanya saja, kendaraan telah memaksaku untuk tidak bisa secara adil berada di kampus-kampus tersebut. Maafkan aku.
Forum diskusi kecil yang coba kuberikan sedikit semangat pun, sudah berjalan meski tertatih-tatih. Bahwa sebenarnya, diskusi akan berljalan ketika adanya dinamika pemikiran. Bukan ketika aku berada di dalamnya. Dan yang harus dipikirkan adalah ketika forum tetap berjalan meskipun penanggung jawab tak ada. Begitulah konsep sebuah organisasi yang dinamis. Bukan organisasi yang terpaku pada program-program kerja yang telah dituliskan dalam tinta hitam. Meskipun tidak bisa dipungkiri, bahwa yang tertulis di kertas itu harus dijalankan! Fardhu ‘ain.

Ah, resolusi tahun 2012?
Tahun baru yang akan kita jelang ini, kuberharap menjadi lebih baik. Semangat bulan Romadhon yang telah berlalu beberapa bulan yang lalu, ingin kuhidupkan kembali. Bulan-bulan biasa terasa sepi, semangat pun tak bisa semerata pada bulan Romadhon. Hanya saja, memang sulit untuk menempatkan bulan itu ke dalam bulan-bulan yang lain.

Dalam bahasan para aktivis, disetujui bahwa tahun 2012 adalah tahun kegalauan nasional. Yah, memang benar. Kegalauan untuk lulus kuliah dan menentukan prioritas yang harus didahulukan. Sebuah kondisi dilema yang membutuhkan pemikiran dan strategi perencanaan yang tepat. Bukankah hidup itu hanya sekali boy?

Target besar sudah beberapa hari menghimpit ruang sempit di dalam pikiranku. Tentang deadline target artikel, tentang kegelisahan keberlanjutan hidup, tentang target lulus kuliah dan target setelah lulus ingin melakukan apa. Sampai detik ini, belum ada satu target pun tertulis di dalam lembaran kertas. Kuharapkan, malam ini sudah tertuliskan draft target yang akan mendampingi perjalanan ini ke depan. Perjalanan yang kuharapkan lebih indah daripada sebelumnya.

Hoahem, penampilan tari angkatan 2008 kali ini cukup bagus. Butuh perjuangan yang keras dan waktu yang tidak sedikit untuk menampilkan hasil yang terbaik. Uang yang berhamburan, tidak perlulah untuk dihitung jika dibandingkan dengan hasil yang diterima. Kali ini, aku hanyalah sebagai pelengkap penderitaan semata. Tidak mampu berperan secara maksimal. Sehingga, tidak heran kalau senyum di bibir, pening di kepala langsung saja menghilang ketika penampilan sudah ditunjukkan. Maafkan aku, dan mungkin ada banyak permintaan maaf yang harus kusampaikan kembali.

Melalui tulisan yang acakadut ini, kuharapkan bisa untuk memperbaiki diri dan sekaligus melepaskan diri dari segala kepeningan yang telah selama ini membelengguku. Bismillah…

Catatan yang belum selesai...



