Euforia keberhasilan anak-anak SMK yang telah membuat mobil Kiat Esemka
masih terasa hingga hari ini. Kemunculan ini ditandai saat walikota Solo, Pak
Jokowi mengurungkan niatnya membeli mobil dinas baru kecuali dengan mobil karya
anak bangsa. Sebelumnya, karya-karya inovasi anak negeri belum mendapatkan
apresiasi. Merupakan kebanggaan tersendiri jika mobil rakitan para pelajar SMK
itu menjadi mobil nasional dan mampu bersaing dengan mobil-mobil impor.
Tidak hanya mendobrak pandangan sebelah mata yang ditujukan pada sekolah
kita, momen ini juga membukakan mata kita untuk menghargai anak bangsa. Akan
tetapi, ekspektasi pasar yang tinggi bisa menjadi bumerang bagi penyelenggaraan
sekolah. Dengan keberanian peluncuran mobil Esemka ini, dunia industri secara
perlahan akan melirik potensi pendidikan jenjang kejuruan kita. Lebih dari
sekedar keuntungan dan kebanggaan, pendidikan tidak bisa dihitung dengan
investasi uang.
Sesuai dengan amanah UU no 20 tahun 2003, pendidikan dimaknai sebagai
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Jadi, pendidikan merupakan proses, bukan produk.
Lebih rinci, Ki Hajar Dewantoro mendefinisikan pendidikan yang sesuai
dengan nilai ke-Indonesiaan sebagai : daya upaya untuk memajukan budi pekerti
(karakter, kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak selaras
dengan alam dan masyarakatnya. Semakin jelas, bahwa investasi dalam bidang
pendidikan berbeda dengan bidang industri. Di sinilah siswa ditempa, diajari,
dibimbing, dibina dan diberikan motivasi untuk senantiasa meningkatkan
kemampuan mereka.
Jika investasi dalam pendidikan disamakan dengan bidang industri, maka
kita khawatir akan adanya komersialisasi pendidikan. Komersialisasi, akan
menghitung keberhasilan pendidikan dari untung-rugi hasil yang didapatkan.
Bukan sejauh mana siswa belajar dari kesalahan untuk mempersiapkan keahliannya
sendiri.
Belajar bukan merupakan aktivitas robotik, yang mengingkari adanya
perasaan dan pemikiran. Bahwa investasi dalam bidang pendidikan adalah
terciptanya manusia dewasa yang susila, seperti yang diungkapkan
Kontjaraningrat. Proses dalam pendidikan, akan membentuk karakter siswa. Ketika
karakter ini sudah terbentuk, maka keahlian akan mengikutinya. Jadi, bisa
dikatakan bahwa pendidikan itu sendiri merupakan sebuah investasi untuk masa
depan peradaban manusia. Pendidikan yang berbasis komersialisasi, hanya akan
menyingkirkan kesempatan anak-anak yang tidak mampu. Bukankah begitu?
Isdiyono
Mahasiswa Fakultas
Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta