A. JUDUL
Kajian
Relevansi Aliran Filsafat Esensialisme dalam Pendidikan saat ini.
B. LATAR BELAKANG
MASALAH
Pada
awalnya, manusia menyadari pentingya pendidikan karena membutuhkan
jawaban-jawaban atas pertanyaan. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang muncul merupakan
akibat dari sebuah kondisi riil yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Dalam tahapan berikutnya, manusia mulai memusatkan kajian tentang jawaban
permasalahan tersebut di dalam sebuah konsep komunitas.
Dari
komunitas ini, maka terjadi komunikasi dalam rangka saling memenuhi kebutuhan
hidupnya. Ketika kebutuhan komunikasi tersebut terpenuhi, muncullah ide-ide
baru dalam memenuhi kebutuhan hidup mulai yang paling dasar hingga kebutuhan
yang paling mewah. Proses ini membutuhkan waktu yang sangat lama dalam mencapai
tujuannya.
Dalam
perjalanannya, proses perubahan dalam pemenuhan kebutuhan ini tidak selalu bisa
diterima begitu saja oleh masyarakat. Ada pertentangan-pertentangan yang muncul
akibat ketidaksesuaian sebuah ide baru terhadap kepentingan-kepentingan yang
ada. Untuk mempertahankan diri agar bisa diterima, proses perubahan ini
membutuhkan waktu yang lama dan penyesuaian-penyesuaian. Sehingga, konsep
tersebut bisa dilaksanakan meskipun terkadang tidak selalu sesuai dengan
kondisi ideal.
Pemikiran-pemikiran
dalam komunitas ini, pada akhirnya membentuk sebuah sistem yang terbentuk
secara alami. Dari pemikiran, berkembang menjadi sebuah produk, tatanan dan
aturan yang disepakati secara bersama-sama. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
kehidupan itu akan selalu dinamis.
Untuk
tetap menjaga ritme perkembangan, maka tatanan yang disepakati secara
bersama-sama itu menjadi sebuah kewajiban. Konsep inilah yang kemudian bisa
kita sebut sebagai budaya. Di samping berwujud pemikiran dan produk, budaya ini
juga membutuhkan penilaian terhadap keindahan yang tercipta. Ketiga konsep
dasar inilah yang membentuk ciri khas budaya tersebut.
Seiring
dengan perkembangan zaman, maka peradaban manusia pun mengalami perubahan yang
cukup signifikan. Hal ini bisa dengan mudah ditemukan pada peralatan yang
digunakan oleh manusia. Pada zaman prasejarah, manusia membuat senjata
menggunakan bahan dasar batu. Seiring dengan perkembangan zaman, maka berubah
menggunakan tembaga. Karena keberadaan tembaga sendiri lebih sedikit dibandingkan
dengan besi, maka kemudian sampai saat ini besi masih digunakan sebagai bahan
dasar pembuatan senjata.
Budaya
yang sudah mapan ini, cenderung memiliki keinginan untuk mempertahankan
bentuknya. Hasil olah cipta, rasa dan karsa yang telah terbentuk, membuat
batasan-batasan budaya yang primitif dengan budaya global yang terus
berubah.Kecenderungan perubahan yang semakin cepat, pada saat ini telah
mengancam keberadaan budaya yang khas tersebut. Sebagai contoh, orang saat ini
lebih suka menggunakan peralatan-peralatan yang mudah dan canggih. Misalnya
saja ketika mau bepergian jauh, orang tinggal memilih mau pakai motor, bus,
kereta api atau pesawat terbang. Dahulu, orang bepergian jauh menggunakan kuda.
Salah
satu bidang yang diyakini masih mampu untuk melestarikan nilai-nilai budaya
tersebut adalah pendidikan. Sebagai bidang kehidupan yang menangani tentang
proses transfer pengetahuan, nilai-nilai dan pengembangan manusia muda,
pendidikan memiliki nilai dalam mempertahankan budaya khas sebuah daerah. Tentu
saja, tetap menggunakan konsep bahwa budaya adalah sebuah proses yang dinamis.
Bukan untuk mempertahankan seutuhnya, tetapi untuk mempertahankan nilai-nilai
dan hasil karya yang relevan. Termasuk di dalamnya tidak bertentangan dengan
nilai-nilai agama.
Konsep
penggunaan kebudayaan yang telah ada dalam pendidikan inilah yang bisa kita
sebut sebagai filsafat esensialisme. Pendidikan didasarkan pada kebutuhan
sebuah budaya sepenuhnya. Pada masa lampau, filsafat ini diyakini kebenarannya
bahwa pendidikan memang bersumber dari kebudayaan dan dilaksanakan untuk
kebudayaan itu sendiri. Hal ini penting dilaksanakan dalam rangka melestarikan
nnilai-nilai budaya lokal yang masih relevan. (Isdiyono dkk 2011)
C. TUJUAN
PENULISAN
1. Untuk
mengkaji keterkaitan filsafat Esensialisme terhadap pendidikan saat ini.