Sunday 26 February 2012

Pentingnya Belajar Bahasa “Gaul” Dunia


Salah satu media komunikasi yang paling penting adalah bahasa. Sebagai perantara, bahasa memiliki peran dalam menyamakan persepsi antara komunikator dengan komunikan (penerima pesan). Semakin banyak orang tahu, memahami dan memakainya maka akan semakin penting bahasa tersebut dalam komunikasi. Contoh bahasa yang telah menjadi sangat penting dan diakui sebagai bahasa universal adalah bahasa Inggris.
Meskipun bahasa ini mendapatkan pengakuan karena kontroversi (baca:penjajahan), tetapi tetap saja menjadi penting. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari fakta sejarah bahwa bahasa Inggris sudah menjadi bahasa “gaul dunia”. Orang mau berkomunikasi dengan orang dari negara lain, minimal tahu percakapan dasar dalam bahasa Inggris.
Berkembangnya bahasa Inggris tidak bisa dilepaskan dari penjelajahan samudera yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa. Tidak mudah bagi mereka untuk menancapkan kebudayaan melalui bahasanya di tanah jajahan. Pertentangan dari penduduk pribumi adalah hal yang tidak bisa dihindari. Puncak dari pertentangan bangsa lain ini adalah terjadinya perang dunia, baik pertama maupun kedua. Yang didapat dari perang tidak lebih dari kesengsaraan, darah yang tertumpah dan air mata yang tak berhenti mengalir.
Pasca perang, dunia kemudian menyadari bahwa perang bukanlah solusi untuk mencari kejayaan. Bahwa setiap bangsa memiliki filosofi dan landasan sendiri yang tidak bisa disamakan atau disatukan. Sebagai dampaknya, maka bahasa Inggris menjadi terkenal dan dipelajari oleh bangsa-bangsa lain. Setiap para pemimpin, pebisnis, ilmuwan hingga pekerja sosial membutuhkannya sebagai alat komunikasi universal.
Berawal dari pemikiran tersebut, pendidikan bahasa asing sangat penting diajarkan dalam pendidikan di sekolah. Pentingnya kemampuan berbahasa dengan bahasa asing akan menambah nilai kualitas lulusan pendidikan kita. Karena saat ini, kita tidak bisa menutup mata dan menyilangkan tangan di dada dalam globalisasi. Globalisasi tidak bisa dihindari, tetapi harus dihadapi sebagai sebuah peluang dalam memajukan pendidikan sebagai modal hidup.
Tidak hanya bahasa Inggris saja, sudah saatnya sekolah-sekolah wajib menyisipkan satu atau dua bahasa asing di sekolahnya sebagai mata pelajaran pilihan. Sehingga, bisa menjadi bekal mereka dalam menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi. Ketika siswa sudah memiliki kemampuan dasar bahasa asing, mereka bisa mengembangkannya.Pada akhirnya, kita juga bisa “bergaul” dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Negeri Yogyakarta

