Anak adalah kelompok usia rentan di samping wanita dan lansia. Di berbagai kondisi yang
mengancam, mereka adalah kelompok yang tidak bisa mempertahankan dirinya sendiri. Fisik yang
masih dalam tahap perkembangan, membutuhkan asupan gizi, asupan pengetahuan dan stimulan
untuk mengembangkan potensinya. Asupan-asupan ini sangat dibutuhkan dalam mempersiapkan
nasib bangsa di masa depan. Anak-anak yang kuat dan mendapatkan tempat yang layak dalam
mengemukakan pendapat-pendapat dan pemikiran, merupakan modal yang harus dipersiapkan
sejak dini.
Pentingnya penghargaan dalam berpendapat bagi anak, utamanya adalah untuk melatih
kemampuan berbicara. Kemampuan ini penting untuk menghindari ancaman-ancaman dan tekanan
dari pihak yang berusaha mengeksploitasi anak. Ancaman dan tekanan pada masa kanak-kanak
berdampak sangat besar bagi kehidupan selanjutnya. Secara psikis, anak belum mampu untuk
bersuara secara lantang, hanya tangis dan air mata yang bisa dilakukan untuk menghadapinya. Pun
secara fisik, anak belum mampu jika diharuskan untuk berkonfrontasi dengan pihak yang ingin
memanfaatkannya.
Di banyak kasus, secara langsung anak-anak menjadi korban dalam kasus broken home.
Anak-anak menjadi pihak yang dirugikan, baik dengan cara didiamkan, tidak dipenuhi hak-haknya
hingga dijadikan pelampiasan dan alasan retaknya rumah tangga. Jika sudah demikian, maka yang
terjadi adalah anak akan menjadi murung atau justru menjadi pemberontak. Anak bisa menjadi
sangat minder, atau bisa menjadi sangat percaya diri. Bisa menjadi korban buli, atau justru menjadi
pembuli. Dalam perkembangannya, anak-anak yang menjadi korban broken home sangat rentan
untuk masuk dalam lingkaran kejahatan ataupun hal-hal terlarang.
Anak-anak yang tidak terbiasa diberikan tempat untuk berbicara, akan mencari sendiri
tempatnya agar orang-orang dewasa mengerti. Kesamaan nasib akan menuntun mereka ke dalam
lingkaran pertemanan yang bisa melebihi saudara kandung. Sayangnya, lingkaran pertemanan ini
seringkali bukan pada pertemanan yang menguntungkan tetapi pada pertemanan yang merugikan
banyak pihak. Jika sudah terjadi hal yang demikian, maka akan sangat sulit untuk mengembalikan
anak-anak itu ke dalam peran sesuai dengan perkembangan dirinya.
Jika pun orang-orang dewasa tidak bisa memberikan tempat dan lingkungan pertemanan
yang layak, setidaknya orang-orang dewasa harus memberikan kesempatan. Bahwa anak-anak pun
memiliki hak untuk berpendapat terhadap apa yang dialaminya untuk kemudian mendapatkan
perhatian dan dukungan agar dapat mengembangkan kemampuannya secara positif. Anak yang
sering mendapat kesempatan berbicara, akan cenderung memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Jika
rasa percaya diri ini terpupuk dengan subur, maka keberadaannya dalam masyarakat akan
terfasilitasi. Apalagi, mengingat kalau fase kanak-kanak merupakan fase di mana perkembangan
fisiknya begitu pesat. Kalau orang tua zaman dahulu menyebutnya sebagai “semego” atau sedang
banyak membutuhkan asupan nutrisi.
Orang dewasa tidak selamanya hidup untuk menekan anak-anak, pun demikian tidak bisa
selalu melindunginya setiap saat. Anak-anak harus memiliki kemandirian dalam menentukan
keputusan. Kemampuan mengambil keputusan ini sangat penting, karena bahkan orang dewasa pun
seringkali tidak memilikinya. Kesempatan yang banyak untuk berbicara, tentu akan melatih
kemampuan untuk mengambil keputusan. Tentu saja kesempatan berbicara yang di dalamnya tidak
ada paksaan dan ancaman.
Ya, sangat lucu jika di hari anak masih terdapat banyak anak yang belum memiliki
kemerdekaan dalam berpendapat. Masih ketakutan dalam bayang-bayang ancaman dan intimidasi
lingkungan dan orang-orang dewasa. Sebagai orang dewasa, juga perlu merenungkan diri apakah
yang selama ini dilakukan sudah mampu memfasilitasi hak berpendapat anak ataukah belum.
Indonesia kita tercinta ini mendesak untuk menyambut tawa lepas anak-anak. Tawa yang akan
menjamin kemajuan bangsa pada masa mendatang. Selamat hari anak!
Isdiyono, S.Pd.
Guru SD 1 Pandak