2.
Untuk mengetahui
relevansi aliran filsafat Esensialisme dalam pendidikan saat ini.
D. SEJARAH ALIRAN
ESENSIALISME
Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan
ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama
ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas,
di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan
doktrin tertentu.
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang
membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung
esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan
sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing. Idealisme
merupakan sebuah gambaran dari pemikiran-pemikiran tentang hal yang seharusnya
terjadi. Realisme adalah paham yang memiliki keterkaitan erat dengan
pelaksanaan idealisme-idealisme. Bahwa tidak setiap idealisme itu bisa
diwujudkan dalam realitas.
Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah
timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme. Esensialisme
pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan
dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan
menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta yang memenuhi tuntutan.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak
pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Nilai-nilai inilah yang kemudian kita sebut sebagai kebiasaan-kebiasaan yang
sudah ada dan melatarbelakangi terjadinya sebuah kebudayaan.(Isdiyono dkk 2011)
E. TOKOH-TOKOH
ALIRAN ESENSIALISME
1.
Johan Amos
Cornenius (1592-1670)
Johan Amos
mengemukakan bahwa pendidikan secara esensial diajarkan melalui indra, karena
indra adalah pintu gerbangnya jiwa.
2.
Johan
Frieddrich Herbart (1776-1841)
Johan
Frieddrich mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa
seseorang dengan kebijaksanaan Tuhan artinya adanya penyesuaian dengan hukum
kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart disebut
pengajaran.
3.
William T.
Harris (1835-1909)
Harris
mengemukakan pendapatnya bahwa tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya
realitas berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan ke kesatuan
spiritual sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang turun
menurut, dan menjadi penuntun penyesuaian orang pada masyarakat.
4.
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Georg Wilhelm Friedrich HegelHegel mengemukakan adanya
sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang
menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh
mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap
tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis.
Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah
manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi
mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti
spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir
juga merupakan gerak.
5.
George
Santayana
George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan
aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak
dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman
seseorang menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung
asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara
aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya
sendiri memilih,melaksanakan.(Isdiyono dkk 2011)
F.PANDANGAN ALIRAN
ESENSIALISME TERHADAP PENDIDIKAN
Aliran
esensialisme meletakkan budaya dan adat yang telah berlaku sebagai komponen
penting dalam menentukan dinamika pandangannya. Artinya, budaya yang ada
merupakan sumber utama dalam perumusan sudut pandang. Dalam hal ini, aliran
esensialisme melihat pendidikan dari paradigma pewarisan budaya dari generasi
ke generasi.
Sebagai
proses yang dilakukan secara sadar dalam membentuk generasi muda yang bermoral,
cerdas, berprinsip dan memiliki keterampilan hidup, pendidikan memiliki peran
yang vital dalam pelestarian budaya. Bahwa pendidikan harus sesuai dengan
konsep pengembangan arah kemajuan bangsa, kepentingan politis dan mencakup pada
kebutuhan pengembangan bisnis. Kepentingan-kepentingan tersebut harus menjadi satu
kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisahkan. Ketika terdapat kesenjangan antar
kepentingan tersebut, maka akan terjadi otorisasi kebijakan.
Dalam
pendidikan, paham esensial memandang bahwa pendidikan merupakan bidang
potensial yang bisa digunakan dalam melestarikan kebudayaan. Hal ini sesuai
dengan aktivitas pendidikan sebagai sebuah proses pengenalan pengetahuan,
keterampilan dan keyakinan. Sebagai sebuah proses, pendidikan memungkinkan
terjadinya regenerasi sebuah pengetahuan. Sehingga, seorang siswa di sekolah
bisa mengenal budaya kemudian memahaminya untuk diaplikasikan ke dalam
kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian pandangan-pandangan realisme
mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas:
1. Determiuisme mutlak,
Menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang
tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama
membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat
tercipta suasana hidup yang harmonis.
2. Determinisme terbatas,
Memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai
belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini
berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawas yang diperlukan.
Adapun beberapa imbas pelaksanaan aliran
esensialisme adalah sebagai berikut.
1. Tujuan Pendidikan
Dalam pandangan ini, tujuan pendidikan yang ingin disampaikan
adalah berupa pewarisan budaya dan
sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, dasar bertahan
sepanjang waktu untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh
keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang tepat untuk membentuk unsur-unsur
yang inti (esensiliasme), sebuah pendidikan sehingga pendidikan bertujuan
mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelek atau kecerdasan.