Saturday 25 February 2012

Menakar UN untuk UMPTN


Entah merupakan berkah ataukah pertaruhan, mengawali tahun ajaran baru kementrian pendidikan akan mengujicobakan hasil UN sebagai syarat masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Bisa dikatakan berkah, ketika siswa-siswa tingkat SMA tidak perlu melaksanakan ujian kemampuan dasar, cukup dengan tes potensi akademik saja. Dan dikatakan sebagai sebuah pertaruhan, ketika integritas pelaksanaan ujian nasional (UN) di Indonesia saat ini masih sarat tindakan-tindakan curang.     
UN sebagai refleksi hasil belajar siswa selama tiga tahun di tingkat SMA, selama ini tidak menunjukkan kemampuan siswa yang sesungguhnya. Siswa yang pandai bisa saja mendapatkan nilai di bawah standar ketika dia tidak siap atau mengalami kesalahan teknis dalam mengerjakan soal. Nilai UN tidak mempengaruhi nilai proses yang dilakukan siswa selama mengikuti pelajaran selama tiga tahun, hanya mempengaruhi nilai kelulusan saja. Sehingga, UN terkadang bisa menjadi momok yang menakutkan dan tidak adil dalam “menilai” siswa.
Sedangkan siswa yang tidak pandai, malas-malasan dan buku untuk mencatat saja tidak punya bisa lulus dengan nilai sempurna. Berbekal keberanian dan keahlian mencontek, bisa saja hal demikian terjadi. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum jika para guru sebenarnya berada di “belakang” kelulusan siswa. Modusnya biasanya adalah berupa menjadikan anak yang terpandai sebagai sentral menjawab. Sebelum UN, guru membentuk kepanitiaan kecil untuk “mempersiapkan” UN. Jika konsep ini gagal, ada tim lain yang bersiap menerima jawaban dari guru yang diam-diam mengerjakan soal di ruang lain. Lalu, di mana konsep “kejujuran”, “keadilan”, “perjuangan”, “keihklasan” dan “kerja keras” yang setiap hari diajarkan oleh para guru?
Jikalau ada pengawas yang betul-betul menjalankan “tugas” mengawas dengan baik, bukan pujian yang diterima. Seperti perlakuan yang diterima oleh seorang guru saya saat SMA. Niat baik beliau untuk menegakkan kejujuran, tetapi pada hari berikutnya beliau tidak diperkenankan untuk mengawasi ujian anak-anak. Secara tersirat, kepala sekolah bersangkutan menyampaikan bahwa cara mengawas yang demikian akan “merugikan” siswa. Ini hanya kasus satu sekolah saja, pertanyaannya adalah : ada berapa sekolah yang diawasi oleh pengawas yang amanah terhadap tugasnya?
Selama ini, pemerintah belum menggarap konsep penanaman nilai dan karakter kepada segenap siswa. Hal ini tercermin dari konsep pendidikan karakter baru sebatas gembar-gembor semata, pada praktiknya masih jauh dari kata “memuaskan.” Parahnya, pendidikanlah sektor pemerintah yang pada beberapa tahun, atau puluh tahun kemudian membentuk seorang pemimpin bangsa. Jika kecurangan itu diwariskan, salahkah siswa jika mereka melakukan kecurangan yang lebih besar dalam pekerjaannya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita harus melihat seluruh stakholder pendidikan dan pengawas pelaksanaan UN untuk konsisten. Prinsip inilah yang menurut penulis sangat diperlukan dalam meningkatkan kredibilitas dan kualitas UN. Bahwa sebagai syarat penting dalam masuk PTN, kualitas UN pun harus ditingkatkan. Jika tidak, maka PTN-PTN terkemuka harus bersiap-siap untuk menyambut banyak  mahasiswa dengan nilai tinggi tetapi tidak mampu menyesuaikan dengan standar kualitas PTN tersebut.
Alasan rasional untuk memberikan peringatan ini adalah agar PTN-PTN harus bersiap-siap dengan resikonya. Nilai tinggi yang didapat hanya dari UN, tidak bisa mencerminkan kepribadian, kemampuan dan kecerdasan mereka. Di zaman yang modern dan serba pragmatis ini, uang masih dan terus menjadi elemen kunci dalam kecurangan-kecurangan. Orang yang memiliki banyak uang, akan dengan mudah memasukkan anaknya ke PTN yang dituju. Sebaliknya, anak-anak dari keluarga kurang mampu akan semakin tersisih. Hal ini mengingatkan prediksi Anis Baswedan bahwa, “ pendidikan yang tinggi dan tidak terjangkau oleh masyarakat kecil, akan semakin memperluas kemiskinan. Bisa jadi, di masa-masa mendatang kita tidak akan melihat seorang Dokter yang harus mengayuh becak ketika kuliah, atau seorang ilmuwan yang harus membagi kesibukannya dengan menjadi loper koran.
Yang perlu diperhatikan dalam menjadikan hasil UN sebagai salah satu syarat Ujian Masuk PTN (UMPTN) harus diperhatikan dampaknya dalam jangka waktu yang panjang. Jangan sampai pelaksanaan UN sebagai salah satu syarat masuk PTN, hanya menjadi seperti kata pepatah : “membeli kucing dalam karung” atau menerima tanpa mengetahui kemampuan yang dibutuhkan sesuai disiplin ilmu yang dituju. Jangan sampai ada misalnya ada mahasiswa matematika yang tidak bisa memecahkan teorema integral, atau mahasiswa bahasa yang tidak bisa melafalkan bahasa daerah asalnya sendiri. Karena pendidikan merupakan investasi peradaban, hasilnya tidak bisa langsung diunduh saat itu juga.

Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta





Wednesday 1 February 2012

Kajian Relevansi Aliran Filsafat Esensialisme dalam Pendidikan saat ini.


A. JUDUL
Kajian Relevansi Aliran Filsafat Esensialisme dalam Pendidikan saat ini.
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada awalnya, manusia menyadari pentingya pendidikan karena membutuhkan jawaban-jawaban atas pertanyaan. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang muncul merupakan akibat dari sebuah kondisi riil yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Dalam tahapan berikutnya, manusia mulai memusatkan kajian tentang jawaban permasalahan tersebut di dalam sebuah konsep komunitas.
Dari komunitas ini, maka terjadi komunikasi dalam rangka saling memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketika kebutuhan komunikasi tersebut terpenuhi, muncullah ide-ide baru dalam memenuhi kebutuhan hidup mulai yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling mewah. Proses ini membutuhkan waktu yang sangat lama dalam mencapai tujuannya.
Dalam perjalanannya, proses perubahan dalam pemenuhan kebutuhan ini tidak selalu bisa diterima begitu saja oleh masyarakat. Ada pertentangan-pertentangan yang muncul akibat ketidaksesuaian sebuah ide baru terhadap kepentingan-kepentingan yang ada. Untuk mempertahankan diri agar bisa diterima, proses perubahan ini membutuhkan waktu yang lama dan penyesuaian-penyesuaian. Sehingga, konsep tersebut bisa dilaksanakan meskipun terkadang tidak selalu sesuai dengan kondisi ideal.
Pemikiran-pemikiran dalam komunitas ini, pada akhirnya membentuk sebuah sistem yang terbentuk secara alami. Dari pemikiran, berkembang menjadi sebuah produk, tatanan dan aturan yang disepakati secara bersama-sama. Hal ini sesuai dengan teori bahwa kehidupan itu akan selalu dinamis.
Untuk tetap menjaga ritme perkembangan, maka tatanan yang disepakati secara bersama-sama itu menjadi sebuah kewajiban. Konsep inilah yang kemudian bisa kita sebut sebagai budaya. Di samping berwujud pemikiran dan produk, budaya ini juga membutuhkan penilaian terhadap keindahan yang tercipta. Ketiga konsep dasar inilah yang membentuk ciri khas budaya tersebut.
Seiring dengan perkembangan zaman, maka peradaban manusia pun mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini bisa dengan mudah ditemukan pada peralatan yang digunakan oleh manusia. Pada zaman prasejarah, manusia membuat senjata menggunakan bahan dasar batu. Seiring dengan perkembangan zaman, maka berubah menggunakan tembaga. Karena keberadaan tembaga sendiri lebih sedikit dibandingkan dengan besi, maka kemudian sampai saat ini besi masih digunakan sebagai bahan dasar pembuatan senjata.
Budaya yang sudah mapan ini, cenderung memiliki keinginan untuk mempertahankan bentuknya. Hasil olah cipta, rasa dan karsa yang telah terbentuk, membuat batasan-batasan budaya yang primitif dengan budaya global yang terus berubah.Kecenderungan perubahan yang semakin cepat, pada saat ini telah mengancam keberadaan budaya yang khas tersebut. Sebagai contoh, orang saat ini lebih suka menggunakan peralatan-peralatan yang mudah dan canggih. Misalnya saja ketika mau bepergian jauh, orang tinggal memilih mau pakai motor, bus, kereta api atau pesawat terbang. Dahulu, orang bepergian jauh menggunakan kuda.
Salah satu bidang yang diyakini masih mampu untuk melestarikan nilai-nilai budaya tersebut adalah pendidikan. Sebagai bidang kehidupan yang menangani tentang proses transfer pengetahuan, nilai-nilai dan pengembangan manusia muda, pendidikan memiliki nilai dalam mempertahankan budaya khas sebuah daerah. Tentu saja, tetap menggunakan konsep bahwa budaya adalah sebuah proses yang dinamis. Bukan untuk mempertahankan seutuhnya, tetapi untuk mempertahankan nilai-nilai dan hasil karya yang relevan. Termasuk di dalamnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Konsep penggunaan kebudayaan yang telah ada dalam pendidikan inilah yang bisa kita sebut sebagai filsafat esensialisme. Pendidikan didasarkan pada kebutuhan sebuah budaya sepenuhnya. Pada masa lampau, filsafat ini diyakini kebenarannya bahwa pendidikan memang bersumber dari kebudayaan dan dilaksanakan untuk kebudayaan itu sendiri. Hal ini penting dilaksanakan dalam rangka melestarikan nnilai-nilai budaya lokal yang masih relevan. (Isdiyono dkk 2011)

C. TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengkaji keterkaitan filsafat Esensialisme terhadap pendidikan saat ini.
2.      Untuk mengetahui relevansi aliran filsafat Esensialisme dalam pendidikan saat ini.