2. Metode pendidikan
Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered). Umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul
mengetahui apa yang diinginkan, dan mereka harus dipaksa belajar.
Metode utama adalah latihan mental, misalnya melalui diskusi
dan pemberian tugas, penguasaan pengetahuan, misalnya melalui penyampaian
informasi dan membaca.
3. Pandangan tentang Guru
a.
Peranan guru kuat dalam mempengaruhi
dan menguasai kegiatan–kegiatan di kelas.
b.
Guru berperan sebagai sebuah contoh
dalam pengawasan nilai-nilai dan penguasaan pengetahuan atau gagasan.
c.
Kelas berada di bawah pengaruh
dan penguasaan guru.
4. Pelajar
Siswa adalah mahluk rasional dalam kekuasaan fakta &
keterampilan-keterampilan pokok yang siap melakukan latihan-latihan intelektif
atau berfikir.
Pengajar
Peranan guru kuat dalam mempengaruhi & menguasai
kegiatan –kegiatan di kelas. Guru
berperan sebagai sebuah contoh dalam pengawasan nilai-nilai dan penguasaan
pengetahuan atau gagasan.
5.
Pandangan Essensialisme Mengenai
Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme
memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan
idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Horne dalam bukunya mengatakan
bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak
manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam
pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas
ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan
sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Bogoslousky mengutarakan di
samping menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata
pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai
sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:
1. Universum:
Pengetahuan merupakan latar belakang
adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia. Di antaranya adalah adanya
kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata surya dan lain-Iainnya. Basis
pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
2. Sivilisasi:
Karya yang dihasilkan manusia
sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan
pengawasan tcrhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan
sejahtera .
3. Kebudayaan:
Kebudayaan mempakan karya manusia
yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran
dan penilaian mengenai lingkungan.(Isdiyono dkk 2011)
G.REFLEKSI
KRITIS-INSPIRATIF PANDANGAN ESENSIALISME
Dari
uraian di atas, ada beberapa telaah yang perlu disampaikan dalam menanggapi
relevansi aliran esensialisme terhadap pendidikan saat ini. Sebagai sebuah
paham yang mendasarkan pemahamannya atas pewarisan budaya, maka ada beberapa
keuntungan dalam pelaksanaan aliran ini yaitu :
1.
Konservasi budaya
Sebagai
aliran yang mendasarkan idenya pada budaya asal yang telah lama diakui dan
bertahan, konsep pemikiran ini akan mempermudah dalam konservasi budaya. Jadi,
sebagai laboratorium oengembangan nilai-nilai kebudayaan masyarakat setempat.
2.
Pengenalan anak pada nilai-nilai tradisional masyarakat sejak dini
Adanya
konsep pengenalan budaya di sekolah, maka ada pengenalan nilai budaya sejak
dini. Hal ini sangat penting dalam mendukung konservasi budaya. Pengenalan yang
sejak dini, akan membentuk pengetahuan tentang budayanya sebagai sebuah
karakter (bagian diri sendiri).
3.
Mengembangkan kebudayaan sendiri
Adanya
pemikiran tentang budaya sendiri, membuat pendidikan leluasa dalam
mengembangkan nilai-nilai budaya yang ada. Hal ini dikarenakan bahwa tidak
semua budaya yang ada di dalam masyarakat itu cocok dan relevan terhadap
tantangan zaman. Apalagi, beberapa hal yang tidak sesuai dengan keyakinan bisa
ditiadakan. Hal ini penting karena budaya merupakan bagian dari bentuk luaran
idealisme seseorang.
4.
Kontekstual
Kebudayaan,
tidak bisa dipungkiri memiliki wilayah kaji yang dekat dengan siswa. Hal ini
memungkinkan bahwa apa yang dipelajari di dalam sekolah, telah mereka
laksanakan di lingkungan. Sehingga, ada relevansi terkait apa yang dipelajari
siswa di sekolah dengan apa yang dialami mereka di rumah. Pendidikan yang baik
dan berhasil adalah pendidikan yang dalam pelaksanaannya memuat unsur
kontekstual ini.
Di
samping keunggulan, pandangan inipun tidak terlepas dari kekurangan. Beberapa
kekurangan yang dapat kita sarikan dari
uraian di atas adalah sebagai berikut.
1.
Teacher centered.
Konsep
pewarisan budaya, tidak memungkinkan adanya sifat fleksibilitas dalam
pelaksanaan aliran ini. Hal ini dikarenakan bahwa pewarisan yang diberikan oleh
seorang guru kelas, tidak selalu bisa diterjemahkan oleh guru-guru yang lain.
Hal ini sangat bisa terjadi ketika seorang guru tidak memiliki pandangan lain
dalam berkreasi dan berinovasi.