D. SEJARAH ALIRAN ESENSIALISME
Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing. Idealisme merupakan sebuah gambaran dari pemikiran-pemikiran tentang hal yang seharusnya terjadi. Realisme adalah paham yang memiliki keterkaitan erat dengan pelaksanaan idealisme-idealisme. Bahwa tidak setiap idealisme itu bisa diwujudkan dalam realitas.
Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta yang memenuhi tuntutan.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Nilai-nilai inilah yang kemudian kita sebut sebagai kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada dan melatarbelakangi terjadinya sebuah kebudayaan.(Isdiyono dkk 2011)

E. TOKOH-TOKOH ALIRAN ESENSIALISME
1.      Johan Amos Cornenius (1592-1670)
Johan Amos mengemukakan bahwa pendidikan secara esensial diajarkan melalui indra, karena indra adalah pintu gerbangnya jiwa.
2.      Johan Frieddrich Herbart (1776-1841)
Johan Frieddrich mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebijaksanaan Tuhan artinya adanya penyesuaian dengan hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart disebut pengajaran.
3.      William T. Harris (1835-1909)
Harris mengemukakan pendapatnya bahwa tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan ke kesatuan spiritual sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang turun menurut, dan menjadi penuntun penyesuaian orang pada masyarakat.
4.       Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Georg Wilhelm Friedrich HegelHegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis.
Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.
 5.       George Santayana
George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri memilih,melaksanakan.(Isdiyono dkk 2011)

F.PANDANGAN ALIRAN ESENSIALISME TERHADAP PENDIDIKAN
Aliran esensialisme meletakkan budaya dan adat yang telah berlaku sebagai komponen penting dalam menentukan dinamika pandangannya. Artinya, budaya yang ada merupakan sumber utama dalam perumusan sudut pandang. Dalam hal ini, aliran esensialisme melihat pendidikan dari paradigma pewarisan budaya dari generasi ke generasi.
Sebagai proses yang dilakukan secara sadar dalam membentuk generasi muda yang bermoral, cerdas, berprinsip dan memiliki keterampilan hidup, pendidikan memiliki peran yang vital dalam pelestarian budaya. Bahwa pendidikan harus sesuai dengan konsep pengembangan arah kemajuan bangsa, kepentingan politis dan mencakup pada kebutuhan pengembangan bisnis. Kepentingan-kepentingan tersebut harus menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisahkan. Ketika terdapat kesenjangan antar kepentingan tersebut, maka akan terjadi otorisasi kebijakan.
Dalam pendidikan, paham esensial memandang bahwa pendidikan merupakan bidang potensial yang bisa digunakan dalam melestarikan kebudayaan. Hal ini sesuai dengan aktivitas pendidikan sebagai sebuah proses pengenalan pengetahuan, keterampilan dan keyakinan. Sebagai sebuah proses, pendidikan memungkinkan terjadinya regenerasi sebuah pengetahuan. Sehingga, seorang siswa di sekolah bisa mengenal budaya kemudian memahaminya untuk diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian pandangan-pandangan realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas:
1. Determiuisme mutlak,
Menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat tercipta suasana hidup yang harmonis.
2.  Determinisme terbatas,
Memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawas yang diperlukan.
     Adapun beberapa imbas pelaksanaan aliran esensialisme adalah sebagai berikut.
1. Tujuan Pendidikan
Dalam pandangan ini, tujuan pendidikan yang ingin disampaikan  adalah berupa pewarisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, dasar bertahan sepanjang waktu untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang tepat untuk membentuk unsur-unsur yang inti (esensiliasme), sebuah pendidikan sehingga pendidikan bertujuan mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelek atau kecerdasan.
2. Metode pendidikan
Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered). Umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan, dan mereka harus dipaksa belajar.
Metode utama adalah latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian tugas, penguasaan pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi dan membaca.
3. Pandangan tentang Guru
a.       Peranan guru kuat dalam mempengaruhi dan menguasai kegiatan–kegiatan di kelas.
b.      Guru berperan sebagai sebuah contoh dalam pengawasan nilai-nilai dan penguasaan pengetahuan atau gagasan.
c.       Kelas berada di bawah pengaruh dan penguasaan guru.
4. Pelajar
Siswa adalah mahluk rasional dalam kekuasaan fakta & keterampilan-keterampilan pokok yang siap melakukan latihan-latihan intelektif atau berfikir.
Pengajar
Peranan guru kuat dalam mempengaruhi & menguasai kegiatan –kegiatan di kelas.  Guru berperan sebagai sebuah contoh dalam pengawasan nilai-nilai dan penguasaan pengetahuan atau gagasan.
5. Pandangan Essensialisme Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang  bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Horne dalam bukunya mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan. 
Bogoslousky mengutarakan di samping menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:
 1. Universum:  
Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata surya dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
2. Sivilisasi: 
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan tcrhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera .
3. Kebudayaan: 
Kebudayaan mempakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.(Isdiyono dkk 2011)

G.REFLEKSI KRITIS-INSPIRATIF PANDANGAN ESENSIALISME
Dari uraian di atas, ada beberapa telaah yang perlu disampaikan dalam menanggapi relevansi aliran esensialisme terhadap pendidikan saat ini. Sebagai sebuah paham yang mendasarkan pemahamannya atas pewarisan budaya, maka ada beberapa keuntungan dalam pelaksanaan aliran ini yaitu :
1. Konservasi budaya
Sebagai aliran yang mendasarkan idenya pada budaya asal yang telah lama diakui dan bertahan, konsep pemikiran ini akan mempermudah dalam konservasi budaya. Jadi, sebagai laboratorium oengembangan nilai-nilai kebudayaan masyarakat setempat.
2. Pengenalan anak pada nilai-nilai tradisional masyarakat sejak dini
Adanya konsep pengenalan budaya di sekolah, maka ada pengenalan nilai budaya sejak dini. Hal ini sangat penting dalam mendukung konservasi budaya. Pengenalan yang sejak dini, akan membentuk pengetahuan tentang budayanya sebagai sebuah karakter (bagian diri sendiri).
3. Mengembangkan kebudayaan sendiri
Adanya pemikiran tentang budaya sendiri, membuat pendidikan leluasa dalam mengembangkan nilai-nilai budaya yang ada. Hal ini dikarenakan bahwa tidak semua budaya yang ada di dalam masyarakat itu cocok dan relevan terhadap tantangan zaman. Apalagi, beberapa hal yang tidak sesuai dengan keyakinan bisa ditiadakan. Hal ini penting karena budaya merupakan bagian dari bentuk luaran idealisme seseorang.
4. Kontekstual
Kebudayaan, tidak bisa dipungkiri memiliki wilayah kaji yang dekat dengan siswa. Hal ini memungkinkan bahwa apa yang dipelajari di dalam sekolah, telah mereka laksanakan di lingkungan. Sehingga, ada relevansi terkait apa yang dipelajari siswa di sekolah dengan apa yang dialami mereka di rumah. Pendidikan yang baik dan berhasil adalah pendidikan yang dalam pelaksanaannya memuat unsur kontekstual ini.
Di samping keunggulan, pandangan inipun tidak terlepas dari kekurangan. Beberapa kekurangan yang  dapat kita sarikan dari uraian di atas adalah sebagai berikut.
1. Teacher centered.
Konsep pewarisan budaya, tidak memungkinkan adanya sifat fleksibilitas dalam pelaksanaan aliran ini. Hal ini dikarenakan bahwa pewarisan yang diberikan oleh seorang guru kelas, tidak selalu bisa diterjemahkan oleh guru-guru yang lain. Hal ini sangat bisa terjadi ketika seorang guru tidak memiliki pandangan lain dalam berkreasi dan berinovasi.
 2. Anti dinamika
Prinsip tradisional yang diusung dalam aliran ini, secara tidak langsung menunjukkan adanya sikap anti dinamika. Pendidikan yang dibangun dengan asumsi kebudayaan, cenderung sulit untuk menerima perubahan di dalamnya. Padahal, pendidikan memiliki salah satu syarat dasar yaitu selalu berubah mengikuti perkembangan dan kebutuhan zaman.
3. Keterbatasan model
Sangat tergantungnya peran model dalam mewariskan sebuah konsep budaya dalam pendidikan, telah memberikan keterbatasan model. Ketika konsep ini menghendaki anti pergantian penyampai pesan, maka penyampai pesan itu hanya guru seorang. Sehingga, siswa secara tidak sadar digiring ke arah pemikiran guru tersebut. Kondisi yang demikian tentu kurang baik dalam memberikan siswa pengenalan paradigma perbedaan berpikir tanpa kehilangan konsep benar dan salah secara relatif.