2.
Anti dinamika
Prinsip
tradisional yang diusung dalam aliran ini, secara tidak langsung menunjukkan
adanya sikap anti dinamika. Pendidikan yang dibangun dengan asumsi kebudayaan,
cenderung sulit untuk menerima perubahan di dalamnya. Padahal, pendidikan
memiliki salah satu syarat dasar yaitu selalu berubah mengikuti perkembangan
dan kebutuhan zaman.
3.
Keterbatasan model
Sangat
tergantungnya peran model dalam mewariskan sebuah konsep budaya dalam
pendidikan, telah memberikan keterbatasan model. Ketika konsep ini menghendaki
anti pergantian penyampai pesan, maka penyampai pesan itu hanya guru seorang.
Sehingga, siswa secara tidak sadar digiring ke arah pemikiran guru tersebut.
Kondisi yang demikian tentu kurang baik dalam memberikan siswa pengenalan
paradigma perbedaan berpikir tanpa kehilangan konsep benar dan salah secara
relatif.
4.
Munculnya sikap otoriter guru
Pewarisan
yang dilaksanakan begitu saja, akan memunculkan otorisasi guru. Mereka bebas
untuk mengajarkan tentang kebudayaan mereka melalui pendidikan tanpa intervensi
dan koreksi pihak lain. Belum adanya sistem yang secara resmi mengatur aliran,
memungkinkan hal tersebut terjadi. Ketika pewarisan budaya dalam pendidikan
hanya ditentukan oleh guru saja, maka ke depannya pendidikan kita tidak akan
mengalami banyak perkembangan.(Isdiyono dkk 2011)
Pada
saat ini, konsep ini masih relevan diterapkan dalam pendidikan Indonesia.
Wacana perluasan pentingnya pendidikan karakter, memperteguh posisi aliran
filsafat esensialisme dalam menggali kembali nilai-nilai kearifan lokal yang
telah lama tersisihkan. Bahwa selama ini, pendidikan kita mengarah pada
ketidakjelasan konsep dikarenakan terlalu berorientasi pada nilai.
Budaya
sebagai hasil aktivitas kolektif masyarakat, merupakan cerminan dari keteguhan
berpikir sebuah bangsa. Jika diterjemahkan ke dalam pendidikan, maka akan
menjadi sebuah proses penting dalam mengembalikan pendidikan sebagai salah satu
mempertahankan jati diri bangsa. Bahwa pendidikan memang sebenarnya digunakan
sebagai salah satu bagian dari area transformasi masyarakat.
Transformasi
merupakan sebuah perubahan yang biasa terjadi, hanya saja aliran esensialisme
memiliki pandangan yang kuat terhadap pengembangan konsep budaya tanpa
meninggalkan esensinya. Sehingga, akan menjadi sebuah kebanggaan yang besar
ketika budaya yang ada dalam masyarakat kita terus dilestarikan.
Dinamika
budaya yang demikian, pernah dilakukan Jepang pasca pengeboman kota Hiroshima
dan Nagasaki pada perang dunia II. Bahwa pada saat itu, pendidikan merupakan
satu-satunya harapan bagi bangsa Jepang untuk segera bangkit dari keterpurukan.
Mereka terus melakukan inovasi dan mengekspansi pemikiran mereka ke seluruh
penjuru dunia. Sekarang, makanan-makanan Jepang, produk fashion dan
kebudayaannya pun menjadi kajian yang menarik.
Nah,
begitu juga dengan pendidikan yang ada di Indonesia. Sudah saatnya pendidikan
kita dibangkitkan sebagai salah satu bentuk pengembangan nilai tradisional
menjadi salah satu aset nasional. Bahwa pendidikan yang tidak kehilangan alasan
sejarah berdirinya bangsa dan negaranya, akan menjadi sebuah bangsa yang besar.
Hal ini dimulai dari paradigma pendidikan yang diberlakukan di dalamnya.(Isdiyono dkk 2011)
H. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Aliran
esensialisme meletakkan budaya dan adat yang telah berlaku sebagai komponen
penting dalam menentukan dinamika pandangannya.
b. Pelaksanaan
aliran ini secara mutlak, hanya akan menimbulkan otorisasi pendidikan.
c. Pada
saat ini, aliran ini masih relevan dalam mengkaji kembali nilai-nilai budaya ke
dalam pendidikan.
2.
Saran
a. Pelaksanaan
aliran esensialisme harus diterapkan secara prioritas, agar tidak terjadi
teacher centered. Perlu variasi dalam pembelajarannya.
b. Pelaksanaan
konsep esensial perlu dilakukan tanpa menghilangkan esensi dasar yang ada.(Isdiyono dkk 2011)
I.
DAFTAR PUSTAKA