4. Munculnya sikap otoriter guru
Pewarisan yang dilaksanakan begitu saja, akan memunculkan otorisasi guru. Mereka bebas untuk mengajarkan tentang kebudayaan mereka melalui pendidikan tanpa intervensi dan koreksi pihak lain. Belum adanya sistem yang secara resmi mengatur aliran, memungkinkan hal tersebut terjadi. Ketika pewarisan budaya dalam pendidikan hanya ditentukan oleh guru saja, maka ke depannya pendidikan kita tidak akan mengalami banyak perkembangan.(Isdiyono dkk 2011)
Pada saat ini, konsep ini masih relevan diterapkan dalam pendidikan Indonesia. Wacana perluasan pentingnya pendidikan karakter, memperteguh posisi aliran filsafat esensialisme dalam menggali kembali nilai-nilai kearifan lokal yang telah lama tersisihkan. Bahwa selama ini, pendidikan kita mengarah pada ketidakjelasan konsep dikarenakan terlalu berorientasi pada nilai.
Budaya sebagai hasil aktivitas kolektif masyarakat, merupakan cerminan dari keteguhan berpikir sebuah bangsa. Jika diterjemahkan ke dalam pendidikan, maka akan menjadi sebuah proses penting dalam mengembalikan pendidikan sebagai salah satu mempertahankan jati diri bangsa. Bahwa pendidikan memang sebenarnya digunakan sebagai salah satu bagian dari area transformasi masyarakat.
Transformasi merupakan sebuah perubahan yang biasa terjadi, hanya saja aliran esensialisme memiliki pandangan yang kuat terhadap pengembangan konsep budaya tanpa meninggalkan esensinya. Sehingga, akan menjadi sebuah kebanggaan yang besar ketika budaya yang ada dalam masyarakat kita terus dilestarikan.
Dinamika budaya yang demikian, pernah dilakukan Jepang pasca pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki pada perang dunia II. Bahwa pada saat itu, pendidikan merupakan satu-satunya harapan bagi bangsa Jepang untuk segera bangkit dari keterpurukan. Mereka terus melakukan inovasi dan mengekspansi pemikiran mereka ke seluruh penjuru dunia. Sekarang, makanan-makanan Jepang, produk fashion dan kebudayaannya pun menjadi kajian yang menarik.
Nah, begitu juga dengan pendidikan yang ada di Indonesia. Sudah saatnya pendidikan kita dibangkitkan sebagai salah satu bentuk pengembangan nilai tradisional menjadi salah satu aset nasional. Bahwa pendidikan yang tidak kehilangan alasan sejarah berdirinya bangsa dan negaranya, akan menjadi sebuah bangsa yang besar. Hal ini dimulai dari paradigma pendidikan yang diberlakukan di dalamnya.(Isdiyono dkk 2011)
 
H. PENUTUP
1. Kesimpulan
a.    Aliran esensialisme meletakkan budaya dan adat yang telah berlaku sebagai komponen penting dalam menentukan dinamika pandangannya.
b.    Pelaksanaan aliran ini secara mutlak, hanya akan menimbulkan otorisasi pendidikan.
c.    Pada saat ini, aliran ini masih relevan dalam mengkaji kembali nilai-nilai budaya ke dalam pendidikan.
 2. Saran
a.       Pelaksanaan aliran esensialisme harus diterapkan secara prioritas, agar tidak terjadi teacher centered. Perlu variasi dalam pembelajarannya.
b.      Pelaksanaan konsep esensial perlu dilakukan tanpa menghilangkan esensi dasar yang ada.(Isdiyono dkk 2011)

I. DAFTAR PUSTAKA

MERDEKA BERPENDAPAT DI HARI ANAK

 Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa m...